Ini Strategi Pemohon 'Jihad Konstitusi' di MK
Jihad Konstitusi

Ini Strategi Pemohon 'Jihad Konstitusi' di MK

Jihad konstitusi bukan berarti menolak investasi asing.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Marwan Batubara (kanan). Foto: SGP
Marwan Batubara (kanan). Foto: SGP
Meski masih banyak sejumlah perundangan yang memarginalkan kepentingan rakyat, fokus gerakan jihad konstitusi masih pada tiga undang-undang, yaitu UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Sejumlah strategi telah disiapkan oleh pihak pemohon.

Salah satu pemohon pengujian ketiga UU tersebut, Marwan Batubara, mengatakan salah satu strategi yang digunakan pemohon tak jauh berbeda saat pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas) serta UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Selain itu, tim menyiapkan sejumlah pakar yang dapat membuktikan betapa banyak terjadi penyimpangan yang merugikan kepentingan rakyat dalam ketiga UU tersebut.

Marwan memastikan sejumlah pakar yang akan dihadirkan di Mahkamah Konstitusi (MK) akan memberikan dukungan penuh terhadap pengujian ketiga UU itu. Namun, ia enggan menyebutkan siapa saja pakar yang akan disiapkan. Yang pasti, katanya, jumlah pakar tak jauh berbeda dengan jumlah pemohon.

Sebagaimana diketahui, pemohon pengujian ketiga UU itu adalah PP Muhammadiyah bersama  tokoh dan lembaga seperti Prof Sri Edi Swasono, Marwan Batubara, Fahmi Idris, Ichsanuddin Noorsy, Serikat Pekerja PLN, dan Koalisi Anti Utang. Mereka mengajukan pengujian ketiga UU tersebut.

Hal lainnya, sejumlah pakar itu tidak menjadi pemohon. Pasalnya, jika menjadi pemohon maka di persidangan tidak memiliki suara untuk menjabarkan di persidangan. Oleh sebab itu, pakar disiapkan untuk menjabarkan untuk kemudian meluruskan ketiga UU itu agar sesuai konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945.

Persoalan mendasar, sebagian materi ketiga UU itu mengancam dan merugikan kepentingan masyarakat luas. Selain itu bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945.
“Itu strategi kita supaya pembahasan di sidang-sidang itu kita sudah punya pakar akan membuktikan di persidangan. Kalau pakar ikut menggugat, mereka nanti tidak punya suara di persidangan,” ujarnya kepada hukumonline, Kamis (7/5).

Setelah tiga UU ini, Marwan enggan menyebut berapa jumlah UU yang akan diuji ke MK selanjutnya. Namun yang pasti, langkah menguji UU yang dianggap merugikan kepentingan masyarakat dan bertentangan dengan konstitusi akan terus diuji di MK.
Dikatakan Marwan, tidak sebanyak ratusan UU yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana diutarakan Ketua PP Muhamadiyah Din Syamsuddin. “Mungkin bukan ratusan, tapi puluhan UU. Saya kira kalau kita cari pasti ada. Cuma kita tidak dalam posisi saat ini mencari-cari atau menyiapkan gugatan yang baru,” katanya.

Mantan anggota DPD periode 2004-2009 itu mengakui terdapat beberapa UU lain yang akan diuji materi. Hanya saja, perlu diperhitungkan kemampuan sumber daya manusia, waktu serta pakar yang nanti menjadi ahli di persidangan. Sepanjang belum adanya putusan terhadap tiga UU yang akan diuji tersebut, pihaknya belum akan menambah daftar UU yang akan diuji selanjutnya di MK.

“Sepanjang masalah ini belum dituntaskan dan belum ada putusan MK, kita tidak dalam posisi menambah lagi. Sama seperti kita mengajukan yang tiga UU ini, setelah UU SDA diputuskan, atau UU SDA kita ajukan setelah UU Migas diputuskan MK. Jadi kita tidak mau pararel. Sedangkan yang tiga ini saja sudah pararel. Jadi saya tidak yakin bakal merencanakan kembali, sepanjang belum ada putusan MK yang tiga ini,” ujarnya.

Ia berharap semua elemen masyarakat bersatu dalam rangka memperjuangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan konstitusi. Ditegaskan Marwan, upaya pengujian sejumlah undang-undang yang dia dan beberapa pihak lain lakukan bukan berarti menolak investasi asing, namun demi kepetingan orang banyak dan melakukan perbaikan di bidang regulasi.

“Jangan juga kita dianggap merongrong pemerintah. Kita tidak ada kepentingan menghambat, malah mendukung investasi asing masuk. Cuma masalahnya kita punya aturan, dan tidak juga karena kita tidak punya dana kemudian kita serahkan leher kita untuk diinjak-injak, kan tidak begitu. Silakan undang asing, tapi sesuai aturan main konstitusi,” katanya.

Dosen hukum tata negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, berpandangan banyak persoalan dalam penyusunan UU di DPR. Menurutnya, cara berpikir anggota dewan dalam menyusun perundangan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan kepentingan rakyat banyak, mesti mengedepankan kerakyatan.

Persoalan lainnya, tidak tertutup kemungkinan adanya kepentingan politik dalam penyusunan legislasi. Tak hanya itu, persoalan teknis legislasi seperti kemampuan legal drafting dan serta minimnya pemahaman terhadap isu dalam UU yang akan disusunnya.
“Kadang-kadang anggota DPR juga terbatas dan tidak punya background yang kuat di situ. Jadi kalau salah melakukan keputusan sangat mungkin,” ujarnya.

Zainal yang juga tercatat sebagai Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) mengatakan, seringkali putusan MK di luar permohonan pemohon. Namun, sepanjang tidak keluar dari konstitusi, putusan MK dinilai wajar. Menurutnya, MK terikat dengan konstitusi dan tidak terikat dengan UU.

“Kalau terikat dengan UU, agak sulit membatalkan UU. Jadi MK menegakkan konstitusi dan berwenang untuk menerabas. Kalau uji pasal jantung maka UU juga hilang. Pada titik itu ultra petita itu menjadi wajar dalam konteks MK,” pungkasnya.

Agar DPR dan pemerintah sadar
Upaya menguji sebuah perundangan tak semata meluruskan agar sesuai konstitusi, tetapi juga menegur serta mengingatkan DPR agar membuat UU sesuai kepentingan rakyat dan konstitusi. Selain itu, pemerintah diingatkan dalam menjalankan UU tidak keluar dari jalur konstitusi alias konsisten.

“Buktinya yang sudah diputuskan itu melanggar konstitusi,” ujar Marwan.

Selain menuntut konsistensi pemerintah dalam melaksanakan putusan MK, DPR dan pemerintah mesti menindaklanjuti putusan tersebut. Misalnya, dalam putusan MK terkait dengan UU SDA, sepanjang DPR belum membuat UU SDA yang baru, pemerintah mesti membuat terobosan agar tidak ada kekosongan hukum. Begitu DPR, mesti sigap membuat UU terbaru.

“Tidak seperti UU Migas setelah membubarkan BP Migas malah bentuk SKK Migas, itu sama saja ganti kulit. Kita berharap pemerintahan Jokowi tidak seperti itu,” ujarnya.

Zainal menambahkan, dalam penyusunan UU anggota dewan mesti orang yang memiliki kemampuan dan cakap. Selain itu, anggota dewan mesti pula di upgrading terkait legislasi. Tak hanya itu, mekanisme pengawasan ketat perlu dilakukan agar mencegah pihak tertentu menggunakan kekuatan uang dalam meloloskan sebuah UU. Dengan pola seperti itu, setidaknya mampu menghasilkan UU yang berkualitas dan kuat.

Anggota DPD AM Fatwa mengatakan, DPR mesti berhati-hati dalam penyusunan UU, tak boleh mementingkan kepentingan swasta. UU terkait dengan sumber daya alam, mesti mengedepankan kepentingan rakyat banyak. Namun dalam pengesahan UU, sejatinya sudah selesai di tingkat panja komisi.

“UU yang dibahas di DPR kemudian di paripurnakan kan itu sudah jadi dari bawah, itu sistemnya. Kalau fraksi-fraksi sudah setuju, berarti sudah oke semua,” katanya.

Politisi senior Partai Amanat Nasional (PAN) itu  mengakui banyak anggota dewan dalam penyusunan UU kurang teliti. Bahkan, terkadang anggota dewan yang menyusun perundangan tanpa mengkiritisi lebih mendalam. “Kadang-kadang lihat situasi sudah tenggelam dalam pembahasan. Tapi sifat kritis itu penting,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait