Belum Hasilkan UU, Sorotan Terhadap Parlemen Kian Tajam
Utama

Belum Hasilkan UU, Sorotan Terhadap Parlemen Kian Tajam

Hari legislasi dinilai solusi reaksioner tanpa mencari akar persoalan di hulu.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Memasuki bulan ketujuh, belum ada satu pun Rancangan Undang-Undang (RUU) baru yang dibahas oleh DPR bersama pemerintah. Fungsi legislasi seolah terabaikan. Sorotan terhadap lembaga parlemen kian tajam dari publik. Memasuki masa sidang ke IV, DPR bakal fokus membahas puluhan RUU Prolegnas prioritas 2015.

“Di bidang legislasi DPR akan menyelesaikan penyusunan RUU yang menjadi usul DPR,” ujar Ketua DPR Setya Novanto dalam pidato pembukaan masa persidang ke IV di Gedung DPR, Senin (18/5).

Menurut Setya Novanto, pimpinan DPR akan mendorong semua komisi agar segera menyelesaikan RUU yang sudah masuk dalam tahap penyusunan. Setelah itu, dapat segera disampaikan ke Badan Legislasi (Baleg) untuk dilakukan harmonisasi, pembulatan dan pemantapan konsepsi. Misalnya, RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dan Larangan Minuman Beralkohol. Ia berharap kedua RUU tersebut dapat segera diparipurnakan unutk setujui menjadi RUU usul DPR.

Ia mengatakan, harapan publik terhadap capaian legislasi terbilang tinggi. Makanya, DPR mesti bekerja keras menghasilkan RUU berkualitas sesuai target. Namun, ia berpandangan penyelesaian legislasi bukan saja menjadi tangungjawab DPR semata, tetapi juga pemerintah. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah mesti bekerjasama secara optimal.

“Pimpinan DPR menghimbau seluruh anggota DPR untuk kembali menyepakati dan menetapkan adanya hari legislasi dalam setiap minggu, agar kita dapat memenuhi target penyelesaian legislasi yang sudah menjadi komitmen bersama,” ujarnya.

Wakil Ketua Baleg Firman Subagyo mengakui target Prolegnas menjadi sorotan publik. Menurutnya, selang tujuh bulan DPR periode 2014-2019 menjabat, belum ada satu pun RUU yang dibahas. Akibatnya, alat kelengkapan DPR yakni Baleg mendapat getah buruk. Padahal, Baleg tidak dalam kapasitas merevisi maupun membahas RUU.

“Prolegnas ini memang menjadi keprihatinan kami mendalam, imbasnya belum tercapai Prolegnas, Baleg menerima getahnya. Sekarang ini dengan adanya revisi UU MD3, seluruh pembahasan UU dan revisi diserahkan kepada komisi,” katanya.

Anggota Komisi IV itu memahami mepetnya waktu masa sidang sehingga Baleg belum dapat melakukan harmonisasi RUU yang diusulkan komisi maupun pemerintah. Pasalnya, waktu reses DPR sebelumnya sebanyak empat kali dalam setahun, kini menjadi lima kali.

Oleh sebab itu, katanya, dibutuhkan strategi untuk mengatasi capaian target legislasi. Misalnya, jika dalam satu kali masa sidang selama satu bulan masa kerja, maka satu minggu disisihkan khusus pembahasan RUU. “Kalau dari legislasi yang diprioritaskan harinya, ditetapkan harinya itu, ini semua komisi-komisi, kemudian juga Baleg diberikan slot, insya Allah itu semua akan tercapai,” ujar Fiman.

Sebaliknya, jika tidak mengalami perubahan strategi, Firman mengaku pesimis dengan capaian target legislasi. Sebagai orang yang memahami dalam mekanisme pembuatan legislasi, Firman mengaku mesti terbuka atas besarnya harapan publik. Strategi lain yang dapat dilakukan agar terpenuhi capaian legislasi, menurut Firman, dengan memberikan kewenangan kepada Baleg untuk membahas RUU. Pasalnya, anggota Baleg yang berjumlah 74 orang cukup berpengalaman dalam penyusunan dan pembahasan RUU.

“Tetapi kalau tidak ada perubahan, perbaikan tentang alokasi waktu, namanya legislasi wallahualam, saya tidak optimis legislasi 37 bisa tercapai. Saya harus terbuka dalam masalah ini,” katanya.

Politisi Partai Golkar itu mengatakan selain persoalan di DPR, kendala yang dihadapi adalah belum siapnya pemerintah. Menurutnya, sejumlah RUU usulan pemerintah belum ada satu pun yang dilakukan harmonisasi. Padahal, pada saat penetapan Prolegnas, syarat utama penyusunan sebuah RUU adalah kesiapan naskah akademis dan draf RUU.

“Belum (ada naskah akademiknya, red). Makanya, ini komisi supaya konsisten dengan usulannya,” ujarnya.

Terpisah, Direktur Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri berpandangan  banyaknya agenda reses berakibat proses legislasi menjadi lebih sedikit. Terlebih pemerintah belum dapat menentukan sejumlah RUU yang dapat disampaikan naskah akademik serta draf RUU kepada DPR, antara lain RKUHP. Begitu pula dengan DPD yang mengusulkan RUU Wawasan Nusantara yang semestinya sudah siap dengan naskah akademik dan draf RUU untuk disampaikan kepada DPR dan pemerintah.

Terkait dengan strategi hari legislasi yang akan digunakan DPR, menurut Ronald, tak akan cukup berarti. Pasalnya, DPR periode sebelumnya telah mencanangkan dua hari dalam sepekan sebagai hari legislasi. Sayangnya, target Prolegnas prioritas tak juga tercapai. Ia menilai solusi hari legislasi cenderung reaksioner serta ditujukan pada hilir persoalan.

“Padahal hulu permasalahan ada pada desain Prolegnas yang bermasalah. Wajah anggota DPR berganti tiap periodenya, tapi desain Prolegnasnya masih menggunakan desain yang bermasalah. Maka DPR dan Pemerintah akan mengalami berulang kali kegagalan capaian Prolegnas, sekalipun ada hari legislasi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait