Apresiasi ‘Jihad Konstitusi’, MKI Minta UU Ketenagalistrikan Tidak Diutak-atik
Jihad Konstitusi

Apresiasi ‘Jihad Konstitusi’, MKI Minta UU Ketenagalistrikan Tidak Diutak-atik

Sudah sesuai dengan kondisi ketenagalistrikan saat ini.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Sekretaris Eksekutif MKI, Bambang Hermawanto. Foto: RES
Sekretaris Eksekutif MKI, Bambang Hermawanto. Foto: RES
Sejumlah tokoh masyarakat dan organisasi kemasyarakatan yang gencar mengusung gerakan jihad konstitusi telah mendataftarkan judicial review UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, UU tersebut dinilai memuat potensi unbundling (pemisahan usaha) yang menyiratkan semangat privatisasi dan liberalisasi. Para pemohon judicial review itu berkeyakinan, ketentuan UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan konstitusi.

Namun, Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) punya pandangan berbeda. Sekretaris Eksekutif MKI, Bambang Hermawanto, justru menilai UU Ketenagalistrikan saat ini sudah sesuai dengan kondisi yang ada. Ia mengatakan bahwa tak perlu ada pembatalan atas UU Ketenagalistrikan itu.

Di sisi lain, Bambang menghargai upaya pengujian UU Ketenagalistrikan. Menurutnya, para pemohon judicial review mungkin melihat bahwa keberlakuan UU Ketenagalistrikan membuka peluang adanya bisnis yang liberal. Ia juga memahami, pandangan mengenai kondisi liberal itu mungkin saja dilihat terjadi karena pemberlakuan tarif adjustment.

Pria yang pernah menjabat sebagai Deputi Direktur Perencanaan Sistem PT PLN itu juga mengingatkan bahwa bisnis listrik terus mengalami perkembangan. Menurutnya, untuk mencapai perkembangan yang baik diperlukan regulasi yang mendukung. Ia menilai, UU Ketenagalistrikan saat ini sudah bisa menjadi produk hukum yang mendukung.

“Lagipula kan persoalan hajat hidup orang banyak banyak sekali cabang-cabangnya. Lagipula, untuk melindungi yang seperti apa? Sekarang ini kan kondisi zaman sudah berubah,” tandasnya di sela-sela Workshop Hukumonline bertajuk Legal Issues Related to Indonesia Power Project, di Jakarta, Kamis (7/5).

Menurut Bambang, energi listrik tidak termasuk dalam ketentuan yang dianamantkan konstitusi sebagai cabang produksi yang harus dikuasai negara. Ia berpendapat, hak yang harus dipenuhi negara kepada masyarakat sebatas pada penyediaan energi primer sebelum diolah menjadi listrik. Oleh karena itu, jaminan ketersediaan energi primer seharusnya yang dilindungi oleh negara.

“Saya pribadi menilai sesungguhnya hak yang harus dipenuhi negara adalah energi primer. Apa saja? Misalnya ya gas bumi, batu bara, energi-energi yang bersumber dari alam,” tambahnya.

Sementara itu, penyediaan listrik bukan lagi sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara. Alasan Bambang, energi listrik bukanlah energi primer. Sebab, harus ada proses yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi listrik. Dalam proses itu juga tentu dibutuhkan biaya.

“Jadi ya saya berpikir UU Ketenagalistrikan sekarang ini sudah baik. Tidak perlu lagi diutak-atik,” katanya.

Bambang melihat, persoalan di sektor ketenagalistrikan kini sudah bergeser. Menurutnya, persoalan yang penting untuk segera diselesaikan adalah terkait dengan kelembagaan. Ia mengatakan, perlu ada lembaga independen yang diberi kewenangan mengurusi masalah kelistrikan.

Dengan demikian, menurut Bambang, pemerintah tak perlu lagi ikut campur dalam persoalan penentuan tarif. Menurutnya pemerintah cukup berperan sebagai regulator. Sementara itu, yang diberi wewenang untuk mengurus hal-hal teknis-strategis adalah lembaga independen. Ia menyebut, lembaga semacam itu idealnya diisi oleh para pemangku kepentingan di luar pemerintah.

“Kalau di luar negeri itu kan ada energy commission. Isinya orang-orang independen. Kalau kita lihat di Indonesia, Dewan Energi Nasional saja masih pemerintah juga isinya,” kritik Bambang.

Ia percaya, jika urusan ketenagalistrikan diserahkan kepada lembaga independen itu maka masalah yang sekarang masih sering timbul bisa teratasi dengan baik. Namun, menurutnya jika pemerintah terus yang mengurusi listrik maka persoalan yang saat ini mencuat akan terus terulang.

Seperti diketahui, setelah sukses ‘membatalkan’ UU SDA, gerakan ‘jihad konstitusi’mengajukan judicial reviewUU Ketenagalistikan. Para pengusung jihad konstitusi menilai, UU Ketenagalistrikan bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merugikan kepentingan negara dan masyarakat.

Gugatan terhadap UU Ketenagalistrikan sendiri bukan baru pertama kali. Pada tahun 2004,  MK telah membatalkan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.  Sejarah mencatat, putusan tersebut merupakan yang pertama terhadap UU di bidang ekonomi. Kemudian, dari putusan itulah lahir UU Ketenagalistrikan yang berlaku saat ini.

Salah satu pemohon yang tergabung dalam jihad konstitusi, Marwan Batubara menegaskan uji materi dilakukan semata-mata untuk meluruskan UU tersebut sesuai dengan amanat konstitusi, yaitu UUD 1945, yakni dengan mengedepankan peran negara dalam pengelolaan sumber daya yang akhirnya mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.

"Ini negara kita, kita salah satu dari sekian juta mewakili penduduk di Indonesia, dan kita perjuangkan kepentingan Indonesia yang diamanatkan konstitusi," katanya kepada hukumonline, Rabu (6/5).
Tags:

Berita Terkait