Sulitnya Merealisasikan Pasal 33 UUD 1945
Fokus

Sulitnya Merealisasikan Pasal 33 UUD 1945

'Jihad konstitusi' sebagai salah satu jalan untuk meluruskan UU yang bertentangan dan tidak sesuai dengan prinsip konstitusi.

Oleh:
YOZ/FAT/M-22
Bacaan 2 Menit
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin bersama sejumlah tokoh yang menjadi pemohon pengujian UU SDA. Foto: ASH
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin bersama sejumlah tokoh yang menjadi pemohon pengujian UU SDA. Foto: ASH
Pasal 33 UUD 1945 menjadi salah satu pasal yang hingga kini tak kunjung terealisasi sejak Indonesia merdeka. Hal itu bisa dilihat dalam sidang uji materi sejumlah undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK). Belakangan, MK memutus uji materi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang akhirnya berbuah 'pembubaran' BP Migas tiga tahun lalu. Terakhir, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), turut dibatalkan oleh MK.

Berikutnya, terdapat tiga UU yang telah didaftarkan untuk diuji di MK, yakni UU Penanaman Modal, UU Ketenagalistrikan dan UU Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Pemohonnya sama, yakni mereka yang menamakan diri sebagai gerakan ‘jihad konstitusi’. Gerakan ini dipelopori oleh PP Muhammadiyah. Mereka menilai ketiga UU itu bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merugikan kepentingan negara dan masyarakat.

Selain ketiga UU di sektor ekonomi itu, masih banyak UU yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip konstitusi. Gerakan ‘jihad konstitusi’ mencatat setidaknya ada sekitar 115 UU yang tidak sesuai dengan prinsip konstitusi.

Fahmi Idris, salah satu pemohon yang tergabung dalam ‘jihad konstitusi’ bependapat, prinsip ekonomi kerakyatan adalah membangun kekuatan yang dimiliki oleh bangsa sendiri. Dia menjelaskan, kekuatan bangsa sendiri menurut uraian Pasal 33 UUD 1945 adalah segala macam bentuk kekayaan yang terkandung di dalam bumi, permukaan,dan sebagainya.

“Itu yang seyogyanya dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemajuan, kesejahteraan, dan perkembangan bangsa. Jadi ekonomi rakyat bukan anti asing. Bahwa di dalam mengembangkan itu terjadi joint venture, it’s ok,” ujar mantan Menteri Perindustrian itu.

Seperti diketahui, Pasal 33 UUD 1945 ayat (2) menyatakan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Sedangkan ayat (3) menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam  yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Fahmi mengatakan, keberatan pemohon tidak hanya terkait dengan Pasal 33 UUD 1945, tapi menyasar pasal lain. Dia berharap UU Penanaman Modal, UU Ketenagalistrikan dan UU Lintas Devisa bisa ditata kembali. Pasal mana saja yang bertentangan dan tidak sesuai dengan prinsip konstitusi bisa diamandir serta disinkronisasikan dalam semangat dan jiwa UUD 1945. Dia memastikan pihaknya akan terus mengawal untuk memastikan tujuan konstitusi benar-benar tewujud. 

Syaiful Bakhri, Ketua Majelis Hukum PP Muhammadiyah mengatakan hal yang sama. Dia tidak mempermasalahkan derasnya investasi asing yang masuk ke Indonesia. Menurutnya, masuknya modal asing ke Indonesia bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan. Bahkan, ia menegaskan pihaknya tidak ingin menghambat pasar bebas, seperti Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Hanya saja, ia mengkritisi norma-norma dalam UU yang dibuat oleh pemerintah dan DPR.

“Ini kan kaitannya dengan pertanyaan, kenapa pembuat UU nuansanya melanggar konstitusi. Tidak ada kaitannya dengan imperialisme, pemodal, liberalisme,” kata Syaiful.

Pemikiran Bung Hatta
Dalam persidangan UU tentang Migas di MK, terjadi perdebatan mengenai ‘Hak Menguasai Negara’ atau HMN yang mengerucut pada rumusan dalam Pasal 33 UUD 1945. Majelis Hakim Konstitusi dalam pertimbangan hukum membuat tafsir ‘HMN’ bukan dalam makna Negara memiliki. Akan tetapi, dimaknai bahwa Negara hanya merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan(beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichtoundaad).

Tafsir yang dikeluarkan MK tak jauh berbeda dengan hasil sidang majelis Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Saat itu, Wakil Presiden Pertama RI, Mohammad Hatta, membuat tafsir terkait pengertian dikuasai oleh Negara. Menurut Hatta, Pemerintah tak hanya jadi pengawas dan pengatur bagi rakyat, tetapi ‘tanah’ hingga ‘perusahaan tambang’ dijalankan sebagai usaha Negara.

Proklamator yang akrab disapa Bung Hatta itu sudah mengingatkan bahwa  implementasi Pasal 33 UUD 1945 penting untuk diawasi. Dia menegaskan, ekonomi Indonesia perlu dan harus mandiri. Bahkan, dalam Pidato Wakil Presiden RI tanggal 3 Februari 1946, Hatta melihat perlu adanya restrukturisasi posisi perekenomian Indonesia.

Pandangan Hatta mengenai sistem ekonomi yang ‘pas’ bagi Indonesia sejatinya memang berangkat dari rumusan norma dalam Pasal 33 UUD 1945 yang pada pokoknya menganut asas kekeluargaan. Dalam Pasal itu dikatakan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam konsep ‘Asas kerakyatan’, Hatta mengartikan bahwa kedaulatan terletak pada rakyat, serta hukum harus bersandar pada keadilan dan keberanan yang hidup dalam hati rakyat banyak. Tentu, ketentuan Pasal 33 menjadi tersimpangi jika ‘ketergantungan’ yang diasumsikan Hatta benar-benar terealisasi.

Ketua Majelis Hukum PP Muhammadiyah, Syaiful Bakhri, mengakui besarnya pengaruh pemikiran Bung Hatta tentang ekonomi kerakyatan. Menurutnya, hakim MK dalam segala keputusan tentang UU Migas mengadopsi pemikiran Bung Hatta. “Pemikiran Bung Hatta dalam tulisannya Demokrasi Kita, itu justru yang jadi alasan Hakim MK memutuskan perkara itu,” katanya.

Mantan Menteri Perindustrian, Fahmi Idris, berpendapat pemikiran ekonomi kerakyatan oleh Bung Hatta bukan berarti anti terhadap modal asing. Menurutnya, ekonomi kerakyatan yang diusung Bung Hatta lebih kepada membangun kekuatan yang dimiliki oleh bangsa sendiri.

Fahmi menjelaskan, kekuatan bangsa sendiri menurut uraian Pasal 33 itu adalah segala macam bentuk kekayaan yang terkandung di dalam bumi, permukaan, dan sebagainya yang seyogyanya dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemajuan, kesejahteraan, dan perkembangan bangsa.

“Jadi ekonomi rakyat bukan anti asing. Bahwa di dalam mengembangkan itu terjadi joint venture, its ok, asal prinsip pengolahannya digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat,” ujar Fahmi.
Tags:

Berita Terkait