Mekanisme Pencabutan RUU KPK dari Prolegnas Mesti Lewat Paripurna
Berita

Mekanisme Pencabutan RUU KPK dari Prolegnas Mesti Lewat Paripurna

Supaya tidak terjadi polemik pemerintah harus memberikan surat resmi penolakan kepada DPR untuk ditindaklanjuti.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES
Rapat Paripurna DPR. Foto: RES
Polemik Revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK terus bergulir di tengah masyarakat. Penolakan Presiden Jokowi atas revisi UU KPK mesti dituangkan dengan beberapa alasan dalam surat kepada DPR. Sekalipun melakukan pencabutan RUU, maka seyogianya dilakukan dalam rapat paripurna.

“Harus dicabut melalui paripurna lagi, ini kan mekanisme bukan statemen untuk membatalkan,” ujar Wakil Ketua Komisi III Desmon J Mahesa di Gedung DPR, Kamis (25/6).

Menurutnya, pencabutan sebuah RUU KPK, misalnya dari Prolegnas mesti dilatarbelakangi sejumlah alasan. Tentunya, alasan tersebut mesti dijelaskan kepada Komisi III selaku mitra kerja Kementerian Hukum dan HAM. Sejumlah catatan dan alasan itulah kemudian menjadi pertimbangan bagi Komisi III.

UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) mengatur terhadap sebuah RUU yang masuk dalam Prolegnas maka mesti diteruskan dalam pembahasan. Lain hal jika presiden mengeluarkan surat amanat presiden (Ampres) pencabutan sebuah RUU. “Kalau itu terserah presiden,” ujarnya.

Anggota Komisi III Nasir Djamil menambahkan, sekalipun Presiden Jokowi menolak adanya revisi UU KPK, mesti dilakukan secara resmi melalui surat. Menurutnya, Presiden Jokowi tak boleh hanya berkomentar tanpa dibarengi dengan surat resmi kepada DPR. Faktanya, RUU KPK sudah resmi masuk dalam Prolegnas prioritas 2015 sebagaimana usulan ‘pembantunya’ yakni Menkumham Yasonna H Laoly.

Ketidaksamaan pandangan antara Presiden Jokowi dengan Menkumham membuat pemerintah menjadi plin plan. Menurutnya, Menkumham tak mungkin bergerak tanpa mendapat persetujuan dari presiden dalam mengusulkan RUU KPK masuk dalam Prlegnas prioritas 2015. Sebab jika berseberangan dengan presiden, resiko yang mesti ditanggung bukan tidak mungkin berupa pemecatan.

“Makanya heran saja, kalau sepeti ini Menkumham dipojokan seolah-olah dia bertindak sendiri bukan atas nama presiden. Saya menyarankan kepada presiden, supaya puasa bicara soal revisi. Serahkan sepeniuhnya kepada Menkumham sebagai juru bicara terkait dengan revisi ini,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu lebih jauh berpandangan, presiden tak boleh memiliki ketakutan akan tekanan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sebab, pemerintah memiliki kapasitas mengawal RUU KPK jika tetap direvisi. Selain itu, DPR tak ingin sembarang dalam merevisi tanpa adanya penguatan lembaga antirasuah dalam pemberantasan korupsi.

“Kita ingin mengatur kembali. Karena dalam teori pembangunan hukum, hukum tanpa kekuasan itu angan-angan. Kekuasaan tanpa hukum itu menjadi zolim. Jadi kekuasan  penegakan hukum harus diatur, karena kalau tidak, dia jadi zolim dia. Dia akan menyimpang dari tujuan penegakan hukum,” imbuhnya.

Anggota  Komisi III Arsul Sani mengatakan, DPR mengesahkan RUU KPK masuk  Prolegnas prioritas 2015 dengan dihadiri pihak pemerintah. Meski pemerintah setengah hati dengan melakukan revisi, setidaknya pembahasan dapat berjalan sepanjang terdapat dua belah pihak, DPR dan pemerintah. “Pembhahsan UU juga hanya berjalan, pemerintah mau membahas dan DPR mau. Kalau salah satu saja, revisi tidak bisa berjalan,” katanya.

Ia menyayangkan RUU KPK kerap menjadi polemik di tengah masyarakat. Makanya, supaya tidak terjadi kontroversi, Arsul menyarankan agar pemerintah segera mengirimkan surat berisi ketegasan perihal penolakan merevisi UU KPK. Sedari awal, Arsul memang berpendapat RUU KPK dilakukan pembahasan setelah selesai pembahasan RKUHP dan RKUHP.

Lebih jauh politisi PPP itu berpandangan jika pemerintah tetap melakukan penolakan melakukan revisi terhadap UU KPK hingga akhir masa jabatan, boleh jadi pemerintahan Jokowi dinilai tidak konsisten. Pasalnya masuknya RUU KPK dalam Prolegnas dengan nomor urut 63 berdasarkan kesepakatan antata pemerintah dengan DPR.

“Kalau itu masalahnya, berarti pemerintah tidak konsisten, karena Prolegnas disusun bareng. Kalau saya mengartikan penolakan Jokowi itu pembahasan di tahun 2015,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait