KPK Pastikan Tak Punya Sadapan Kriminalisasi Pimpinan dan Penyidik
Berita

KPK Pastikan Tak Punya Sadapan Kriminalisasi Pimpinan dan Penyidik

Tak ada perintah untuk merekam atau menyadap dari pimpinan KPK.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Johan Budi. Foto: RES
Johan Budi. Foto: RES

KPK menegaskan tidak memiliki sadapan terkait dugaan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK non-aktif, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto serta penyidik KPK, Novel Baswedan, paska lembaga itu menetapkan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai tersangka. Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK, Johan Budi mengaku telah mengecek masalah ini ke internal KPK.

"Kalau menanyakan apakah ada proses penyadapan terkait perkara terakhir yang kemudian menimpa Pak BW (Bambang Widjojanto), AS (Abraham Samad) dan Novel sebagai tersangka, tadi sudah dicek ke mana-mana dari banyak bagian yang disimpulkan bahwa tidak ada sadapan yang berkaitan dengan hal itu. Ini perlu penjelasan karena menjadi ramai seolah-olah KPK melalui MK tidak mau memberikan sadapan," kata Johan dalam konferensi pers di Gedung KPK di Jakarta, Senin (8/6).

Persoalan ini terungkap saat Novel bersaksi dalam sidang uji materi Pasal 32 ayat (2) UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 25 Mei 2015 lalu. Dalam kesaksiannya, Novel mengatakan bahwa penyidik yang menangani kasus Budi Gunawan mengalami ancaman fisik maupun telepon.

“Selain itu ancaman fisik, salah satu plt strukrural di penindakan KPK diancam secara fisik, didatangi rumahnya dan ada juga ditelepon. Saya bisa mengetahui karena yang bersangkutan cerita kepada saya dan juga yang bersangkutan merekam pembicaraan telepon tersebut. Mungkin yang bersangkutan merasa perlu bukti sehingga melakukan perekaman oleh dirinya sendiri," kata Novel dalam sidang.

Atas dasar itu, Novel meyakini bahwa ada kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPk tersebut dan juga penyidik. "Terkait dengan perkara atas nama Pak Budi Gunawan, ada ancaman-ancaman kriminalisasi, ada juga sudah dilakukan kriminalisasi pimpinan diantaranya Pak Abraham Samad dan Pak Bambang Widjojanto. Saya juga yakini itu bagian dari kriminalisasi. Selain itu penyidik yang menangani penyidikan atas nama Pak Budi Gunawan juga diancam akan ditersangkakan. Itu disampaikan saya kita penyidik itu memahami fakta-fakta itu," tambahnya.

Johan mengungkapkan tidak ada perintah untuk merekam atau menyadap oleh pimpinan KPK. "Tidak ada perintah merekam atau menyadap. Waktu itu kan semua dilakukan melalui pimpinan. Kalaupun ada, bukan perintah dari lembaga tapi insiatif," tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, Adnan Pandu Praja mengatakan, KPK tidak akan sembarangan melakukan penyadapan. "Tidak ada penyadapan. Ini menjawab keraguan yang mengatakan KPK sembarangan melakukan penyadapan kami minta diaudit tapi oleh mereka yang punya kompetensi dan kemampuan tidak sembarangan orang dan hanya dimiliki oleh Menkominfo," kata Adnan.

Namun bila MK meminta rekaman terkait, KPK, menurut Johan, siap memenuhi. "Saya hanya ingin mengatakan tidak ada perintah penyadapan itu tapi apapun nanti kalau di MK dan kemudian MK berdasarkan keterangan-keterangan di MK yang misalnya meminta kepada KPK apa yang dimaksud apakah penyadapan jelas tidak ada atau apakah ada rekaman pihak dengan pihak tidak melalui penyadapan itu tentu kami siap mempelajari kalau diminta," ungkap Johan.

Namun Johan mengingatkan bahwa rekaman itu harus dibuktikan dulu keberadaannya. Ia mengatakan, tak ada perintah mengenai penyadapan ini. "Kalau ada (sadapan). Tidak ada perintah melakukan penyadapan dan tadi dicek tidak ada penyadapan dan Novel tadi menceritakan cerita dari 2009," jelas Johan.

Novel memang mengatakan ada rekaman saat pimpinan KPK masih dijabat oleh Bibit Samad Waluyo dan Chandra Hamzah yang terkena kasus Cicak-Buaya pada 2009. "Terkait dengan waktu perkara era Pak Bibit, di antaranya yang saya ketahui adalah ada satu keadaan dimana ada penyelidikan di daerah Jatim dan waktu itu ada ancaman. Cuma fakta soal itu saya tidak dengar langsung. Saya hanya dapat penjelasan dari rekan yang bertugas di wlayah Jatim," ungkap Novel dalam sidang MK.

Sebelumnya, koalisi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak MK untuk meminta KPK membuka rekaman bukti kriminalisasi. Dalam siaran pers koalisi LSM yang tergabung dalam Sapu Koruptor itu menyebutkan, selain MK pihaknya juga meminta KPK untuk menghadirkan rekaman.

Koalisi berharap pimpinan KPK kooperatif dan bisa membuka rekaman di muka persidangan. Hal itu diperlukan antara lain agar publik juga dapat dibuat terang terkait upaya kriminalisasi yang dinilai juga menjerat para pegiat anti korupsi. Menurut koalisi, upaya kriminalisasi, intimidasi, dan ancaman terhadap para pegiat antikorupsi ini, dapat dipandang sebagai upaya menghalang-halangi proses hukum. Hal itu pula yang menjadi kunci terkait adanya konflik kepentingan dalam kriminalisasi terhadap para komisioner KPK non-aktif, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dan penyidik KPK, Novel Baswedan.

Sapu Koruptor mengingatkan, hal seperti ini bukan baru sekali dilakukan, karena pada kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah di tahun 2009, rekaman pembicaraan terkait upaya kriminalisasi juga pernah dibuka di muka persidangan MK. Hal yang sama dapat pula dilakukan dalam sidang pengujian materi Pasal 32 ayat (2) UU KPK yang diajukan oleh Komisioner KPK Non Aktif, Bambang Widjojanto.

Preseden pembukaan rekaman terkait upaya kriminalisasi diharapkan akan membuka tabir permasalahan pemberantasan korupsi yang berusaha dikacaukan oleh sekelompok orang. Namun, rekaman ini hanya dapat dikeluarkan oleh pimpinan KPK.

Tags:

Berita Terkait