PPTKI Persoalkan Penghentian Pengiriman TKI
Berita

PPTKI Persoalkan Penghentian Pengiriman TKI

Apabila permohonan ini dikabulkan akan terjadi kekosongan hukum karena pengaturan penempatan dan perlindungan TKI tidak ada lagi.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Terminal kedatangan khusus TKI  di Bandara Sukarno-Hatta. Foto: ilustrasi (Sgp)
Terminal kedatangan khusus TKI di Bandara Sukarno-Hatta. Foto: ilustrasi (Sgp)
Sejumlah ketentuan yang membatasi atau menghentikan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dalam UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri  kembali dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya, PT Gayung Mulya Ikif (PPTKIS), Nurbayanti (eks TKI Arab Saudi), dan Abbdusalam, calon TKI yang hendak bekerja di Arab Saudi.

Para pemohon menganggap aturan pembatasan pengiriman TKI yang diatur Pasal 11 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 81 ayat (1) dan (2), Pasal 94 ayat (1) dan (2) dan Pasal 95 ayat (1) dan (2) UU PPTKI  mengakibatkan para pemohon tidak dapat menjalankan usaha pengiriman TKI dan para calon TKI tidak dapat bekerja lagi Arab Saudi. Mengapa?  norma Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 81 ayat (1) mengandung larangan pengiriman TKI ke negara Timur Tengah.

“Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 81 ayat (1) UU PPTKI telah merugikan hak konstitusional para pemohon karena menimbulkan multitafsir dan dapat dinilai secara subjektif oleh Kemenaker/BNP2TKI yang berakibat terjadinya diskriminasi, ketidakpastian hukum serta mengakibatkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan/wewenang,” ujar kuasa hukum para pemohon, Fahmi H Bachmid dalam sidang perdana di gedung MK, Kamis (04/6).

Misalnya, dalam Pasal 11 ayat (1) disebutkan penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan. Selain itu, berlakunya Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 81 ayat (1) UU PPTKI, pemerintah melarang penempatan TKI informal/TKI domestik untuk bekerja dan mencari nafkah di wilayah Timur Tengah, yakni negara Saudi Arabia, Kuwait, Yordania, Uni Emirates Arab, Oman dan Qatar.

Aturan itu dituangkan dalam SE Kemenaker yang memuat pada 29 Juli 2009 menghentikan penempatan ke negara Kuwait, 29 Juli 2010 menghentikan penempatan tenaga kerja sektor domestik ke negara Yordania, 23 Juni 2011 menghentikan penempatan ke negara Arab Saudi. Negara yang diperbolehkan oleh Kemenaker/BNP2TKI adalah Korea, Japan, Malaysia, Singapore, Hongkong dan Taiwan.

Fahmi menilai pertimbangan dan alasan larangan penempatan TKI di Arab Saudi, Kuwait, dan Yordania itu tidak dapat dibenarkan, kecuali negara-negara tersebut sedang dalam keadaan perang dan musim wabah penyakit menular. Sementara Taiwan yang secara nyata tidak memiliki hubungan diplomatik dan belum diakui sebagai negara berdaulat oleh NKRI, justru dibolehkan menempatkan TKI untuk bekerja di Taiwan.

“Ini kan sama saja menghambat pemohon untuk mencari nafkah karena alasan pemerintah cq Kemenaker bersifat subjektif dan cenderung terkait kepentingan bisnis tertentu,” tudingnya.

Karena itu, Nurbayanti dan Abbdusalam sangat berharap bisa bekerja ke Arab Saudi. Selama ini tidak perlu mengeluarkan biaya perekrutan dan biaya-biaya proses administrasi, serta pemotongan gaji karena semuanya PPTKIS/Pengguna TKI di negara tujuan yang menanggung. Berbeda, jika bekerja di negara Asia Pasifik seperti Taiwan dan Hongkong, diwajibkan mengeluarkan biaya penempatan dan ada pemotongan gaji.

“Biaya proses penempatan saja dapat mencapai Rp25 juta per TKI atau dibiayai oleh PPTKIS yang akan dipotong gaji setelah ditempatkan,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Pasal 94 ayat (2) dan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 39 Tahun 2004 terkait keberadaan, fungsi dan wewenang BNP2TKI dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum yang berakibat penyalahgunaan wewenang. Secara yuridis perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri baik TKI yang ditempatkan oleh BNP2TKI atau oleh PPTKIS yakni Perwakilan Diplomatik dan Perwakilan Konsuler. “Karena itu, Pemohon meminta MK membatalkan seluruh pasal yang diuji karena bertentangan dengan UUD 1945,” harapnya.

Tanggapan majelis
Menanggapi permohonan, Ketua Majelis Panel I Gede Dewa Palguna meminta pemohon menggali lebih jauh apakah sejumlah negara yang melarang mengirimkan TKI ke luar negeri ternyata sudah memiliki perjanjian formal dengan pemerintah Indonesia. “Bisa juga di negara-negara yang membolehkan, ternyata tidak ada perlindungan TKI secara formal. Uraian ini bisa  memperkuat dalil permohonan ini,” saran I Gede Palguna dalam sidang.

Soal keberadaan BNP2TKI yang dinilai diskriminasi, Palguna meminta pemohon menguraikan lebih jelas mengenai wewenang penempatan TKI oleh BNP2TKI bersama pengguna berbadan hukum di negara tujuan. “Anda menganggap BNP2TKI sebagai ‘pemain’. Sebab, BNP2TKI tidak mencari keuntungan. Ini bagaimana penjelasannya?”

Anggota Panel Patrialis Akbar meminta para pemohon lebih mempertegas kerugian konstitusional yang dialaminya. Apakah kerugiannya disebabkan berlakunya pasal-pasal yang diuji atau disebabkan terbitnya tiga Surat Edaran Menaker yang menghentikan sementara layanan pengiriman TKI di Timur Tengah. “Larangan itu bukan disebabkan UU PPTKI, tetapi disebabkan SE Menaker. Buktinya, selama ini pengiriman TKI di sebagian negara Timur Tengah tetap jalan, tidak ada masalah,” kritiknya.

“Ini kan sifatnya penghentian sementara, bisa dibuka atau tertutup, pemerintah mempertimbangkan dengan berbagai kondisi negara-negara itu yang sebenarnya tujuannya melindungi TKI. Jadi, persoalan konstitusionalitas normanya dimana? Sebab, UU PPTKI tidak spesifik melarang pengiriman TKI,” katanya.

Menurutnya, apabila permohonan ini dikabulkan akan terjadi kekosongan hukum karena pengaturan penempatan dan perlindungan TKI tidak ada lagi. “Kan harusnya ada alternatif lain bagaimana sistem perlindungan? Bagaimana pemerintah melindungi TKI kalau tidak ada perjanjian?”
Tags:

Berita Terkait