Maqdir Ismail, Advokat ‘Pendobrak’ Objek Praperadilan
Berita

Maqdir Ismail, Advokat ‘Pendobrak’ Objek Praperadilan

Jejak rekamnya ‘melawan’ kesewenang-wenangan aparat penegak hukum bukan kali ini saja tergurat. Perjuangannya, bersama teman-teman pengacara, membuahkan hasil.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Maqdir Ismail di kantornya. Foto: RES
Maqdir Ismail di kantornya. Foto: RES
Sekitar lima tahun lalu, dalam sebuah nota pembelaan kliennya di Pengadilan Tipikor, pengacara ini memperlihatkan perjuangannya melawan pelanggaran hukum dan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, terutama KPK. Nota pembelaan yang dibukukan itu diberi judul "KPK juga Bisa Salah".

Bertahun-tahun setelah pledoi itu, sang pengacara semakin dikenal sebagai orang yang mempersoalkan kesewenang-wenangan itu. Maqdir Ismail, sang pengacara dimaksud, tentu tak asing lagi di kalangan praktisi hukum. Ya, advokat penyandang gelar doktor ilmu hukum ini baru saja “menang” di Mahkamah Konstitusi (MK).

Teranyar, pria kelahiran 18 Agustus 1954 ini mewakili terpidana kasus korupsi proyek biomediasi PT Chevron, Bachtiar Abdul Fatah, memohon pengujian KUHAP ke MK. Alumnus Fakultas Hukum UII Yogyakarta ini berhasil. MK memberi penafsiran konstitusional terhadap bukti permulaan yang cukup yang harus dimaknai dua alat bukti ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka sekaligus mensyaratkan pemeriksaan calon tersangkanya. Selain itu, MK telah memperluas objek praperadilan yang diatur Pasal 77 huruf a KUHAP termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

Upaya Maqdir “mendobrak” pakem penetapan tersangka sebagai objek praperadilan ternyata cukup panjang. Berawal ketika pengajuan praperadilan penetapan tersangka kasus korupsi Chevron Bachtiar Abdul Fatah dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada 27 September 2012, hakim tunggal Suko Harsono mengeluarkan putusan praperadilan di luar pakem objek praperadilan.
Selain memutus penahanan Bachtiar tidak sah, Suko memutus penetapan tersangka Bachtiar tidak sah. Akibatnya, hakim Suko sempat dijatuhi hukuman disiplin (etik) oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) lantaran memperluas objek praperadilan.

Kembali mewakili Bahtiar, advokat senior yang kerap menangani kasus-kasus besar ini mengajukan uji materi sejumlah pasal KUHAP terkait proses penetapan tersangka dan objek praperadilan ke MK sekira Maret 2014. Di sela-sela uji materi itu, Maqdir kembali “menang” di PN Jakarta Selatan ketika menjadi kuasa hukum Komjen Pol Budi Gunawan. Hakim tunggal Sarpin Rizaldi membatalkan proses penetapan tersangka BG oleh KPK. Berbeda dengan Suko, putusan praperadilan Hakim Sarpin justru didukung MA.

Dalam putusannya pada (16/2), hakim Sarpin menegaskan penetapan tersangka masuk lingkup objek praperadilan. Sebagian kalangan memuji sang hakim, sebagian lagi mengkritik. Bahkan, kritikan datang dari beberapa mantan pimpinan MA sendiri.
Kontras, akhirnya putusan Sarpin ini “dikukuhkan” lewat putusan MK bernomor 21/PUU-XII/2014. Putusan ini sekaligus mengakhiri polemik dapat tidaknya penetapan tersangka dimohonkan praperadilan, terutama pasca putusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang membatalkan status tersangka BG karena prosesnya tidak sah.

Ditemui hukumonline di kantornya, kawasan Menteng Jakarta Selatan, Rabu (6/5), doktor lulusan FHUI (2005) ini mengungkapkan latar belakang, motivasi, alasan yang mendasari gigihnya memperjuangkan agar penetapan tersangka masuk lingkup objek praperadilan. Berikut ini petikan wawancaranya:

Bagaimana latar belakang dipersoalkannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan?
Awalnya, kondisi carut-marutnya prosedur penetapan tersangka saya alami sejak tahun 1984-1985 saat membela perkara (politik) Tanjung Priok. Ketika itu, beberapa korban penganiayaan dan penembakan oleh aparat kenapa kemudian bisa ditetapkan sebagai tersangka. Pembelaan kita dalam sidang mempertanyakan bagaimana bisa korban penembakan bisa ditetapkan sebagai tersangka, diadili, dan dihukum. Sementara yang menembak kita tidak pernah tahu. Semuanya, bermula dari sini dan persoalan ini terus berkembang.

Puncaknya, ketika pengajuan permohonan praperadilan Bachtiar saat ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Kejaksaan Agung tanpa ada bukti penghitungan kerugian negara. Dalam sidang, kita hadirkan ahli pidana Chairul Huda dan ahli hukum administrasi Dian Puji Simatupang yang menyimpulkan tidak bisa seseorang ditetapkan sebagai tersangka korupsi sepanjang belum ada kerugian negara. Sebab, elemen penting tindak pidana korupsi adalah unsur kerugian negara. Akhirnya, hakim tunggal Suko Harsono memutuskan penetapan tersangka korupsi Bachtiar Abdul Fatah dalam kasus proyek biomediasi PT Chevron tidak sah karena proses penetapan tersangkanya belum ada bukti perhitungan kerugian negara.

Namun, dia kecewa atas sikap ketertutupan Bawas MA ketika memeriksa dan menjatuhkan sanksi disiplin terhadap hakim Suko Harsono yang didemosi di Pengadilan Negeri Ambon terkait putusan praperadilan Bachtiar yang dianggap melampaui KUHAP ini. Soalnya, pihaknya tak pernah dimintai keterangan oleh Bawas MA.
Informasi adanya surat sanksi Bawas MA ini, baru diketahui dari Kejaksaan Agung saat proses prapenuntutan. Ironisnya, Kejaksaan Agung sendiri tak melaksanakan putusan praperadilan Suko ini yang semestinya menerbitkan surat penghentian penyidikan (SP3). Lalu, putusan memperluas objek praperadilan ini diikuti hakim Sarpin Rizaldi yang membatalkan proses penetapan tersangka BG oleh KPK.                                                  

Apakah permohonan uji materi ini diajukan demi kepentingan upaya hukum Bachtiar dan BG?
Oh tidak, bukan semata karena itu. Uji materi KUHAP terkait proses penetapan tersangka dengan bukti permulaan dan objek praperadilan yang dijalankan tidak benar dan ada HAM yang dilanggar aparat penegak. Sebab, kita memandang induk upaya paksa adalah dimulai dari proses penetapan tersangka yang selama ini belum melindungi HAM. Namun, sejak putusan MK itu bukti permulaan minimal dua alat bukti disertai pemeriksaan calon tersangka dan objek praperadilan lebih diperluas termasuk penetapan tersangka, penggeledehan, dan penyitaan.

Soalnya, selama ini praktik di KPK, orang ditetapkan sebagai tersangka, setelah itu baru dicari-cari buktinya, seperti kasus BG yang belum diperiksa KPK. Selain itu, meski penggeledahan dan penyitaan dalam KUHAP membatasi benda yang boleh disita, tetapi praktik di KPK semua benda/harta dapat disita. Terkadang, barang atau harta benda yang tidak ada hubungannya dengan korupsi pun turut disita. Bahkan, harta terdakwa korupsi sebelum ada UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau sebelum adanya KPK pun turut disita. Hal ini terjadi dalam beberapa kasus korupsi diantaranya kasus korupsi dengan terdakwa Luthfie Hasan Ishaq, Ahmad Fathanah, Djoko Susilo. Ini kan tidak benar, bentuk penyalahgunaan wewenang atas nama penegakan hukum.

Apa tujuan besar yang hendak dicapai dari permohonan itu?
Siapapun tidak ingin HAM diperlakukan sewenang-wenang oleh penegak hukum, sehingga menjadi kewajiban kita untuk mempersoalkan itu. Jadi tujuan besar permohonan ini lebih pada perlindungan HAM karena tidak boleh HAM dilanggar atas nama penegakan hukum. Terlebih, sebelumnya pernah ada fakta kasus, seorang berstatus terdakwa tanpa pernah ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya. Misalnya, dalam surat dakwaan menguraikan ketika seorang terdakwa melakukan pidana bersama-sama orang lain yakni si A, B, C, D. Lalu, orang ini bisa menjadi “terdakwa” seumur hidup tanpa ada proses penetapan tersangkanya.

Implikasi putusan MK diperkirakan pengadilan “banjir” permohonan praperadilan, bagaimana pandangan Anda?
Bisa saja, tetapi implikasi putusan MK ini sebagai konsekuensi logis dari proses penetapan tersangka yang selama ini prosedurnya dilakukan secara tidak sah oleh penyidik yang cenderung sewenang-wenang.        

Manfaat atau pesan apa yang bisa dipetik dari putusan MK itu?
Putusan MK ini melahirkan mekanisme kontrol horizontal oleh pengadilan dan menjadi “pintu masuk” bagi semua orang ketika ditetapkan sebagai tersangka yang prosesnya tidak sah, tidak adil, dan melanggar HAM. Penyidik juga harus lebih berhati-hati ketika menetapkan seseorang menjadi tersangka baik dari sisi prosedurnya maupun perolehan alat buktinya. Putusan ini juga menjadi pelajaran yang baik bagi para penyidik baik di kepolisian/kejaksaan maupun KPK agar tidak semena-mena menetapkan seseorang sebagai tersangka.     

Dengan putusan MK ini, harapan Anda ke depan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia?
Kita sangat berharap putusan MK ini ditaati dan diimplementasikan dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Dia pun mengajak para penyidik untuk menerapkan putusan MK ini secara baik dan konsisten terkait proses penetapan tersangka dengan memperhatikan hak asasi manusia (HAM). Sebab, baginya HAM lebih tinggi kedudukannya daripada hukum, sehingga HAM harus dilindungi dan dihormati. 
Tags:

Berita Terkait