Romli Minta KPK Introspeksi
Utama

Romli Minta KPK Introspeksi

Setelah berkali-kali kalah di sidang praperadilan, KPK diminta introspeksi. Mungkin ada masalah dalam sistem pengawasan internal dan penanganan perkara.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Prof Romli Atmasasmita. Foto: RES
Prof Romli Atmasasmita. Foto: RES
KPK diminta intropeksi sehubungan kekalahan permohonan praperadilan oleh eks Dirjen Pajak Hadi Purnomo dan sejumlah kasus lain karena proses penetapan tersangka korupsi dan upaya paksa lain oleh KPK dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Soalnya, persoalan ini tidak terlepas dari ketidaktaatan KPK terhadap Standar Operatng Procedure (SOP) mengenai proses penyelidikan dan penyidikan.

“Sebenarnya sederhana ya, ikuti saja SOP KPK Tahun 2004 yang dibuat Pak Ruki, kan disitu diatur berapa lama penyelidikan, gelar perkara bagaimana, penyidikan berapa lama. Itu semua ada diatur disitu. Persoalannya, SOP itu tidak diikuti/ditaati,” kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Bandung, Romli Atmasasmita, di gedung MK, Rabu (27/5).

Romli menilai dalam kepemimpinan KPK jilid pertama dan kedua tidak ada persoalan dengan proses penanganan perkara. Sementara kepemimpinan KPK jilid ketiga dinilai agak lemah kontrol terutama dalam penanganan kasus. Selain itu, KPK tidak memegang prinsip kehati-hatian, alias terkesan ceroboh. “Kepemimpinan KPK dibutuhkan leadership yang paham manajerial terutama kontrol terhadap bawahannya,” kata dia.

Dia menilai hakim Haswandi bersikap lebih berani dalam mengambil putusan dalam kasus ini. Pertimbangan putusan yang dibuat Haswandi agak berbeda dengan hakim Sarpin. Sarpin hanya mengupas status tersangka Komjen (Pol) Bambang Gunawan (BG), tidak mengupas status penyelidik dan penyidik KPK. “Putusan praperadilan Haswandi juga menyatakan penyelidik dan penyidik independen KPK bertentangan dengan hukum. Bagaimana terhadap terpidana korupsi yang sudah dipenjara?

Romli mengakui dalam kesempatan pembahasan di KPK, penafsiran “penyelidik dan penyidik yang diangkat dan diberhentikan KPK” diartikan sebagai status. Padahal, sesuai Pasal 43-45 dihubungkan dengan Pasal 39 ayat (3) UU KPK dimaknai sebagai “kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan” sebagai lex spesialis, bukan statusnya. Para penyidik dan penuntut diberhentikan sementara dari instansi asalnya, dan harus ada proses pengangkatan di KPK.

“Penyidik, penuntut (dari Polri dan kejaksaan) yang ditempatkan di KPK diberhentikan dulu, dan diangkat lagi oleh pimpinan KPK. Padahal, dalam Bab Hukum Acara penyelidik dan penyidik itu berdasarkan KUHAP, kecuali ditentukan undang-undang ini. Nah, makna ‘kecuali’ ini kewenangan. Kalau status penyelidik dan penyidik tetap mengacu ke KUHAP.”

Persoalan ini pun tidak terlepas dari UU No.30 Tahun 2002tentang KPK yang bermasalah, khusus menyangkut sistem pengawasan internal dalam proses penanganan perkara korupsi.“UU KPK masih menimbulkan masalah, terutama lemahnya kontrol internal KPK sendiri,” kata Romli.

Romli mengatakan peradilan di sejumlah negara Barat dalam proses pretrial, sejumlah alat bukti harus ditunjukkan secara lengkap di depan hakim (praperadilan). “Aturannya hanya menunjukkan dua alat bukti. Tunjukkan saja di depan hakim, selesai, tidak ada urusan dengan pokok perkara, hakim juga tidak akan menguji unsur. Ini kan nggak mau nunjukin, bagaimana?”

Ia berharap KPK jangan memandang putusan praperadilan Hadi Purnomo dan putusan lainnya sebagai upaya merendahkan atau melemahkan pemberantasan korupsi. Hakim praperadilan hanya menunggu hasil kerja  KPK. “Ini kan terbalik. Seharusnya KPK berpikir kenapa bisa terjadi seperti itu. Intropeksilah!”

Ditanya putusan Haswandi potensial dipersoalkan terpidana korupsi, Romli menyarankan agar KPK mengajukan upaya hukum saja.  “Kalau begitu, suruh saja KPK ajukan banding, kasasi, peninjauan kembali (PK). Lalu, terpidana korupsi juga kan punya hak ajukan PK.  Biarlah MA yang nilai. Lagipula enggak mungkin MA akan meloloskan (membebaskan) terpidana korupsi yang  sudah putusannya inkracht, wong mereka sudah menjalani hukuman kok?”

Sebelumnya, Hakim tunggal PN Jaksel Haswandi mengabulkan sebagian permohonan praperadilan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo. Dalam putusannya, penetapan tersangka, penyidikan, pengeledahaan dan penyitaan terhadap Hadi Purnomo oleh KPK tidak sah sekaligus memerintahkan KPK untuk menerbitkan penghentian penyidikan.

Hakim Haswandi pun menyatakan pengangkatan penyelidik dan penyidik independen oleh KPK, khususnya dalam kasus Hadi Purnomo, bertentangan dengan hukum atau KUHAP. Penyelidik dan penyidik dalam kasus Hadi Purnomo tidak berstatus penyelidik atau penyidik di institusi sebelumnya yakni Penyidik PNS dari BPKP dan mantan penyidik dari Polri. Imbasnya, segala tindakan penyelidikan dan penyidikan yang mereka lakukan di KPK dianggap batal demi hukum.
Tags:

Berita Terkait