Pemohon Berharap MK Tafsirkan Batas Waktu HUM
Berita

Pemohon Berharap MK Tafsirkan Batas Waktu HUM

Kini, tergantung kemauan MK dan MA sendiri sebagai lembaga pelaksana untuk memutuskan dan menyikapi persoalan ini.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Salah satu pemohon uji materi Pasal 31A ayat (4) huruf h UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (MA), Muhammad Hafidz berharap Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menafsirkan ketentuan batas waktu 14 hari dalam proses pemeriksaan hak uji materi (HUM). Sebab, aturan ini dinilai multitafsir terkait jangka waktu penyelesaian HUM, apakah 14 hari sejak perkara diterima atau sejak kapan? 

“Kami tetap anggap Pasal 31A ayat (4) UU MA itu multitafsir karena 14 hari penyelesaian HUM itu dihitung sejak kapan? Makanya, setidaknya MK bisa menafsirkan jangka waktu 14 hari itu,” ujar salah satu pemohon uji materi UU MA, Muhammad Hafidz saat ditemui di MK, Rabu (13/5) lalu.

Hafidz menegaskan ketentuan itu belum memberi kepastian mengenai jangka waktu penyelesaian HUM disebut selama 14 hari. Padahal, dalam praktiknya selama ini jangka penyelesaian HUM variatif, tidak 14 hari. “Faktanya, penyelesaian HUM baru diselesai dan diputus majelis bisa berbulan-bulan atau setahun lebih. Artinya, MA tidak konsisten dengan jangka waktu penyelesaian HUM yang menetapkan hanya 14 hari,” ungkapnya.

Kontras, seperti pengujian undang-undang di MK yang tidak dibatasi jangka waktu penyelesaiannya. Soalnya, memang tidak ada aturan yang membatasi jangka waktu penyelesaiannya. “Permohonan pengujian undang-undang bisa sebulan, berbulan-bulan, setahun lebih tergantung apakah permohonannya menarik perhatian publik atau tidak atau skala prioritas,” kata dia.

Diakunya, ketentuan Pasal 31A ayat (4) UU MA itu tidak mengatur sifat terbuka atau tertutupnya sidang HUM di MA. Namun, apabila dibaca seluruh Pasal 31A UU MA ini mengandung makna sifat terbuka atau tertutupnya sidang HUM. “Seharusnya, kita uji materi Pasal 31A UU MA, karena bagi kami Pasal 31A ayat (4) yang paling tepat untuk diuji,” katanya.

Kini, kata dia, tinggal tergantung kemauan MK dan MA sendiri sebagai lembaga pelaksana  untuk memutuskan dan menyikapi persoalan ini. “MA bisa saja melakukan pembenahan internal dengan mengubah Peraturan MA No. 1 Tahun 2011 tentang HUM tanpa harus menunggu putusan MK,” sarannya.

“Sebenarnya kalau Perma HUM ini direvisi hukum acaranya dengan menetapkan jangka waktu dan sifat sidangnya terbuka, tentu kita dan MK tidak perlu repot-repot lagi untuk menafsirkan pasal itu,” tambahnya.

Dalam persidangan terakhir pada Kamis (7/5) kemarin, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), M Nur Sholikin mengungkapkan data putusan permohonan HUM periode 2011-2014 dari mulai peraturan pemerintah, perpres, permen, peraturan lembaga, surat edaran hingga peraturan kepala daerah. Dari sepuluh data putusan HUM, jangka waktu penyelesaian HUM bervariasi, dari hitungan bulan, hingga 2 tahun lebih baru diputus.

Untuk diketahui, sejumlah buruh yakni Muhammad Hafidz, Wahidin, dan Solihin mempersoalkan Pasal 31A ayat (4) huruf h UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA terkait aturan proses permohonan uji materi di MA yang faktanya terkesan bersifat tertutup untuk umum.

Mereka menilai, tertutupnya proses pemeriksaan uji materi peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang ini mengikis atau mengurangi akuntabilitas hakim agung yang memeriksa dan mengadili permohonan ini. Karenanya, mereka meminta  proses pemeriksaan dan pembacaan putusan uji materi dilakuan secara terbuka untuk umum mengingat peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian berdampak pada masyarakat luas (erga omnes). Permohonan ini tinggal menunggu keputusan MK.
Tags:

Berita Terkait