UU Ketenagalistrikan Kembali Diuji ke MK, Kementerian ESDM: Itu Hak Warga Negara
Jihad Konstitusi

UU Ketenagalistrikan Kembali Diuji ke MK, Kementerian ESDM: Itu Hak Warga Negara

Meski lahir dari putusan MK, UU Ketenagalistrikan kembali dinilai tak sesuai dengan konstitusi.

Oleh:
KARTINI LARAS MAKMUR
Bacaan 2 Menit
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin bersama sejumlah tokoh yang menjadi pemohon pengujian UU SDA. Foto: ASH
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin bersama sejumlah tokoh yang menjadi pemohon pengujian UU SDA. Foto: ASH
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan keberlakuan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menjadi sukses awal gerakan jihad konstitusi. Istilah itu pertama kali dicetuskan oleh Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin.

Kini, jihad konstitusi terus bergulir antara lain dengan pengajuan judicial review UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Para pengusung jihad konstitusi menilai, UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merugikan kepentingan negara dan masyarakat.

Menanggapi gugatan itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tak berkomentar banyak. Menurutnya, gugatan terhadap undang-undang merupakan hak warga negara. “Kami mempersilakan saja. Itu hak warga negara,” ujarnya singkat, Rabu (6/5).

Gugatan terhadap UU Ketenagalistrikan bukan baru pertama kali. Pada tahun 2004,  MK telah membatalkan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.  Sejarah mencatat, putusan tersebut merupakan yang pertama terhadap UU di bidang ekonomi. Kemudian, dari putusan itulah lahir UU Ketenagalistrikan yang berlaku saat ini.

Hampir sebelas tahun lalu, UU Ketenagalistrikan digugat oleh beberapa LSM seperti Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM dan Serikat Pekerja PLN. Mereka menilai UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan konstitusi karena menganut prinsip swastanisasi. Pasalnya, dalam UU diatur bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan secara terpisah-pisah (unbundling).

Mengenai hal itu, MK berpendapat bahwa Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat BUMN terpuruk. MK melihat hal ini akan membawa dampak yang lebih jauh. Sebab, ketentuan itu bisa membuat ketiadaan jaminan pasokan listrik.

Hal pokok lainnya yang digugat adalah ketentuan mengenai kompetisi pengusahaan tenaga listrik. Dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon atas hal itu. Secara eksplisit MK berpendapat bahwa paradigma kompetisi bertentangan dengan konstitusi.

Akibat dibatalkannya ketentuan mengenai sistem unbundling dan kompetisi dalam pengusahaan tenaga listrik, MK pun menyatakan UU No. 20 Tahun 2002 tak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Sebab, meski hanya beberapa pasal yang dibatalkan,MK memandang bahwa seluruh paradigma UU Ketenagalistrikan mendasarkan pada dua hal tersebut. Dengan demikian, seluruh paradigma UU tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Lima tahun setelah putusan MK, UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan disetujui oleh DPR. Di dalam UU ini tak lagi dikenal sistem unbundling, alias usaha penyediaan tenaga listrik pun tak lagi dipisahkan. Selain itu, BUMN diberi prioritas pertama (first right of refusal) untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik.

Hanya saja, dalam UU Ketenagalistrikan ini sistem tarif listrik yang diberlakukan bersifat regulated. Artinya, tarif tenaga listrik untuk konsumen ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. Dalam Peraturan Menteri ESDM No.31 Tahun 2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perusahaan Listrik Negara ketentuan mengenai hal ini diatur lebih lanjut.

Singkatnya, UU Ketenagalistrikan memberlakukan tarif yang berbeda bagi pelanggan yang tidak mendapat subsidi. Mereka dikenakan tarif yang berubah-ubah setiap bulannya. Perubahan itu mengikuti fluktuasi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP), nilai tukar rupiah dan besaran inflasi.

Ada dua belas jenis pelanggan yang diberlakukan tarif penyesuaian setiap bulan. Mereka adalah para pelanggan yang menggunakan tegangan menengah dan tinggi, baik kategori rumah tangga, bisnis, kantor pemerintah, maupun penerangan jalan umum.
Tags:

Berita Terkait