MA Putuskan NO Judicial Review PP Pungutan OJK
Berita

MA Putuskan NO Judicial Review PP Pungutan OJK

HKHPM belum bisa mengambil langkah atau komentar apapun, lantaran belum menerima putusan dari MA secara resmi.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Ketua Umum HKHPM Indra Safitri (tengah). Foto: SGP
Ketua Umum HKHPM Indra Safitri (tengah). Foto: SGP

Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan putusan terkait judicial review PP No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Gugatan ini diajukan oleh sejumlah asosiasi profesi penunjang pasar modal, seperti Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan pemohon lain yang mewakili kantor akuntan publik hingga perorangan pada pertengahan Oktober tahun lalu.

Dalam laman info perkara MA tertulis bahwa perkara tersebut diputuskan gugatan tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijke Verklaard (NO). Keputusan itu dilakukan MA pada tanggal 22 Januari 2015 lalu dengan nomor register 68 P/HUM/2014. Ada tiga majelis hakim yang menangani perkara tersebut. ketiganya adalah, Irfan Fachruddin, Yulius dan Supandi. Namun sayangnya, hingga kini belum ada bundel putusan yang diupload ke website MA.

Terkait hal ini, Ketua Umum HKHPM, Indra Safitri mengatakan, pihaknya belum bisa berkomentar terhadap putusan tersebut. Alasannya, karena HKHPM belum menerima secara utuh bundel putusan MA. Menurutnya, hal ini sudah ditunggu pihaknya selama berbulan-bulan.

“Itu cuma di website-nya saja, resminya belum keluar. Kita belum tahu isinya apa. Sudah tunggu tiga bulan,” katanya saat dihubungi hukumonline, Senin (15/6).

Ia mengaku, pihaknya sudah menunggu putusan resmi dari MA sekitar tiga bulan belakangan. Menurut Indra, HKHPM akan melakukan serangkaian upaya agar putusan dapat diterima dengan cepat. “Kemungkinan nanti tim kuasa hukum akan mengirim surat percepatan tentang hasilnya itu apa,” katanya.

Menurutnya, jika HKHPM telah menerima putusan secara resmi dan membacanya. Maka, baru bisa memberika komentar atau langkah yang akan dilakukan. Indra mengatakan, NO itu artinya ada kekurangan atau syarat yang belum terpenuhi. “Nanti jika misalnya syaratnya apa, ya kita masukkan (gugatan, red) lagi. Tapi kita belum tahu apanya yang kurang,” katanya.

Terkait upaya hukum lain, seperti mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), HKHPM melihat masih terbuka lebar. Namun, Indra menambahkan, pihaknya belum bisa memastikan apakah upaya tersebut akan dilakukan sekarang atau tidak.

Alasannya, karena HKHPM ingin menyelesaikan secara satu persatu gugatan yang tengah berjalan. “Paling tidak, kita kelar satu-satu dulu. Tujuan utamanya sebenarnya untuk mencari solusi, bukan sekedar gugat menggugat, kita tidak itu konsepnya. Jadi, kalau bisa diselesaikan di level judicial review, ya sudah cukup di situ. Tapi kalau ternyata belum, ya cari pilihan yang lain,” tutup Indra.

Sebagaimana diketahui, profesi penunjang pasar modal mengajukan judicial review terhadap sejumlah pasal di PP Pungutan OJK. Tim Kuasa Hukum profesi penunjang pasar modal, Ary Zulfikar, mengatakan pasal yang diuji adalah Pasal 1 angka 3 dan angka 4, Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 5 PP Pungutan OJK yang mengatur mengenai biaya perizinan, pendaftaran dan biaya tahunan bagi profesi penunjang pasar modal, emiten dan perusahaan publik. Menurut pemohon, seluruh pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 6 dan Pasal 37 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.

Pungutan ini dianggap sebagai beban bagi profesi penunjang pasar modal. Padahal, dalam UU OJK, khususnya Pasal 6 dinyatakan bahwa OJK melakukan pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank (IKNB), bukan terhadap profesi penunjang pasar modal. Atas dasar itu, kata Ary, PP Pungutan OJK tersebut telah bertentangan dengan UU OJK.

“Profesi penunjang pasar modal seperti konsultan hukum, akuntan publik, notaris itu bukan pihak yang melakukan kegiatan jasa keuangan. Justru kita yang membantu proses transaksi yang dilakukan oleh para pihak di pasar modal, namanya juga penunjang,” kata Ary di Gedung MA Oktober tahun lalu.

Atas dasar itu, perluasan makna khususnya mengenai profesi penunjang pasar modal tersebut dinilai bertentangan dengan UU OJK. Ary menambahkan, kegiatan para profesi penunjang pasar modal juga tak diatur dan diawasi oleh OJK. Seluruh profesi penunjang pasar modal tersebut diatur oleh UU tersendiri. Bahkan, pengembangan pendidikan dan pengawasan dilaksanakan oleh masing-masing organisasi profesi tanpa ada bantuan dana dari OJK.

Maka itu, kata Ary, selain bertentangan dengan UU OJK, sejumlah pasal dalam PP Pungutan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 64 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 1 angka 1 dan angka 2 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 3 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik dan Pasal 15 UU No. 30 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.

“Tugas dan fungsinya jelas, kita melakukan kegiatan pemberian jasa hukum, notaris pembuatan akta otentik dan akta lainnya, akuntan publik yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan akuntan. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan industri jasa keuangan,” kata Ary yang tercatat sebagai konsultan hukum pasar modal ini.

Pemohon berharap agar MA segera mengabulkan seluruh gugatan ini dengan menyatakan Pasal 1 angka 3 dan angka 4, Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 5 PP Pungutan OJK dianggap tidak sah. Setelah itu, pemohon berharap pemerintah mencabut sejumlah pasal itu melalui revisi PP Pungutan OJK.

Tags:

Berita Terkait