Pemerintah Kesulitan Terjemahkan Putusan MK
Utama

Pemerintah Kesulitan Terjemahkan Putusan MK

Butuh kajian mendalam untuk menerjemahkan putusan MK ketika akan dituangkan dalam norma peraturan perundang-undangan tertulis.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Dirjen PP Kemenkumham, Wicipto Setiadi. Foto: Sgp
Dirjen PP Kemenkumham, Wicipto Setiadi. Foto: Sgp
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, sehingga harus dijalankan siapapun. Kalau tidak menjalankan atau membuat kebijakan yang berseberangan dengan putusan MK, bisa-bisa digugat seperti yang dialami Mahkamah Agung. Sejumlah advokat menggugat PMH Mahkamah Agung ke PN Jakarta Pusat lantaran menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang substansinya tak sesuai putusan MK.

Rupanya, menjalankan putusan MK tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi kalau hendak dituangkan ke dalam rumusan Undang-Undang.  Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Wicipto Setiadi, mengakui Pemerintah mengakui kesulitan menafsirkan setiap putusan MK ketika akan diterjemahkan secara teknis dalam peraturan perundangan-undangan. Sebab, selama ini dalam setiap pembentukan undang-undang pemerintah selalu berpedoman pada setiap putusan MK sebagai “rohnya”.

Pengakuan itu langsung ia sampaikan di depan hakim konstitusi. “Mohon maaf Yang Mulia, kadang tidak mudah menerjemahkan, elaborasi, atau mengkonkritkan isi putusan MK, sehingga seringkali menimbulkan debat panjang dengan DPR,” ungkap Dirjen Peraturan Peraturan Perundang-undangan Wicipto Setiadi saat sidang pengujian UU Advokat, Kamis (07/5) kemarin.

Dia mencontohkan kesulitan menerjemahkan putusan MK terutama pada sejumlah putusan MK terkait pengujian UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), sehingga tidak bisa dilaksanakan. “Padahal, pemerintah dan DPD sudah siap untuk melaksanakan, tetapi DPR tidak ada kemauan melaksanakan putusan MK,” kata Wicipto usai persidangan.

Kesulitan lain, ketika pemerintah menerjemahkan putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berimplikasi pengajuan Peninjauan Kembali (PK) dapat diajukan berkali-kali. “Putusan ini juga sulit betul untuk dikonkritkan agar bisa operasional, seperti definisi novum (bukti baru) seperti apa? Sampai saat ini kesulitan merumuskan definisi novum dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah.”

Selain itu, putusan pengujian MK bernomor 85/PUU-XI/2013 terkait pembatalan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang kemudian menghidupkan UU No. 11 Tahun 1974tentang Pengairan. Sebab, dalam, putusan MK ini tak memberi penjelasan apakah peraturan pelaksana UU Pengairan ini masih dinyatakan berlaku atau tidak?  “Akhirnya, kami menafsirkan peraturan pelaksana UU Pengairan otomatis berlaku kembali,” katanya.

Menurut dia, pada umumnya setiap putusan MK berisi hal-hal yang bersifat umum. “Isi putusan MK kan biasanya umum sekali, jadi ketika dituangkan dalam norma-norma rancangan peraturan perundang-undangan tidak mudah,” tegasnya.

Meski begitu, pihaknya berupaya menjabarkan dan menkonkritkan setiap isi putusan MK dalam setiap peraturan perundangan-undangan. “Nantinya, kita jabarkan dan konkritkan, seperti apa putusan MK itu diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan yang baru?

Menanggapi persoalan ini, Ketua MK Arief Hidayat mengatakan sebenarnya setiap putusan MK tidak bisa dikomentari lagi karena sudah final dan mengikat yang bersifat erga omnes. “Kalau putusan itu, sebenarnya kita tidak bisa mengomentari lagi, masa mau dikomentari lagi,” kata Arief di ruang kerjanya.

Namun demikian, dia mengakui bisa saja putusan MK tidak mudah diterjemahkan ketika akan dituangkan dalam norma-norma peraturan perundang-undangan tertulis. “Ini dibutuhkan kajian mendalam terlebih dahulu,” kata Arief.

Dia mencontohkan putusan MK terkait pembatalan UU SDA otomatis peraturan turunananya otomatis tidak berlaku. “Namun, bisa saja peraturan turunan UU SDA atau UU Pengairan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan enam prinsip yang telah digariskan dalam putusan MK itu”.

Ditambahkan Arief, pelaksanaan setiap putusan MK tergantung dari kesadaran stakeholders (pemangku kepentingan). “Putusan MK itu tergantung dari kesadaran para pemangku kepentingan. Kita tidak punya eksekutor seperti MA. Kalau MA, hukuman mati ada kejaksaan, tetapi kalau kita nggak. Sekarang ini sebetulnya sudah ada keteladanan contoh baik dari SBY dan Jokowi yang akan tunduk pada konstitusi,” katanya.
Tags:

Berita Terkait