Penegakan Pidana Perburuhan Lemah
Utama

Penegakan Pidana Perburuhan Lemah

Korupsi diduga menjadi salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum perburuhan. Usul pembentukan unit khusus di kepolisian belum terwujud.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Kantor LBH Jakarta. Foto: Dok. Hol
Kantor LBH Jakarta. Foto: Dok. Hol
Seorang isteri yang menggantikan suaminya mengurus perusahaan dihukum pidana penjara karena membayar upah pekerjanya di bawah upah minimum. Dalih sang isteri bahwa ia mengurus perusahaan karena suaminya sakit, dan ia bukanlah pemilik perusahaan, ditepis hakim. Di tingkat peninjauan kembali permohonan sang isteri juga ditolak.

Peristiwa di Surabaya beberapa tahun lalu menjadi salah satu perkara pidana perburuhan yang terlacak hingga tahap peninjauan kembali. Jumlah pasti perkara pidana perburuhan yang sampai ke pengadilan tak diketahui. Tetapi pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Eny Rofiatul, mensinyalir penegakan hukum pidana perburuhan selama ini masih minim.

Indikasinya, sedikit perkara pidana perburuhan yang bisa menjatuhkan sanksi kepada pemberi kerja atau pengusaha akibat melakukan pelanggaran atas hak-hak pekerja. Tiga pidana perburuhan yang diadvokasi LBH Jakarta tak berlanjut ke pengadilan. Padahal, Pasal 183-188 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merumuskan norma sanksi pidana di bidang perburuhan. "Pelaksanaan pidana perburuhan selama ini tumpul," kata Eni dalam diskusi di kantor LBH Jakarta, Senin (18/5).

Dikatakan Eni, LBH Jakarta dan sejumlah Serikat Pekerja (SP) sudah sejak 2013 lalu meminta Polri membentuk unit khusus yang menangani perkara pidana perburuhan. Namun sampai sekarang tuntutan tersebut belum dipenuhi. Eni malah balik mempertanyakan sikap reaktif polisi kalau ada pengusaha yang memperkarakan buruh atau pengurus serikat pekerja.

Eny mengatakan pidana perburuhan ditujukan untuk melindungi hak-hak buruh. Karena itu, pengusaha nakal yang tidak memenuhi hak buruh seharusnya dijatuhkan sanksi. Mekanismenya sudah jelas. PPNS Ketenagakerjaan melakukan penyidikan terhadap kasus pidana perburuhan yang dilaporkan. Jika memenuhi unsur pidana, perkara  berlanjut ke pengadilan. Di sini, kasus perburuhan ditarik ke ranah privat, dan dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial meskipun unsur pidananya kuat.

Masalah lain yang kerap dihadapi buruh dalam melaporkan perkara pidana perburuhan kepada kepolisian yaitu pelayanan berlarut (undue delay). Misalnya, polisi memberikan berbagai syarat yang harus dipenuhi buruh sebelum melapor. Menurutnya, itu terjadi karena aparat tidak punya perspektif pidana perburuhan atau ada sentimen tertentu terhadap buruh. Akibatnya, buruh selalu dirugikan atas pelanggaran yang dilakukan pengusaha.

Persoalan yang dihadapi buruh itu bagi Eny bersinggungan dengan dugaan korupsi dan kolusi. Sebab, ada indikasi aparat yang menerima pengaduan dari buruh "menjual" perkara itu kepada pengusaha bersangkutan. Kalau terjadi ‘transaksi’. Ujungnya perkara itu dihentikan atau di-SP3. Begitu pula yang terjadi pada pengawas ketenagakerjaan.

Sekjen Transparency International Indonesia, Dadang Trisasongko, mengatakan hasil survei Global Corruption Barometer tahun 2013 menunjukan Polri sebagai salah satu lembaga yang paling terdampak korupsi akibat perilaku anggotanya. Penegakan hukum dan politik penegakan hukum di kepolisian dipengaruhi oleh sejumlah aktor. Diantaranya pebisnis dan politisi. Kedua aktor itu berpeluang besar mengarahkan kepada siapa hukum ditegakkan. "Itulah yang dihadapi buruh yaitu pebisnis dan politisi," ucapnya.

Apalagi, Dadang melihat perkara perburuhan dan SDA dipandang sensitif secara ekonomi dan politik bagi aparat penegak hukum. Karena sejak awal pemerintah dan aparat memandang jika penegakan hukum perburuhan dilakukan, bisa membuat pengusaha kabur ke luar negeri. Hal itu diperparah dengan maraknya korupsi. Kedua hal tersebut mempengaruhi tumpulnya penegakan hukum di Indonesia, tak terkecuali pidana perburuhan.

Dadang berpendapat kewenangan yang dimiliki Polri sangat besar. Oleh karenanya, aparat kepolisian dapat menyidik, menahan atau membebaskan orang. Untuk itu, tanpa akuntabilitas maka potensi korupsi dalam penegakan hukum bisa terjadi. Oleh karenanya tidak sedikit kasus pidana perburuhan yang dilaporkan buruh mandek. Sebab perkaranya ditangani aparat penegak hukum yang korup dan "menjual" perkara itu kepada pengusaha.

Atas dasar itu Dadang mengatakan sekalipun Polri membentuk unit khusus pidana perburuhan bukan berarti unit itu langsung berjalan otomatis sesuai harapan. Harus dilakukan pengawasan yang ketat terhadap Polri baik internal dan eksternal. "Polri tidak bisa dibiarkan sendirian mereformasi dirinya," tukasnya.

Sekretaris Nasional Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Sultoni, mengatakan penegakan hukum yang dilakukan aparat terhadap buruh sama seperti yang dirasakan masyarakat kecil pada umumnya. Penegakan hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Sultoni memperkirakan lebih banyak buruh yang dikriminalisasi dan masuk penjara ketimbang pengusaha yang ditindak karena melanggar aturan.
Misalnya, SGBN telah melaporkan dua kasus pidana perburuhan kepada aparat. Namun, setelah bertahun-tahun berjalan, sampai sekarang kasusnya mandek. Tapi dalam waktu cepat, terhitung ada tiga anggota SGBN yang dijadikan tersangka oleh kepolisian atas kasus yang diadukan pengusaha.

Sebagai upaya mengatasi persoalan itu salah satu cara yang bisa dilakukan menurut Sultoni mendorong Polri membentuk unit khusus yang menangani perkara perburuhan. Kemudian, butuh peran semua pihak untuk melakukan pengawasan secara ketat dan terus-menerus terhadap implementasinya.
Tags:

Berita Terkait