Buruh Minta Penafsiran “Anjuran Tertulis”
Berita

Buruh Minta Penafsiran “Anjuran Tertulis”

Buruh menginginkan kata “anjuran” dalam UU PPHI dimaknai sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Sejumlah buruh akhirnya mempersoalkan frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indutrial (PPHI) ke MK. Mereka meminta tafsir agar “anjuran tertulis” dalam proses mediasi atau konsiliasi di Dinas Tenaga Kerja dimaknai sebagai “risalah” sebagai syarat formil pengajuan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

“Kita minta tafsir, yang disebut dalam UU PPHI itu anjuran tertulis, tetapi ketika mengajukan gugatan ke PHI mensyaratkan harus dengan ada risalah mediasi atau konsiliasi,” ujar salah satu pemohon, Muhammad Hafidz usai mendaftarkan uji materi UU PPHI di gedung MK, Rabu (13/5). Selain Hafidz, tercatat sebagai pemohon Wahidin, Solihin, Herwan, dan Yayat Sugara. Mereka buruh di wilayah Bekasi, Karawang, dan Bogor.

Kedua pasal itu menyebutkan apabila tidak tercapai kesepatakan antara pekerja dengan perusahaan dalam perselisihan hubungan industrial melalui mediasi/konsiliasi, maka mediator atau konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis.

Hafidz menegaskan selama ini mediator atau konsiliator hanya memberikan anjuran tertulis apabila tidak tercapai kesepakatan dalam penyelesaian sengketa industrial. Sebab,  UU PPHI sendiri tidak memberikan kewenangan kepada mediator/konsiliator untuk menerbitkan risalah.

”Persoalannya, mengacu Pasal 83 ayat (1) UU PPHI, gugatan ke PHI melampirkan risalah mediasi/konsiliasi sebagai syarat formil. Jika tidak, hakim PHI wajib mengembalikan gugatan para penggugat,” kata dia.

Menurutnya, keberadaan kedua pasal tersebut secara nyata telah merugikan para pihak termasuk para pemohon ketika akan mengajukan gugatan ke PHI.  Seharusnya, UU PPHI pun mengatur mediator maupun konsiliator berwenang mengeluarkan risalah, bukan hanya anjuran tertulis. Soalnya, syarat formil pengajuan gugatan di pengadilan adalah risalah penyelesaian.

“Tidak ada kewajiban melampirkan risalah mediator/konsiliator dalam gugatan, berakibat hakim PHI menjatuhkan putusan tidak dapat diterima. Hal ini tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemoho dalam perselisihan hubungan indusrial,” katanya.

“Jadi ada standar ganda, di satu sisi mengatur anjuran, di sisi lain mengatur risalah. Kenapa disitu tidak sekaligus saja anjuran dan risalah mediasi. Sebab, anjuran dengan risalah jelas berbeda.”

Lagipula dalam praktiknya, kata dia, risalah yang digunakan sebagai syarat pengajuan gugatan ke PHI, sedangkan anjuran tertulis tidak lagi. “Sebenarnya ‘anjuran tertulis’ dalam UU PPHI kewajiban ticketing ke pengadilan, tetapi praktiknya dan teori UU PPHI, anjuran tidak dipakai lagi, yang dipakai itu risalah,” tegasnya.

Karena itu, dirinya berharap MK menyatakan konstitusional bersyarat sepanjang kata “anjuran” dalam Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (2) UU PPHI dimaknai sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.

“Frasa ‘anjuran’ kedua pasal itu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai, ‘dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian hubungan industrial melalui mediasi/konsiliasi, maka mediator/konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi/konsiliasi,” demikian bunyi petitum permohonannya.
Tags:

Berita Terkait