Dua Profesor Ini Dukung KY untuk SPH
Utama

Dua Profesor Ini Dukung KY untuk SPH

Para ahli menyatakan keterlibatan KY dalam SPH bersama MA tidak melanggar kosntitusi.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Mahfud MD. Foto: RES
Mahfud MD. Foto: RES
Seolah tak mau kalah dengan IKAHI, Komisi Yudisial (KY) selaku pihak terkait akhirnya turut menghadirkan beberapa ahli di sidang lanjutan pengujian tiga paket Undang-Undang (UU) bidang peradilan terkait keterlibatan KYdalam seleksi pengangkatan hakim (SPH). Ahli dimaksud adalah dua orang professor, yaitu mantan Ketua MK Moh. Mahfud MD, pakar hukum administrasi negara Philipus M Hadjon. Sidang juga mendengar keterangan Maruarar Siahaan sebagai ahli dari pemerintah.

Dalam keterangannya, Mahfud memandang keterlibatan KY dalam SPH bersama Mahkamah Agung (MA) yang diatur dalam tiga paket Undang-Undang bidang peradilan justru memperkuat lembaga peradilan (yudikatif) yang merdeka, bersih, jujur, berani, profesional sebagai simbol supremasi hukum.

“Kewenangan KY termasuk diberi wewenang pembentuk UU turut ikut dalam SPH. Dilihat dari sudut apapun sama sekali tidak mengurangi atau mengganggu prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka baik independensi atau pun imparsialitas hakim-hakimnya. Sebab, setelah selesainya SPH, tidak ada lagi hubungan structural atau administratif lagi hakim-hakim yang diangkat dengan KY, kecuali dalam hal pengawasan hakim,” kata Mahfud.

Menurutnya, beberapa pasal yang dimohonkan pengujian oleh IKAHI merupakan ranah open legal policy (kebijakan hukum terbuka) pembentuk UU. “Apa kewenangan SPH, hanya MA atau bersama dengan KY, semuanya tergantung kebijakan pembentuk UU, bukan wewenang MK menentukan ini?”

Terlebih, dalam UUD 1945, MA sendiri tidak disebut eksplisit berwenang melakukan proses SPH, sama halnya dengan KY. Faktanya, tidak ada satu persen dari seluruh UU yang lahir mengacu (delegasi) langsung dari UUD 1945. Sebab, UU dibuat karena ada kebutuhan di tengah jalan.

“Apa ada UUD 1945 menyebut hakim diseleksi oleh MA atau hakim diseleksi KY? Tidak ada itu. Makanya, persoalan ini disebut open legal policy yang masuk ranah legislative review, pengujian UU ini tidak bisa dibatalkan lembaga yudikatif (MK),” tegasnya.

Mahfud mengingatkan sebuah isi UU yang tidak disukai kelompok masyarakat belum tentu melanggar/menyimpang dari konstitusi atau UU yang disukai belum tentu tidak melanggar konstitusi. Karena itu, para hakim MK tidak boleh membatalkan atau memberi pemaknaan baru terhadap UU yang tidak disukai kalau tidak melanggar konstitusi terlepas para hakimnya suka atau tidak suka.

Dia menambahkan keberadaan KY dalam struktur ketatanegaraan merupakan sesuatumubah (boleh). Namun, ketika beberapa kewenangan diatur lebih jelas dalam UU menjadi sesuatu yang wajib yang mengikat. Dia mempertanyakan apakah ada jaminan kalau hanya MA yang melaksanakan SPH, kualitas hakim-hakim yang dihasilkan akan lebih baik?

“Faktanya, ada keluarga hakim, bapaknya hakim anaknya jadi hakim, itu berapa presentasenya? Jadi, sama-sama tidak ada jaminan. Kalau tidak senang kembalikan saja ke DPR melalui legislative review. Jangan dibatalkan ke lembaga lain. Itu bisa disebut melanggar konstitusi,” tegasnya.

Philipus berpandangan ketentuan keterlibatan KY dalam proses seleksi hakim sebenarnya sudah sesuai penafsiran historis ketika merujuk proses pembahasan amandemen UUD 1945 di PAH I BP MPR. Dia mengutip pandangan Harjono (Fraksi PDI-P) yang mengemukakan apabila KY diberi wewenang seleksi calon hakim agung ke depan perlu dipikirkan untuk mengubah sistem rekrutmen hakim.

“Saat itu, Jacob Tobing juga mengatakan rekrutmen menentukan kehandalan para hakim, sehingga kewenangan KY menyeleksi calon hakim agung, seharusnya meliputi rekrutmen hakim tinggi dan hakim pengadilan negeri. Ini sumber risalah pembahasan amandemen UUD 1945,” kata Philipus dalam persidangan.

Menurutnya sesuai pendekatan penafsiran historis, pendekatan UU, dan pendekatan rasio legis ketiga UU itu tidak bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Jadi, spirit pembentukan pasal-pasal itu sudah sesuai konstitusi. “Pasal-pasal itu konstitusional,” tegasnya.

Hal senada disampaikan Maruarar Siahaan yang intinya menilai pasal-pasal yang digugat IKAHI tidak ‘menabrak’ konstitusi. Justru, adanya keterlibatan KY dalam SPH bersama MA untuk menjaga kehormatan hakim itu sendiri. “Pasal-pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan konstitusi,” kata Maruarar.

Pengurus Pusat IKAHI mempersoalkan aturan yang memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan melalui uji materi ke MK. IKAHI memohonpengujian Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2),(3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

IKAHI mengganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA.

Terlebih, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH. Bahkan, keterlibatan KY dinilai menghambat regenerasi hakim. Karenanya, pemohon meminta agar keterlibatan KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu, sehingga hanya MA yang berwenang melaksanakan SPH.
Tags:

Berita Terkait