Metamorfosis "Wajah" Praperadilan
Fokus

Metamorfosis "Wajah" Praperadilan

Sebelum putusan Hakim Sarpin, sudah ada putusan-putusan praperadilan lain yang menerabas Pasal 77 KUHAP.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Putusan Praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi dinilai sebagai momentum. Ilustrasi: BAS.
Putusan Praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi dinilai sebagai momentum. Ilustrasi: BAS.

Dahulu, upaya praperadilan tak sepopuler sekarang. Sebagian kalangan memandang praperadilan tidak lebih dari pemeriksaan formil terkait sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi yang diajukan tersangka atau pihak ketiga berkepentingan.

Seperti yang dialami tersangka kepemilikan narkoba, Susandhi bin Sukatma alias Aan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan awal 2010 lalu. Hakim tunggal Mustari mengandaskan praperadilan Aan dengan menyatakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan aparat Polda Metro Jaya sudah sesuai Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Mustari juga menolak memeriksa sah atau tidaknya penggeledahan karena penggeledahan tidak masuk ranah praperadilan sebagaimana diatur Pasal 77 KUHAP. Padahal, penggeledahan Aan dilakukan tanpa izin penggeledahan dan dilakukan warga sipil bernama Victor B Laiskodat. Alhasil, dalam sidang pokok perkara, dakwaan Aan dinyatakan batal demi hukum.

Praperadilan Aan merupakan salah satu potret "wajah" praperadilan masa lalu sebelum adanya putusan praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi yang membatalkan penetapan tersangka Komjen (Pol) Budi Gunawan dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperluas objek praperadilan meliputi penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan.

Jejak Sarpin ini diikuti oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Selatan lainnya, seperti Yuningtyas Upiek Kartikawati yang membatalkan penetapan tersangka mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin dan Haswandi yang membatalkan penyidikan mantan Ketua BPK Hadi Poernomo. Bahkan, Haswandi juga menyatakan penyelidikan Hadi tidak sah.

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Chudry Sitompul mengatakan, keberanian para hakim tersebut muncul setelah adanya putusan Sarpin dan putusan MK. Ia menganggap putusan Sarpin merupakan momentum yang membuat hakim-hakim berani melawan opini bahwa yang tidak pro lembaga antikorupsi berarti tidak pro pemberantasan korupsi.

"Padahal, penegak hukum yang memberantas korupsi itulah yang seharusnya dibenahi, termasuk KPK. Kalau dulu, walau KPK banyak kelemahan dalam persoalan administratif, hakim tidak berani. Hakim takut, sehingga mengikuti saja. Tapi, setelah ada putusan Sarpin, hakim-hakim itu jadi berani," katanya kepada hukumonline.

Tags:

Berita Terkait