Aparat Diminta Terapkan Pasal Terberat KUHP dalam Kasus Angeline
Berita

Aparat Diminta Terapkan Pasal Terberat KUHP dalam Kasus Angeline

Penyidik dan jaksa mesti membuktikan pembunuhan dilakukan berencana, agar pelaku layak diganjar hukuman mati.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Sarifuddin Sudding. Foto: SGP
Sarifuddin Sudding. Foto: SGP
Pembunuhan terhadap anak berusia delapan tahun, Angeline mendapat perhatian besar masyarakat. Pelaku pembunuhan secara sadis di wilayah Bali itu telah ditetapkan sebagai tersangka. Desakan agar aparat penegak hukum memberikan ganjaran hukuman maksimal layak diberikan terhadap pelaku pembunuhan.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid mengaku geram dengan masih adanya peristiwa pembunuhan dengan kekerasan seksual terhadap anak. Ia mendesak agar aparat kepolisian dan kejaksaan menerapkan pasal terberat dalam KUHP untuk menjerat pelaku dengan ganjaran hukuman maksimal. Pengadilan mesti menjadikan kekerasan seksual terhadap korban dijadikan pertimbangan pemberatan pemberian hukuman terhadap pelaku.

Polisi kini telah menetapkan satu orang tersangka pelaku pembunuhan, yakni Agus mantan pembantu di kediaman Margaret orang tua angkat Angeline. “Layak dihukum mati, dulu membantu dan kemudian melakukan kejahatan. Pengadilan harus membongkar mafia kejahatan anak,” ujarnya di Gedung Parlemen, Kamis (11/6).

Anggota Komisi VIII itu berpandangan, aturan hukuman berat terhadap pelaku kekerasan terhadap anak perlu diatur dalam UU. Makanya, UU Perlindungan Anak telah dilakukan revisi dengan UU No.35 Tahun 2014. Ia menilai dengan revisi UU terbaru mestinya aparat penegak hukum bergerak proaktif dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak dari tindak kekerasan.

“Polisi dan kejaksaan dan pengadilan harus menghukum seberat-beratnya. Kalau tidak ada hukuman maksimal, maka akan jadi efek. Dengan adanya upaya maksimal, pemerintah dapatmenjaga,” ujar politisi PKS itu.

Anggota Komisi III Sarifuddin Sudding mengatakan, kejahatan dalam pembunuhan terhadap Angeline merupakan tindak pidana berat. Sudding menilai kejahatan yang dilakukan pelaku masuk dalam tindak pidana perencanaan. Ia berpandangan hukuman maksimal penjara setidaknya dua puluh tahun layak diberikan terhadap pelaku.

“Apalagi kalau ada kejahatan seksualnya, itu jadi pemberatan,” ujarnya.

Terkait apakah layak diganjar hukuman mati, Sudding berpandangan tergantung dari lembaga peradilan. Namun begitu, ia setuju agar lembaga peradilan memberikan hukuman terberat. Pasalnya dengan begitu, setidaknya dapat memberikan perlindungan terhadap anak.

“Soal hukuman saya kira tergantung pertimbangan hakim. Yang patut kita sesalkan adalah tindakan yang  tidak manusiawi,” ujarnya.

Anggota Komisi III lainnya, Dasco Ahmad menambahkan pembunuh Angeline layak dihukum mati. Ia akan mengusulkan pelaku kekerasan terhadap anak hingga hilangnya nyawa diganjar hukum mati masuk dalam Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Hukuman mati, kata Dasco, layak diberikan terhadap pelaku pedofil dan pemerkosa anak.  “Anak yang jadi korban kejahatan seks membuat  trauma yang lama terhadap anak dan keluarga juga dapat merusak masa depan anak sehingga patut diberi hukuman mati,” ujar politisi Gerindra itu.

Anggota Komisi III dari Fraksi PPP, Arsul Sani mengatakan kasus Angeline menjadikan pijakan agar memberikan perlindungan ketat terhadap anak. Terkait dengan penghukuman, mesti disesuaikan dengan KUHP yang ada lantaran menjadi induk hukum pidana. Arsul berpendapat perlunya aturan khusus terhadap tindak pidana kekerasan anak dalam RKUHP. Misalnya, pelaku  ditempatkan di lembaga pemasyarakatan yang terisolir. “Contohnya pulau seribu khusus pulau tahanan,” ujarnya.

Namun dalam kasus Angeline, sepanjang pelaku dapat dibuktikan melakukan kejahatan dan terbukti dengan Pasal 340 KUHP, pelaku layak diganjar hukuman mati. Ia pun tidak sependapat dengan dibuat hukuman khusus seperti hukuman kebiri.

“Persoalan hukuman mati bisa dibuktikan bahwa kematian itu adalah pembunuhan berencana maka bisa 340 KUHP. Ancamannya hukumannya adalah hukuman mati. Tidak perlu dibuat hukuman sendiri,” pungkasnya.

Seperti diketahui, nama Angeline anak perempuan berusia 8 tahun itu awalnya dikabarkan hilang dari perlindungan ibu angkatnya, Margaret sejak 25 Mei 2015 lalu di Jalan Sedap Malam, Denpasa Bali. Belakangan kasus Angeline mendapatkan perhatian dari Komnas Perlindungan Anak.

Begitu pula dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi, saat berkunjung 5 Juni lalu ditolak keluarga Angeline. Yuddy pun diusir. Nasib serupa juga dialami Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohanna Susana Yembise. Ia pun dipaksa gigit jari ketika hendak menelusur rumah milik orang tua angkat Angeline.

Polisi pun bergerak mengungkap kejanggalan ada hal yang disembunyikan di dalam kediaman Margaret. Benar saja, polisi berhasil membongkar aksi kejahatan. Jasad Angeline ditemukan di bawah kandang ayam yang berada dalam tumpukan sampah. Berdasarkan hasil visum, jasad Angeline ditemukan berbagai luka.

Berdasarkan hasil penyidikan sementara, kepolisian setempat menetapkan Agus, eks pembantu di kediaman Margaret. Polisi pun masih terus mendalami motif pembunuhan sekaligus mencari otak aksi pembunuhan sadis tersebut.
Tags:

Berita Terkait