IKADIN: Sistem Pemilihan Kewenangan Organisasi Advokat
Utama

IKADIN: Sistem Pemilihan Kewenangan Organisasi Advokat

Pemilihan ketua umum PERADI dengan sistem perwakilan sudah diuji coba dalam Munas Pontianak 2010 dan Munas Pekanbaru 2015.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ketua Umum DPP IKADIN, Sutrisno selaku pihak terkait saat menyampaikan keterangan dalam sidang uji materi UU Advokat, Selasa (16/6). Foto: Humas MK
Ketua Umum DPP IKADIN, Sutrisno selaku pihak terkait saat menyampaikan keterangan dalam sidang uji materi UU Advokat, Selasa (16/6). Foto: Humas MK
Setelah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), kini giliran Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) sebagai pihak terkait menyampaikan padangannya dalam sidang pengujian Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pengujian ini terkait mekanisme pemilihan pengurus PERADI.

Dalam keterangannya, IKADIN menganggap pengujian aturan mekanisme penentuan kepengurusan organisasi itu bukan kewenangan MK, melainkan organisasi advokat. “Pasal 28 ayat (1) dan (2) UU Advokat ini terkait sistem pemilihan pimpinan organisasi advokat ini dengan one man one vote, ini kewenangan organisasi advokat itu sendiri, dalam hal ini PERADI,” ujar Ketua Umum IKADIN, H. Sutrisno dalam sidang lanjutan pengujian UU Advokat di MK, Selasa (16/6). IKADIN di bawah kepemimpinan H. Sutrisno menjadi pihak terkait dalam permohonan ini.

Sutrisno mengatakan sistem pemilihan kepengurusan organisasi advokat lebih lanjut diatur dalam AD/ART PERADI. Sebab, sesuai UU Advokat, ada delapan organisasi termasuk IKADIN sepakat membentuk wadah satu-satunya organisasi advokat bernama PERADI dalam Munaslub IKADIN di Pontianak 2004.

“Dalam perkembangannya, anggota IKADIN aktif terlibat dalam kepengurusan PERADI baik di tingkat pusat maupun daerah. Di situlah, IKADIN berperan dalam menjalankan tugas PERADI secara nasional,” kata Sutrisno.

Menurutnya, persoalan perpecahan di tubuh organisasi advokat bukan disebabkan PERADI tidak menerapkan sistem pemilihan pengurus dengan one man one vote. Berdasarkan AD/ART PERADI, setiap dewan pimpinan cabang harus menjalankan rapat anggota cabang untuk menentukan utusan yang berhak memilih pimpinan pengurus pusat dalam Munas PERADI.

Dengan begitu, sebenarnya sistem one man one vote sudah dimulai dalam rapat tingkat DPC PERADI. Nantinya, setiap 30 anggota PERADI diwakili 1 utusan di setiap DPC.  “Di sinilah peran aktif setiap anggota DPC PERADI. Ketika ada 75 anggota PERADI lebih diwakili 25 utusan (yang memiliki hak pilih). Jadi sebenarnya penerapan one man one vote sudah diterapkan dari bawah,” kata dia.

Lagipula, AD/ART PERADI 2004 mengenai pemilihan ketua umum dengan sistem perwakilan ini sudah diuji coba dalam Munas Pontianak 2010 dan Munas Pekanbaru 2015 dengan terpilihnya Fauzie Yusuf Hasibuan sebagai Ketua Umum PERADI periode 2015-2020. “Jadi, ini bukan persoalan sistem pemilihannya, tetapi kepentingan segelintir orang yang tak mampu mendapatkan jabatan tertentu, seolah-olah organisasi advokat dibuat menjadi pecah,” tegasnya.

Dia menambahkan IKADIN tetap mendukung adanya single-bar semata-mata bertujuan meningkatkan kualitas advokat dan memberi perlindungan bagi masyarakat pencari keadilan. “Kalau multi-bar justru masyarakat sulit untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan,” dalihnya.

“Sistem perwakilan ini sebenarnya bagian sistem norma yang berlaku di negara ini seperti termuat dalam sila ke-4 Pancasila. Tentunya, sistem perwakilan ini harus demokratis dalam prosespemilihan calon ketua umum PERADI,” imbuhnya.

Dalam persidangan pihak terkait, AAI menghadirkan dua saksi yakni Esterina dan Astuti yang merupakan pengurus cabang PERADI wilayah DKI Jakarta. Dalam kesaksiannya, Esterina mengaku hadir dalam pelaksanaan Munas PERADI 2010 di Pontianak. Awalnya, para advokat peserta Munas sepakat menggunakan sistem one man one vote dalam pemilihan ketua umum PERADI 2010-215. “Tetapi, entah kenapa sistem one man one vote urung dilaksanakan karena AD/ART PERADI belum diubah. Sampai saat ini AD/ART PERADI pun belum dilakukan perubahan,” kata Esterina dalam persidangan.

Sebelumnya, sejumlah advokat yakni Ikhwan Fahrojih, Aris Budi Cahyono, Muadzim Bisri, dan Idris Sopian Ahmad mempersoalkan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU Advokat terkaitpenentuan susunan kepengurusan organisasi advokat.Dalam pemilihan ketua umum DPN PERADI yang pada Munas April 2010 di Pontianak disepakati menggunakan sistem one man one vote.  Ikhwan dan kawan-kawan menganggap Pasal 28 ayat (2) UU Advokat multitafsir karena dapat ditafsirkan sistem perwakilan atau one man one vote.

Para pemohon merasa ketentuan itu melanggar hak konstitusional mereka termasuk para advokat lain yakni melanggar hak mengeluarkan pendapat, kepastian hukum yang adil, dan hak untuk tidak didiskriminasi selaku profesi advokat. Sebab, hanya sebagian kecil advokat yang diberi hak memilih calon ketua umum PERADI, sebagian besarnya termasuk para pemohon tidak diberi hak memilih.

Menurut para pemohon, Pasal 28 ayat (2) UU Advokat mengandung makna kedaulatan tertinggi ada di tangan para advokat sendiri, termasuk saat pemilihan kepengurusan organisasi advokat. Namun, hal ini dimaknai kurang tepat melalui Pasal 32 AD PERADI (Desember 2004) dimana hak suara dalam Munas diwakili DPC dengan ketentuan setiap 30 anggota PERADI di suatu cabang memperoleh satu suara (perwakilan). Karenanya, mereka meminta MK menafsirkan Pasal 28 UU Advokat sepanjang dimaknai tata cara pemilihan pengurus pusat organisasi advokat dilakukan para advokat secara individual yang ditetapkan dalam AD/ART.
Tags:

Berita Terkait