Hakim Agung: Putusan MK Terkait Praperadilan Bisa Dikalahkan Perma
Berita

Hakim Agung: Putusan MK Terkait Praperadilan Bisa Dikalahkan Perma

Ada tiga opsi yang bisa diambil oleh MA.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Hakim Agung Gayus Lumbuun. Foto: RES.
Hakim Agung Gayus Lumbuun. Foto: RES.

Hakim Agung Gayus Lumbuun menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya memperluas kewenangan praperadilan di luar Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bisa dikalahkan oleh peraturan Mahkamah Agung (Perma) terkait sikap resmi MA dalam menjawab gejolak praperadilan yang berlangsung hingga kini.

Menurut Gayus, putusan MK bersifat terbatas karena harus sesuai dengan permohonan uji materi, tidak boleh "ultra petita", dan MK juga tidak boleh membuat norma baru.

"Sedangkan MA, berdasarkan Pasal 79 UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, memiliki kewenangan untuk membuat peraturan yang setingkat dengan undang-undang demi lancarnya proses peradilan," tuturnya usai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Mendorong Penguatan Sistem Perekrutan Hakim yang Berkualitas dan Berintegritas" di Aula Universitas Al-Azhar, Jakarta, Rabu.

Belakangan ini, menurut pengamatannya, hakim cenderung ragu-ragu dalam memutus perkara praperadilan antara harus tetap mengacu pada KUHAP atau boleh menyimpang dari KUHAP, seperti yang dipraktikkan oleh hakim Sarpin Rizaldi dalam memutus praperadilan Komjen Polisi Budi Gunawan, Februari lalu.

Ditambah lagi dengan Putusan MK pada 28 April 2015 yang menambah penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan ke dalam objek praperadilan, maka beberapa hakim kemudian menggunakan putusan tersebut sebagai acuan dalam memutus perkara praperadilan.

Untuk itu, kata Gayus, MA sebagai pucuk pimpinan peradilan harus segera mengadakan rapat pleno lengkap seluruh hakim agung di MA untuk merumuskan sebuah Perma terkait sikap resmi MA akan gelombang praperadilan.

"Saya mengharapkan Perma agar bisa berlaku untuk orang di luar MA, kalau Surat Edaran MA (SEMA) kan untuk internal hakim-hakim di MA saja," tutur pria berusia 67 tahun itu.

Dia menyebutkan tiga sikap yang dapat diambil sebagai putusan resmi MA diantaranya, pertama, mengatur bahwa terobosan yang dibuat hakim Sarpin yang saat ini diikuti oleh beberapa hakim lain memang dibolehkan.

Kedua, bahwa putusan praperadilan yang paling tepat masih harus mengacu pada KUHAP sebagaimana selama ini mengingat proses revisi KUHAP yang sampai sekarang belum final.

Ketiga, hakim diberi kebebasan untuk memilih apakah dia akan memilih "cara Sarpin" atau tetap memutus berdasarkan KUHAP.

Tags:

Berita Terkait