Langkah Antisipatif Penegak Hukum Pasca Putusan MK
Kolom

Langkah Antisipatif Penegak Hukum Pasca Putusan MK

Penegak hukum perlu menghilangkan paradigma administrasi prosedural di dalam melihat proses pembuktian pada praperadilan.

Bacaan 2 Menit
Giri Ahmad Taufik. Foto: Facebook
Giri Ahmad Taufik. Foto: Facebook
Pada prinsipnya Hukum Acara Pidana ditujukan untuk menyeimbangkan dua kepentingan yang saling bertentangan. Yakni, kewenangan aparat hukum untuk menginvasi hak seseorang demi efektivitas penegakan hukum dan pengekangan terhadap kewenangan tersebut untuk perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Perlu diakui UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini dibentuk di atas konfigurasi politik pada era Orde Baru, yang bersifat represif dan otoritarian. Hal ini menyebabkan luasnya kewenangan penegak hukum di dalam menginvasi hak-hak individu, dan minimnya pengekangan terhadap kewenangan tersebut. Pada akhir-akhir ini kelemahan KUHAP tersebut semakin diperdebatkan.

Putusan praperadilan yang membatalkan penetapan tersangka Budi Gunawan kemudian disusul dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014, sedikit banyak telah mendorong proses reformasi KUHAP untuk menguatkan hak-hak tersangka. Putusan MK 21/2014 mendorong pengekangan diskresi yang berlebihan dari aparat hukum, yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan efektivitas penegakan hukum menjadi terganggu. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh kekalahan KPK dalam praperadilan eks Wali Kota Makassar Ilham Arief.

Terdapat dua hal yang perlu diantisipasi KPK, Jaksa dan Kepolisian dari Putusan MK 21/2014 dan kecenderungan dalam putusan praperadilan untuk menguatkan hak-hak tersangka. Pertama, untuk menghilangkan paradigma administrasi prosedural di dalam melihat proses pembuktian pada praperadilan. Kedua, bagi para hakim praperadilan perlu mengembangkan gradasi pembuktian di dalam sistem pembuktian peradilan pidana.   

Menghilangkan Paradigma Lama
Pada umumnya, praktik pemeriksaan di dalam persidangan praperadilan hanya mencakup prosedur tindakan penyidikan yang dilakukan. Sebagai contoh, dalam hal penangkapan, pemeriksaan seringkali hanya memeriksa kesesuaian surat penangkapan dengan KUHAP, seperti identitas diri dan ada atau tidaknya alasan penangkapan dalam surat tersebut.  Pada aspek subtantif, seringkali pemeriksaan hanya terbatas checklist terhadap bukti-bukti yang diajukan tanpa melihat keterkaitan dari bukti-bukti tersebut.

Pemahaman ini sedemikian rupa telah menjadi paradigma yang tertanam di dalam aparat  hukum. Padahal dalam kecenderungan putusan-putusan praperadilan yang ada, para hakim sudah secara progresif meninggalkan cara pandang tersebut. Hal ini dapat dilihat pada beberapa putusan praperadilan. Salah satunya, putusan praperadilan nomor 38/Pid.Prap/2012/PN Jkt.Sel (Kasus Chevron a.n Bachtiar Abdul Fatah).

Pada kasus Bachtiar Abdul Fatah, sangat kuat bahwa proses pembuktian yang dilakukan oleh Kejaksaan sangat bersifat prosedural. Jaksa pada kasus tersebut hanya memaparkan proses serangkaian tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukannya, tanpa memberikan pembuktian mengenai hasil pemeriksaan tersebut sehingga dapat disimpulkan patut diduga bahwa Bachtiar Abdul Fatah telah melakukan tindak pidana yang dituduhkan. (Chandra M. Hamzah, Bukti Permulaan Yang Cukup, 2014)

Dalam konteks KPK misalnya, pada kasus Budi Gunawan dan Ilham Arief, tampak KPK enggan memberikan bukti atau bahkan tidak memberikan informasi lengkap terkait sangkaan yang dituduhkan kepada para terdakwa. Keterangan yang diberikan oleh penyidik KPK hanya terbatas pada serangkaian tindakan yang telah dilakukan berikut administrasi pendukungnya. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi, yang menyatakan bahwa “sidang praperadilan semestinya tidak membicarakan subtansi penyidikan, tetapi prosedur penetapan tersangka” (Kompas.com, 12 Mei 2015).

Kecenderungan para hakim melihat proses praperadilan yang tidak lagi hanya sebatas administratif prosedural semata, seharusnya segera diadaptasi oleh penegak hukum pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Paradigma praperadilan yang dianggap hanya dilakukan untuk menguji administrasi prosedural harus ditinggalkan, dan mengantisipasi setiap forum praperadilan dimaksudkan juga untuk menerangkan hasil materi pemeriksaan substantif yang telah dilakukan berikut bukti-bukti pendukungnya.

Gradasi Pembuktian
Putusan MK 21/2014 menyatakan bahwa “bukti permulaan yang cukup”, “bukti yang cukup” dan “bukti permulaan” harus dimaknai dua alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 KUHAP. Konsep ini tentu layak dirayakan dari sisi perlindungan hak asasi, namun dari sisi efektivitas penegakan hukum menjadi persoalan serius. Hal ini dikarenakan hampir mustahil bagi penegak hukum memenuhi standar pembuktian tersebut.

Sebagai contoh, dalam hal tahap penyidikan dan penyelidikan adalah mustahil untuk mendapatkan alat bukti saksi dan keterangan ahli, dimana secara teknis yang dimaksud alat bukti saksi di dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP adalah saksi yang menyatakan kesaksiannya pada sidang pengadilan pokok perkara demikian pula keterangan ahli menjadi alat bukti ketika dinyatakan di depan pengadilan pokok perkara (Pasal 186 KUHAP).

Padahal dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat hukum pada tahap penyelidikan/penyidikan, keterangan para saksi ataupun ahli masih dianggap sebagai hasil pemeriksaan yang dituangkan di dalam berita acara hasil pemeriksaan, secara teknis hal ini bukan merupakan alat bukti sebagaimana dimaksud pada Pasal 184 KUHAP.

Terkait dengan hal ini Hakim Tjaroko Imam Widodadi dalam Putusan Nomor 27/Pid.Prap/2002/PN Jakarta Selatan (Kasus Abu Bakar Ba’syir), menyatakan bahwa alat bukti pada tahap penyidikan, gradasinya tidak dapat dipersamakan dengan alat bukti pada tahapan penuntutan/pengadilan, karena jika disamakan akan menghambat proses penyidikan yang dilakukan dan dapat menimbulkan keresahan di masyarakat. Sehingga standar kecukupan alat bukti sebagai dua alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 184 KUHAP tidaklah dapat diterima.

Adapun bukti-bukti yang diajukan pada tahapan persidangan praperadilan bukan merupakan alat bukti sebagaimana Pasal 184, namun merupakan hasil-hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh penegak hukum pada tahap penyelidikan dan penyidikan, seperti berita acara pemeriksaan saksi, hasil laporan intelijen, hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), penghitungan kerugian negara oleh penyelidik dan hasil-hasil pemeriksaan/bukti lainnya yang secara materil dapat memberikan gambaran bahwa patut diduga seseorang tersebut merupakan pelaku dari tindak pidana yang disangkakan.  

*Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Jentera/Peneliti PSHK
Tags:

Berita Terkait