Advokat Gajah Bertempur, Advokat Pelanduk Mati di Tengah
Kolom

Advokat Gajah Bertempur, Advokat Pelanduk Mati di Tengah

Para elit politik terlalu sering mementingkan kepentingan mereka sendiri ketimbang kepentingan orang-orang kecil dan organisasi advokat yang katanya adalah organisasi para officium nobile adalah bukan pengecualian.

Bacaan 2 Menit
Hendra Setiawan Boen. Foto: Koleksi Penulis
Hendra Setiawan Boen. Foto: Koleksi Penulis

Beberapa hari lalu, kepengurusan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) masa jabatan 2015-2020 versi Juniver Girsang dilantik. Pelantikan tersebut cukup mengejutkan, yaitu munculnya nama sejumlah tokoh dunia advokat Indonesia yang telah cukup lama menolak keberadaan PERADI sebagai organ tunggal. Mereka adalah Adnan Buyung Nasution, Indra Sahnun Lubis, Teguh Samudera, Todung Mulya Lubis, Tommy Sihotang dan lain sebagainya.

Ini tentu kabar gembira, karena berarti semangat rekonsiliasi dan konsilidasi organisasi advokat yang didengungkan oleh Juniver Girsang telah dijalankan. Masalahnya adalah Juniver Girsang bukan satu-satunya kelompok yang mengaku sebagai penerus kepengurusan Otto Hasibuan setelah kegagalan Munas PERADI di Makassar.

Tercatat setelah Munas, PERADI pecah menjadi PERADI versi Otto Hasibuan yang berencana melanjutkan Munas di Pekanbaru pada bulan Juni mendatang dan orang-orang yang menyatakan diri sebagai caretaker PERADI sekaligus mendemisionerkan kepengurusan Otto Hasibuan.

Belakangan caretaker terpecah dan salah satu kubu caretaker pimpinan Juniver Girsang kemarin melantik kepengurusan versinya, sedangkan caretaker versi Humphrey Djemat melalui DPP AAI tidak mengakui kepengurusan versi Juniver Girsang maupun Otto Hasibuan. Kemudian, katakanlah PERADI versi Otto Hasibuan telah melaksanakan Munas mereka di Pekanbaru dan menghasilkan kepengurusan baru, maka kepengurusan PERADI terbagi tiga kubu. Sungguh pelik!

Memang benar, perpecahan dalam organisasi advokat Indonesia adalah bukan hal baru. Demikian pula perpecahan organisasi di Indonesia menggunakan mekanisme munas tandingan dan kemudian pasang badan demi eksistensi organisasi tandingan sudah merupakan demokrasi khas Indonesia. Para elit politik terlalu sering mementingkan kepentingan mereka sendiri ketimbang kepentingan orang-orang kecil dan organisasi advokat yang katanya adalah organisasi para officium nobile adalah bukan pengecualian.

Saya sendiri pernah menjadi korban dari perpecahan itu pada saat masih menjadi calon advokat karena tidak bisa dilantik akibat PERADI pecah dan orang-orang yang keluar dari PERADI keluar membentuk Kongres Advokat Indonesia (KAI) seraya mengaku-ngaku sebagai organisasi advokat yang sah menurut UU Advokat sehingga mengakibatkan Mahkamah Agung (MA) menunda pelantikan advokat baru sampai PERADI dan KAI menyelesaikan permasalahan di antara mereka.

Yang menjadi miris adalah, ternyata tidak butuh waktu lama bagi KAI untuk pecah menjadi lima organisasi yang masing-masing mengaku sebagai organ tunggal: dua kubu KAI, dua kubu DPP Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN) dan DPP Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) versi Todung Mulya Lubis.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait