Kalau Jujur, Eks Napi Boleh Menjadi Kepala Daerah
Utama

Kalau Jujur, Eks Napi Boleh Menjadi Kepala Daerah

TNI, Polri, dan PNS harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon setelah memenuhi persyaratan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Kuasa Hukum Pemohon, Al Latifah Fardhiyah. Foto: Humas MK
Kuasa Hukum Pemohon, Al Latifah Fardhiyah. Foto: Humas MK
Larangan mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah kembali dianulir Mahkamah Konstitusi (MK). Lewat putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 7 huruf g tentang Perubahan atas  tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada) inkonstitusional bersyarat sepanjang narapidana yang bersangkutan jujur di depan publik.   “Pasal 7 huruf g UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” ujar Ketua Majelis MK Anwar Usman saat membacakan putusan No. 42/PUU-XIII/2015 di ruang sidang pleno MK, Kamis (09/7).   Selain itu, Mahkamah menghapus Penjelasan Pasal 7 huruf yang memuat empat syarat bagi mantan napi agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah (sesuai putusan MK Tahun 2009)dan Pasal 45 ayat (2) huruf UU Pilkada terkait syarat surat keterangan tidak pernah dipidana.      Jumanto dan Fathor Rasyid mempersoalkan kedua pasal larangan eks terpidana yang diancam lima tahun atau lebih mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Aturan itu dinilai sewenang-wenang seolah pembentuk UU menghukum seseorang tanpa batas waktu. Ketentuan ini jelas-jelas menghambat seseorang berpartisipasi aktif dalam pemerintahan dan proses demokrasi.   Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 menyebutkan pembatasan hak pilih diperbolehkan   MK No. 4/PUU-VII/2009 telah menyatakan inkonstitusional bersyarat seperti tercantum dalam Pasal 7 huruf  dan Pasal 45 ayat (2) huruf  UU Pilkada ini.   Mahkamah beralasan     Mahkamah menganggap Undang-undang (UU) tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan sesuai Pasal 28J UUD 1945. Apabila UU membatasi hakmantannarapidana tidak dapat   Menurut Mahkamah, pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana maka berlaku syarat keduaputusan MKNo.4/PUU-VII/2009yaitu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya.

Putusan ini dijatuhkan tidak dengan suara bulat. Tiga hakim konstitusi yakni Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Ketiganya, intinya berpendapat Pasal 7 huruf g UU Pilkada mestinya ditafsirkan sesuai dengan isi Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009.

“Putusan Mahkamah telah memberi jalan keluar, yaitu memberi kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials),” ujar Maria Farida Indrati.   

Maria beralasan sebenarnya penafsiran terhadap ketentuan “syarat tidak pernah dipidana” telah selesai, sehingga “syarat tidak pernah dipidana” tetap dimaknai sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-VII/2009, bertanggal 24 Maret 2009. Namun demikian, pembentuk UU seharusnya meletakkan empat syarat yang terdapat dalam penjelasan Pasal 7 huruf g UU No. Tahun 2015 ke dalam norma Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015.

Mengabulkan
MK juga mengabulkan pengujian Pasal 7 huruf t dan u UU Pilkada yang dimohonkan Afdoli. Norma ini berisi TNI, Polri, dan PNS harus mengundurkan diri sejak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah. Namun, melalui putusan MK bernomor 46/PUU-XIII/2015, ketiga subjek itu harus mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon setelah memenuhi persyaratan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menurut Mahkamah secara substansi norma a quo memiliki kesamaan dengan norma yang terdapat Pasal 119 UU No. No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yangtelah dipertimbangkan dalam Putusan MK No.41/PUU-XII/2014. Dengan demikian,pertimbangan hukum yang terkait persyaratan pengunduran diri yang harus dipenuhi calon peserta pilkadayang terdapat dalam putusan MK No.41/PUU-XII/2014 dan No.33/PUU-XIII/2015, mutatis mutandis menjadi pertimbangan pula dalam permohonan a quo.

“Karenanya,permohonan Pemohon beralasan menurut hukum, sehingga Pasal 7 huruf t UU 8/2015 harus dimaknai ‘Mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota’,” demikian bunyi amar putusan bernomor 46/PUU-XIII/2015.
UU No. 8 Tahun 2015UU No. 1 Tahun 2015



gk

Dua mantan terpidana

apabila hak pilih dicabut oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, bersifat individual dan tidak kolektif.Putusangk Putusan ini menentukan empat syarat bagi mantan napi agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena itu, pemohon meminta MK agar menghapus pasal-pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945.

ketentuan tersebut bentuk pengurangan hak yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu. Hal ini sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP hak memilih dan dipilih dalam dicabut dengan putusan pengadilan. Sementara hak dipilih sebagai kepala daerah yang dicabut berdasarkan Pasal 7 huruf g UU Pilkada oleh pembentuk Undang-Undang.

“Pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan putusan.

mencalonkan dirinya menjadi kepala daerah sama saja UU telah memberikan hukuman tambahan. Sedangkan UUD 1945 telah melarang memberlakukan diskriminasi kepada seluruh warganya.

kepada masyarakat umum (notoir feiten) mengandung arti pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan pilihannya mau memillih mantan narapidana atau tidak. Namun, apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik,
Tags:

Berita Terkait