Perlu Tafsir ‘Tindak Pidana’ Sebagai Dasar Pemberhentian
Pengujian UU KPK:

Perlu Tafsir ‘Tindak Pidana’ Sebagai Dasar Pemberhentian

Ketentuan pemberhentian sementara rentan disalahgunakan pihak-pihak tertentu dalam proses penetapan tersangka pimpinan KPK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Perlu Tafsir ‘Tindak Pidana’ Sebagai Dasar Pemberhentian
Hukumonline
Setelah mendengar pandangan dua ahli, pemohon uji materi Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, Pimpinan KPK Nonaktif Bambang Widjojanto (BW) kembali menghadirkan dua ahli lain dalam persidangan. Mereka adalah Dosen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar dan Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Ganjar L. Bondan.

Dalam paparannya, Zainal Arifin Mochtar menilai ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK untuk menjaga marwah KPK dan harus tetap ada. Namun, ketentuan yang mengatur pemberhentian sementara pimpinan KPK itu masih dibutuhkan penafsiran lantaran adanya fakta penegakan hukum yang sangat mungkin tak normal seperti kasus yang dialami pemohon.

“Adanya kepentingan menafsirkan kembali atas klausula melakukan ‘tindak pidana’ dalam Pasal 32 ayat (2) UU KPK,” ujar Zainal dalam sidang lanjutan pengujian UU KPK yang diajukan BW di ruang sidang MK, Selasa (23/6).

Zainal beralasan KPK sebagai lembaga independen yan diberi tugas besar memberantas korupsi sangat mungkin mendapatkan upaya serangan balik (the corruptor fight back). Karena itu, prinsip-prinsip perlindungan bagi KPK yang sudah digariskan dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dan peraturan perundang-undangan penting untuk diterapkan.

“Sangat mungkin MK membangun prinsip perlindungan bagi KPK untuk menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi yang sebagai lembaga constitutionally important,” ujarnya.

Dalam keterangannya Ganjar mengatakan berlakunya UU KPK dalam perkembangan mengandung kelemahan, khususnya dalam ketentuan pemberhentian sementara bagi KPK. Sebab, materi muatan Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengandung perlakuan yang diskriminatif dibandingkan mekanisme pemberhentian pejabat lain yang berakibat merugikan masyarakat dan bangsa yang tengah giat memberantas korupsi.

Atas dasar itu, ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK secara nyata bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum atas hak-hak dasar manusia. Pasal itu tidak membatasi jenis kualifikasi tindak pidananya sebagai dasar alasan pemberhentian sementara pimpinan KPK. Akibatnya, ketentuan ini rentan disalahgunakan pihak-pihak tertentu dalam proses penetapan tersangka pimpinan KPK.

Dia menegaskan tidak dibatasi kualifikasi jenis tindak pidana dan waktu terjadinya tindak pidana sekitar 6.000-an jenis kejahatan baik dalam KUHP maupun di luar KUHP potensial bisa menjadi celah untuk memperalat dengan mentersangkakan pimpinan KPK. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip due process of law dan potensial melahirkan sistem kesewenang-wenangan. “Karena itu, seharusnya frasa ‘tindak pidana’ dalam Pasal 32 ayat (2) UU KPK mesti dibatasi terhadap kejahatan berat atau serius,” harapnya.

Lewat tim kuasa hukumnya, BW mempersoalkan Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU KPK terkait pemberhentian sementara pimpinan KPK ketika berstatus tersangka seperti yang dialami BW. Dia menganggap ketentuan itu diskriminatif karena memberi perlakuan berbeda antara pimpinan KPK dengan pejabat negara lain. Misalnya, ketika pimpinan KPK menjadi tersangka membuat mereka diberhentikan sementara yang bersifat tetap.

Sebaliknya, pejabat negara lain, pemberhentian sementara dilakukan ketika status pejabat yang bersangkutan sudah berstatus terdakwa atau setelah ada putusan inkracht. Misalnya, hakim konstitusi atau ketua dan wakil ketua BPK diberhentikan dengan tidak hormat apabila dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ancaman pidana lima tahun lebih.

Dia meminta MK memberi tafsir konstitusional agar frasa “tersangka tindak pidana kejahatan” dimaknai dasar pemberhentian sementara pimpinan KPK khusus terhadap jenis tindak pidana berat, seperti korupsi, terorisme, makar atau yang mengancam keamanan negara. Lalu, penetapan tersangkanya setelah mendapatkan persetujuan dari presiden.
Tags:

Berita Terkait