Pelaku Kawin Campur Gugat UU Agraria dan UU Perkawinan
Utama

Pelaku Kawin Campur Gugat UU Agraria dan UU Perkawinan

Menyangkut syarat kepemilikan hak milik dan HGB, serta perjanjian nikah dan harta bersama.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ike Farida selaku Pemohon Prinsipal saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang uji materi UU Agraria dan UU Perkawinan, Kamis (11/6). Foto: Humas MK
Ike Farida selaku Pemohon Prinsipal saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang uji materi UU Agraria dan UU Perkawinan, Kamis (11/6). Foto: Humas MK
Pelaku perkawinan campuran merasa dirugikan oleh sejumlah ketentuan dalam UUPA dan UU Perkawinan. Warga Negara Asing yang menikah dengan orang Indonesia tak bisa memiliki hak atas tanah berupa hak milik (HM) dan hak guna bangunan (HGB). Walhasil pelaku perkawinan campuran merasa dirugikan oleh  UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).

Ike Farida, pelaku perkawinan campuran, membawa persoalan ini ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Ike, dua undang-undang itu telah menghalangi haknya untuk memiliki hak atas tanah berupa hak milik satuan rumah susun (HMSRS).

Secara khusus, perempuan yang berprofesi sebagai pengacara ini mempersoalkan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA berkaitan dengan syarat kepemilikan Hak Milik dan HGB, serta Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan terkait perjanjian perkawinan dan harta bersama.

“Pasal-pasal tersebut menghilangkan/merenggut hak Pemohon memperoleh HM dan HGB dengan alasan suami Pemohon adalah WNA,” ujar Ike dalam sidang perdana yang dipimpin Anwar Usman di gedung MK, Kamis (11/6).  


Pasal 21 ayat (1) UUPA menyebutkan hanya Warga Negara Indonesia (WNI) yang dapat mempunyai hak milik. Ayat (3)-nya, menyebutkan “Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.” Pasal 36 (1) UUPA yang menyebut HGB hanya dapat dimiliki WNI dan badan hukum Indonesia.

Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan mengatur perjanjian perkawinan dilakukan saat atau sebelum perkawinan berlangsung di hadapan pegawai pencatat nikah dan harta bersama yang diperoleh perkawinan berlansung.  

Berdasarkan keterangannya di depan sidang, Ike menikah secara sah dengan WNA berkewarganegaraan Jepang di KUA Kecamatan Makassar, Jakarta Timur pada Agustus 1995 dan dilaporkan di Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta pada Mei 1999. Selama perkawinan campuran ini, Ike tidak pernah melepaskan status kewarganegaraannya, tetap memilih WNI, dan tetap tinggal di Indonesia.

“Ini ada bukti-bukti resmi dan sah yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dan Jepang berupa dokumen Visa Kunjungan yang tidak dapat dibantah bahwa pemohon WNI asli (tunggal) dan tidak berkewarganegaraan ganda,” ujar Ike dalam persidangan.  

Namun, September 2012, ketika melakukan perjanjian pembelian rumah susun di Jakarta, tetapi akad pembelian dibatalkan sepihak oleh pengembang. Padahal, Pemohon telah membayar lunas rumah susun tersebut. “Setelah dibayar lunas, Rusun tidak kunjung diserahkan, bahkan pembelian dibatalkan sepihak dengan alasan suami saya WNA dan tidak memiliki perjanjian perkawinan,” ungkapnya.

Pengembang berdalih sesuai Pasal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, seorang perempuan WNI yang menikah dengan WNA dilarang membeli rumah dengan status HGB, sehingga pengembang membatalkan perjanjian jual beli rumah susun ini. Hal ini dikuatkan oleh penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada November 2014 dengan dalih tidak memenuhi syarat perjanjian sesuai Pasal 1320 KUH Perdata karena terjadi pelanggaran Pasal 36 ayat (1) UUPA, meski pemohon tetap memilih WNI.

Dia menilai Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) UUPA bermakna berbeda dari yang dicita-citakan UUD 1945 dan bertentangan dengan tujuan UUPA. Soalnya, frasa “WNI” dimaknai sebagai “WNI yang tidak kawin atau WNI yang kawin dengan sesama WNI lain”. Padahal, faktanya banyak WNI kawin dengan WNA, tetapi tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesia dan tinggal menetap di Indonesia.

“WNI yang kawin dengan WNA tidak kehilangan kewarganegaraannya, tetap sebagai WNI yang mempunyai hak sebagaimana WNI lain. Tidak ada satu undang-undang pun yang menyatakan adanya pembedaan status kewarganegaraan WNI yang kawin dengan WNA seperti diatur Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan,” paparnya.

Jika Pasal 21 ayat (3) UUPA diterapkan dalam perkawinan campuran, kata Ike, maka frasa ‘sejak diperoleh hak’ berarti berlaku sejak dilakukan pembelian atau diperolehnya HM atau HGB. Akibatnya, WNI yang kawin campur tidak dapat sepenuhnya memiliki HM atau HGB karena Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan harta bersama diperoleh selama perkawinan.

Di satu sisi, Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menjamin setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh Hak Milik. Di sisi lain, Pasal 21 ayat (3) UUPA melarang kepemilikan HM dan HGB bagi WNI yang kawin campur. “Ini bentuk pembedaan hak atau perlakuan diskriminasi antara Pemohon dengan WNI lainnya,” tegasnya.

Selain itu, frasa “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan…” dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan justru mengekang dan membatasi hak kebebasan berkontrak karena seseorang pada akhirnya tidak dapat membuat perjanjian kawin jika tidak dilakukan “pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan”.

Demikian pula frasa “…harta bersama” dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan telah merampas dan menghilangkan hak Pemohon untuk memiliki HM dan HGB. Sebab, harta bersama diartikan  “Hak Kepemilikan” serta merta saat pembayaran dilakukan, sehingga dimaknai separuhnya merupakan milik orang WNA.   

Dalam petitumnya, dia meminta MK agar frasa “WNI” dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “WNI tunggal tanpa terkecuali”, sehingga tidak menghilangkan haknya memperoleh HM atau HGB. Selain itu, frasa “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan…” pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan minta dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945.

“Menyatakan frasa ‘…Harta Bersama’ dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai sebagai ‘Hak untuk Menuntut’ (ketika terjadi percampuran harta),” sebutnya dalam petitum.   

Ketua Majelis Anwar Usman meminta pemohon menguraikan letak diskriminasi pasal-pasal yang dimohonkan pengujian. “Yang dijelaskan kan lebih banyak kasus konkrit yang merupakan penerapan norma. Ini bisa menjadi pintu masuk,” kata Anwar.  

Anggota Majelis Panel, Manahan MP Sitompul meminta pemohon memperjelas makna “WNI tunggal” dalam petitum permohonan. “Istilah ‘WNI tunggal’ membingungkan bahasa hukumnya, ini perlu dibakukan agar lebih tepat istilah hukumnya. Soal perjanjian kawin, seharusnya petitumnya perjanjian kawin bisa dilakukan kapan saja,” sarannya.
Tags:

Berita Terkait