Prosedur Pencairan BPJS JHT, Pembunuhan Massal Bagi Buruh
Berita

Prosedur Pencairan BPJS JHT, Pembunuhan Massal Bagi Buruh

Karena aturan pencairan dana BPJS JHT justru mempersulit para pekerja mendapatkan haknya. Terlebih, aturan tersebut melenceng dari amanat UU BPJS.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ribka Tjiptaning (kiri). Foto: SGP
Ribka Tjiptaning (kiri). Foto: SGP
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Jaminan Hari Tua (JHT) telah menerbitkan prosedur pencairan dana JHT. Sayangnya, selang beberapa hari diterbitkan prosedur tersebut, menuai kecaman dari publik. Bahkan, anggota dewan yang notabene merumuskan UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS pun mengecam mekanisme prosedur pencairan BPJS JHT tersebut.

“Ini pembunuhan masal buruh kalau saya lihat. Jadi jauh dari semangat UU BPJS yang kita bikin sebenarnya,” ujar anggota Komisi IX Ribka Tjiptaning di Gedung DPR, Jumat (3/7).

Dibentuknya UU BPJS bertujuan menganulir hal yang tidak manusiawi bagi buruh. Misalnya, BPJS Kesehatan diperuntukan memperpendek birokrasi dalam pelayanan kesehatan. Sayangnya, tak ubahnya BPJS JHT, BPJS Kesehatan menuai kritik dari masyarakat luas lantaran masih banyaknya pasien yang ditolak.

“Begitu juga BPJS Ketenagakerjaan justru malah makin mempersulit atau menganiaya buruh kalau saya lihat. Saya lihat di beberapa televisi semua tanggapan masyarakat sama, apalagi kita yang buat UU itu. Jadi jauh dari semangat UU BPJS yang kita buat,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, menjadi hak buruh untuk mengambil utuh tidaknya dana jaminan hari tua miliknya. Ia menilai aturan pencairan dana JHT maksimal  sepuluh persen selama kurun waktu 10 tahun, seolah mempersulit buruh  mendapatkan haknya. Berbeda dengan Jamsostek, buruh dapat mencairkan dana jaminan hari tua seratus persen dengan catatan minimal 5 tahun masa kerja.

“Tidak usah lagi pemerintah mau mengatur lagi, jadi berikan saja itu hak buruh. Kenapa siy kok jadi ribet begini. Kalau ditahan-tahan satu hari sudah berapa bungannya, ini kan ada kepentingan yang main-main juga,” ujarnya.

Mantan Ketua Komisi IX DPR periode 2009-2014 itu mengatakan, akan mengusulkan kepada pimpinan komisi tempatnya bernaung agar memanggil Menteri Tenaga Kerja (Menaker). Menurutnya, Menaker mesti menjelaskan mekanisme dan prosedur pencairan BPJS JHT tersebut. “Kita akan pertanyakan kenapa ada kebijakan itu. Dulu kita kritisi Jamsosten, tapi sekarang seolah malah lebih bagus,” ujarnya.

Anggota Komisi IX lainnya, Roberth Rouw menilai langkah pemerintah mengubah mekanisme pencairan dana JHT secara mendadakan amatlah tidak manusiawi. Pasalnya kebijakan tersebut diambil tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu di masyarakat. “Saya mengecam itu, ini tidak manusiawi,” ujarnya.

Semestinya, pemerintah menjadikan peraturan teranyar itu jauh lebih bermanfaat bagi pada pekerja peserta BPJS Ketenagakerjaan. Oleh sebab itulah sosialisasi kepada masyarakat menjadi penting dilakukan terlebih dahulu. Setidaknya, peraturan pemerintah (PP) tersebut dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Komisi IX, meskipun tidak ada keharusan.

Politisi Partai Gerindra itu lebih lanjut berpendapat, peraturan BPJS Ketenagakerjaan mengenai besaran dana JHT yang hanya dapat diambil sepuluh persen dari total tabungan setelah 10 tahun masa kerja merupakan langkah mengkebiri hak pekerja peserta BPJS. Ibegitu pula pencairan dana JHT untuk perencanaan pembangunan rumah hanya dapat diambil 30 persen dari total tabungan setelah masa kerja 10 tahun.

“Kebijakan itu dirasakan tidak menguntungkan bagi para peserta BPJS Ketenagakerjaan. Karena, ketika ada jutaan peserta atau pekerja yang dananya disimpan dan didepositokan ke bank oleh BPJS Ketenagakerjaan, maka seharusnya manfaat bagi para peserta atau pekerja bisa jauh lebih baik dan bisa mengambil lebih dari angka 40 persen tersebut,” imbuhnya.

Senada dengan kolega sekomisinya, anggota Komisi IX lainya Okky Asokawati menambahkan kebijakan pemerintah melalui aturan tersebut telah mengkhianati amanah UU BPJS. Pasalnya, kata Okky, dalam UU BPJS mengamantkan peserta lama ketika bergabung dengan BPJS Ketenegakerjaan tidak boleh terkurangin benefitnya. Sementara dengan peraturan Jamsostek, peserta dapat mencairkan dana jaminan hari tua seluruh dengan catatan sudah menjalani masa kerja selama 5 tahun 1 bulan.

“Kalau kemudian berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan menjadi 10 tahun masa kerja, artinya itu merugikan bagi para pekerjanya. Sehingga pertanyaan kami,  apa dasar BPJS Ketenagakerjaan membuat perubahan peraturan ini, apakah peraturan ini sudah ditandatangani presiden?. Kalau sudah ditandatangani presiden, apakah presiden sudah mempelajarinya?,” ujarnya.

Politisi Partai Pesatuan Pembangunan itu menilai kebijakan berupa prosedur pencairan dana JHT akan merugikan peserta pekerja. Padahal pekerja berhak mendapatkan dana yang telah ditabungkan. “Ini lebih buruk dari asuransi biasa, padahal membuat BPJS Ketenagakerjaan membuat masa depan para pekerja menjadi lebih baik,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mulai beroperasi  per tanggal 1 Juli 2015. Bersamaan dengan itu, ada perubahan aturan soal pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) mulai diberlakukan. Tanpa sosialisasi terlebih dahulu, membuat masyarakat tercengang dengan aturan tersebut.

Namun dalam aturan yang baru, syarat pencairan JHT adalah minimal 10 tahun terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Peserta bisa mencairkan dana JHT tanpa perlu keluar dari peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sayangnya, jumlah  nominal  hanya sepuluh persen dari total saldo tabungan. Sementara  untuk pembiayaan rumah hanya diperbolehkan dicarikan tiga puluh persen  dari total saldo tabungan. Sementara  pencairan dana JHT keseluruhan dapat dicairkan jika peserta sudah berusia 56 tahun.
Tags:

Berita Terkait