Skema PPP Proyek Listrik Bentuk Penjaminan Terhadap Investasi
Berita

Skema PPP Proyek Listrik Bentuk Penjaminan Terhadap Investasi

Masalah pembangunan pembangkit tenaga listrik tidak hanya menyangkut pembiayaan yang besar, tapi juga soal kualitas proyek.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Skema PPP Proyek Listrik Bentuk Penjaminan Terhadap Investasi
Hukumonline
Sebagian besar target ambisius pemerintah untuk membangun pembangkit listrik 35 ribu MW akan diserahkan kepada pihak swasta. Sebanyak 20 ribu MW dikerjakan oleh perusahaan swasta. Sementara itu, PT PLN (Persero) telah menyatakan kesanggupannya hanya 15 ribu MW.

Salah satu skema pembiayaan dalam pembangunan pembangkit listrik itu adalah public private partnership (PPP). Sebagaimana diketahui, skema PPP sudah berjalan sejak 2005 dengan nama KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta). Kini, berganti nomenklatur menjadi KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) sebagaimana diatur Perpres No. 38 Tahun 2015.

Skema ini, menurut Peneliti Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHNN), Henry Donald, lantaran negara tak mampu sendirian dalam pembangunan ekonomi untuk kemakmuran rakyat sehingga harus menggandeng sektor sawsta. Hal itudalam rangka melaksanakan Pasal 33 UUD 1945.

Executive Vice President PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII), Emil Dardak, mengatakan PPP merupakan bentuk penjaminan pemerintah terhadap investasi swasta. Namun, Emil buru-buru menambahkan bahwa penjaminan itu bukan seperti asuransi melainkan tentang bagaimana pemerintah ikut terlibat dalam sebuah proyek. Ia menegaskan, jaminan investasi merupakan jaminan yang sesuai dengan skema bagi risiko.

Emil menambahkan, skema PPP lahir karena pendekatan pemerintah yang menyerahkan sepenuhnya investasi kepada swasta gagal total. Pasalnya, menurut Emil, memang tidak mungkin swasta menaruh dana trilyunan ke dalam proyek infrastruktur tanpa ikatan kerjasama yang pasti. Hal ini lantaran esensi dalam proyek infrastruktur adalah ikatan kerjasama.

Lantas, apakah jaminan pemerintah akan melindungi investor dari kerugian? Menurut Emil, untuk menjawab pertanyaan itu harus diakui dulu bahwa kerugian investor bisa diakibatkan oleh dua pihak. Pertama, jika investor yang tidak bisa menunjukan performanya. Atau, Emil menuturkan kerugian bisa terjadi jika pemerintah yang tidak bisa mendukung.

“Sekup penjaminan terbatas tapi kami lihat ada potensi yang bisa semakin diperbesar. Tetapi, saat ini hanya bisa terlibat dari kegiatan yang ada di Perpres No. 38 Tahun 2015,” ujar Emil dalam sebuah dikusi di Jakarta, Rabu (9/6).

Sementara itu, Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur, Darwin Trisna Djajawinata, mengatakan bahwa masalah pembangunan pembangkit tenaga listrik tidak hanya menyangkut pembiayaan yang besar tapi juga soal kualitas proyek. Terkait dengan kualitas, ia menyebut banyak masalah yang terkait izin, serta dampak lingkungan dan sosial.

Ia memaparkan, terkait dengan perizinan seringkali koordinasi instansi bersifat parsial. Seharusnya, menurut Darwin, ada pola koordinasi yang terstruktur. Ia pun menilai untuk menyukseskan proyek 35 ribu MW harus ada suatu pakta yang disebut service level agreement.  

Badan Koordinasi Penanaman Modal sendiri telah mengidentifikasi ada 52 izin untuk sektor ketenagalistrikan. Menurut BKPM, seluruh izin itu bisa disederhanakan menjadi 29 izin. Mengenai lama penyelesaiannya 923 hari pun akan dipersingkat menjadi 256 hari.

“Selain itu, kerangka hukum juga sering perbenturan. Misalnya,saja aturan soal analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Padahal kita berharap AMDAL dipatuhi investor dan disesuaikan dengan teknologi yang dipakai,” imbuhnya.

Darwin juga mengkritisi peran pemerintah terkait dengan perlindungan investor. Dalam proyek kelistrikan, menurut Darwin, kehadiran pemerintah sangat terbatas. Darwin melihat, pemerintah hanya hadir pada saat perizinan dan pada saat penentuan tarif. Padahal, ia menilai bahwa PLN perlu mendapat perlindungan.

“Selama ini semua dilepas saja ke badan usaha swasta,” katanya.
Tags:

Berita Terkait