Perkawinan Beda Agama di Mata Bismar
Mengenang Bismar:

Perkawinan Beda Agama di Mata Bismar

Pandangan Bismar Siregar dalam perkawinan campuran sangat jelas. Baginya, UU Perkawinan 1974 tak punya kekosongan, dan sudah sempurna untuk dipakai sebagai sarana hukum melaksanakan perkawinan.

Oleh:
MYS/ASH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 68/PUU-XII/2014 diucapkan lebih dari tiga tahun setelah Bismar Siregar meninggal dunia. MK memutuskan menolak permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan putusan ini, keinginan pemohon agar negara melegalkan perkawinan beda agama tak terkabul.

MK bukan sesuatu yang asing bagi Bismar. Ia pernah berdiri di depan sembilan hakim konstitusi, 9 Agustus 2011, saat tampil sebagai ahli hukum perkawinan yang dihadirkan pemohon pengujian UU Perkawinan, tetapi bukan dalam perkara kawin beda agama. Ia jadi ahli dalam permohonan Halimah (janda Bambang Triatmodjo). Di persidangan itu Bismar memberi tamsil perkawinan pasangan Katholik yang tidak mencatatkan perkawinan mereka ke catatan sipil. Apakah perkawinan semacam itu sah? Bagi Bismar, pernikahan itu sah karena disahkan pastor yang bertindak mengatasnamakan Tuhan. Dan Indonesia adalah negara yang menganut sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sepanjang perjalanan intelektualnya, baik sebagai hakim maupun sebagai akademisi, Bismar menaruh perhatian besar pada UU Perkawinan, terutama kaitannya dengan perkawinan beda agama. Tercatat berkali-kali Bismar membuat tulisan yang relevan, sebagian besar termuat dalam bukunya Bunga Rampai Hukum dan Islam. Tulisan-tulisan itu dibuat jauh sebelum ada MK, jauh sebelum muncul beberapa kali pengujian terhadap UU Perkawinan.

Pada saat Bismar menjadi hakim, Indonesia memang sempat dihebohkan kasus-kasus perkawinan antaragama, terutama yang bermuara ke pengadilan. Ada yang masuk pengadilan karena KUA menolak, ada pula karena ditolak Kantor Catatan Sipil. Isu perkawinan pasangan berbeda agama masih terus muncul hingga kini, kadang berbingkai penyelundupan hukum.

Bismar sendiri tampaknya menyadari kenyataan itu. Kemajemukan masyarakat Indonesia membuka ruang untuk terjadinya perkawinan beda agama tersebut. Ada saatnya cinta antara laki-laki dengan seorang perempuan tak terhalang oleh perbedaan keyakinan. “Adanya perbedaan karena agama, umat tidak dapat melepaskan diri dari pergaulan bersama,” tulis Bismar.

Bagi Bismar, beda agama dalam membangun rumah tangga bukan saja menyulitkan dalam banyak hal, tetapi juga tidak dapat dibenarkan. Daripada mengayuh bahtera rumah tangga dalam keadaan berbeda keyakinan lebih baik salah satu melepaskan keyakinan. “Tidak dibenarkan pola hidup rumah tangga dalam beda agama. Bila di antara kedua calon tiada pilihan kecuali melaksanakan perkawinan, salah satu harus melepaskan keyakinan,” tulisnya.

Bismar yakin bahwa Islam dan Kristen menentang perkawinan beda agama. Al-Qur’an surat al-Maidah (5:5) memang memungkinkan seorang pria Muslim menikahi ahlul kitab, tetapi fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 1989 mengharamkannya. Surat al-Baqarah (2: 220) juga menegaskan larangan menikahi orang musyrik sebelum mereka beriman.

Bagi Kristen juga demikian. Bahkan Bismar yakin, seperti ia tulis dalam Bunga Rampai Hukum dan Islam, Kristen lebih tegas dibanding Islam tentang perkawinan berlainan iman. Kitab Perjanjian Lama, Ulangan (7:3), menyebutkan: “Dan lagi jangan kami bersanak saudara (berkawin mawin) dengan mereka itu. Jangan anakmu perempuan kamu berikan kepada anak laki-laki mereka, dan anak perempuan mereka itu jangan kamu ambil istri bagi anakmu laki-laki”. 

Bagaimana kalau masing-masing dalam pasangan itu tetap pada agamanya? Menurut Bismar, opsinya dua: kawin secara agama atau kumpul kebo. Dalam hal yang pertama, istri mengikuti agama suami. Jika calon istri tersebut awalnya beragama Islam, maka ia disebut murtad ketika pindah agama mengikuti agama calon suaminya. Jika ia tetap pada agamanya, mungkin saja perkawinan itu sah menurut negara, tetapi menurut agama tidak sah. “Membina rumah tangga dimana terdapat dua iman, bukan perkawinan ideal yang dimaksud dalam Undang-Undang Perkawinan,” tulisnya.

Perkawinan, kata Bismar, luhur dan suci tujuannya kalau dihayati berdasarkan iman. Imanlah kunci utama melangsungkan perkawinan. “Perkawinan berlandaskan Pancasila berpatok iman,” tulis Bismar. Karena itu bahtera rumah tangga harus diisi oleh pasangan yang seiman. Perkawinan itu adalah bahtera yang akan membawa seluruh anggota keluarga selamat dunia akhirat. Itu pula yang tercermin dari pengertian yang selalu dikutip Bismar: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Lima Tips Solusi Masalah Perkawinan Beda Agama versi Bismar
  • Mantapkan iman dan takwa terlebih dahulu, agama yang dipeluk adalah agama yang sampai mati dianut.

  • Agama demikian memberi jawaban atas semua masalah karena meliputi seluruh sikap, tingkah dan laku antarsesama, yang kelak dipertanggungjawabkan kepada Khalik Yang Maha Pencipta.
  • Jangan cari kilah dan dalih alasan apapun untuk membohongi diri, apalagi berpedoman dari manca benua dalam rangka ‘modernisasi-globalisasi’ hidup dengan emansipasi wanita (seolah-olah) agama hanya jadi pelengkap bukan pilihan utama.
  • Jangan andalkan Peraturan Perkawinan Campuran Staatblad 1898 No. 158 dan Ordonansi Perkawinan Staatblad 1883 No. 74 mengatasi ‘kekosongan’ hukum yang diatur UU No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya. Itulah cermin keimanan umat yang memerlukan tegas ajaran agamanya.
  • Sekiranya dua insan berlain agama sudah bertekad bulat melangsungkan perkawinan, jangan ragu untuk berpegang perkawinan campur antaragama, bukan perkawinan campur. Perkawinan campur terbatas pada perkawinan pasangan berlainan negara. Jangan mengada-ada beralasan lebih baik melegalisasi perkawinan campur itu daripada membiarkan kumpul kebo! Bagaimanapun, kumpul kebo itu di mata manusia, di mata Tuhan tetap zina. Mau pilih yang mana? Hanya iman yang mampu menjawabnya.

****
Setiap kali ada perdebatan masalah hukum kawin pasangan beda agama hampir selalu bermuara pada beda tafsir mengenai rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Menurut Pasal ini, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Ini pula yang menjadi fokus perhatian dalam perkara bernomor 68/PUU-XII/2014 di MK tersebut.

Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Luthfi Sahputra dan Anbar Jayadi – para pemohon pengujian dalam perkara tersebut—menganggap telah terjadi multitafsir dan penyelundupan hukum akibat pemberlakuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, terutama pada frasa “menurut hukum masing-masing agamanya”. Tafsirnya bisa berupa perkawinan beda agama dan kepercayaan boleh dan sah dilakukan, perkawinan beda agama dan kepercayaan boleh dilakukan namun tidak sah, atau perkawinan beda agama tidak boleh dan tidak sah dilakukan.

Apa kata MK? Mahkamah menganggap UU No. 1 Tahun 1974 telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, serta telah dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Agama menetapkan keabsahan perkawinan, undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara.

Jauh sebelum putusan itu, Bismar Siregar sudah menegaskan UU No. 1 Tahun 1974 sudah menampung niat dan kehendak siapapun yang ingin membina rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Frasa ‘menurut hukum masing-masing agama’ bukanlah berarti perkawinan dilaksanakan dua kali, masing-masing satu kali berdasarkan hukum agama yang dianut pasangan berbeda. Bismar menulis: “Jangan pahami dua kali pelaksanaan perkawinan!”. Perkawinan hanya dilaksanakan satu kali. Bismar menyebut agama suami yang dijadikan patokan. “Perkawinan hanya dilaksanakan sekali sesuai agama calon suami,” tulisnya ketika menganalisis salah satu kasus perkawinan beda agama antara seorang wartawan (Katholik) dengan seorang artis kenamaan (Islam).

Dalam kasus semacam itu, kuncinya adalah sakramen pernikahan. Bila pernikahan secara Katholik sudah dilaksanakan, maka perkawinan jadi sah secara agama. Jika sudah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, perkawinan itu kemudian sah menurut negara. Anak-anak yang lahir pun sah. “Bagaimana di hadapan Tuhan? Sekali lagi tentang ‘kebagaimanaan’ di hadapan Tuhan hanya dapat dijawab berdasarkan iman. Sejauh mana kedua suami istri itu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya,” tulis Bismar.

Dalam tulisan yang lain, Menghakimi yang Tidak Seiman, Bolehkah?, seperti dimuat dalam Catatan Bijak, Membela Kebenaran Menegakkan Keadilan, Bismar kembali menyinggung Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Bismar mengecam orang-orang yang menyebut perkawinan pasangan aliran kepercayaan itu tidak sah. Pasangan ini tak mau menikah menurut agama Islam karena mereka adalah penganut aliran kepercayaan. Bismar justru memuji sikap pasangan ini. “Bila sejenak direnungkan, sungguh dalam penghayatan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Mereka tidak ingin tertolong yang berpura-pura, karena mengetahui itu sikap munafik?”.

Bismar tidak setuju jika pasangan itu menikah secara berpura-pura sebagai penganut Islam padahal mereka penghayat kepercayaan. Biarkanlah pasangan itu menikah sesuai kepercayaan mereka, dan tidak baik menuduh mereka berbuat zina. “Menurut saya, tidak adil bersikap demikian,” tulis Bismar.

*****

Ketika Bismar Siregar menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Medan, Maruarar adalah salah seorang anak buahnya. Maruarar pernah menjadi Ketua Pengadilan Negeri Deli Serdang Sumatera Utara. Hubungan keduanya sangat baik. Saat Bismar akan mengakhiri tugas di Medan, Maruarar memberikan ‘kado’ istimewa berupa wawancara mengenai UU Perkawinan di TVRI Medan. Dalam biografi Maruarar ada testimoni Bismar, sebaliknya dalam buku 80 tahun Bismar ada catatan kisah dari Maruarar. Kedua pria Batak ini menempuh karier puncak di bidang hukum pada periode yang berbeda. Sebelum pensiun, Bismar tercatat sebagai hakim agung, sedangkan Maruarar menjadi hakim MK.

Meskipun hubungan keduanya baik, tak semua pandangan Bismar langsung diterima Maruarar. Seperti diceritakan Maruarar kepada hukumonline, 6 Juli 2015 lalu, bertahun-tahun lamanya ia kurang setuju pandangan Bismar tentang kawin beda agama. Sikap Bismar jelas: kawin beda agama harus dihindari karena potensi dampak negatifnya. Dalam beberapa kali kesempatan, Bismar mengingatkan Maruarar agar kawin beda agama dihindari. Nasihat Bismar jelas: satukan dulu agamanya. Kalau tidak, perkawinan itu tidak akan bertahan lama dan anak-anaknya akan menjadi korban.

“Mulanya, saya tidak pernah setuju dengan pandangannya (Bismar—red) yang menentang kawin beda agama,” kata Maruarar, kini Rektor Universitas Kristen Indonesia.

Belakangan, setelah melihat fakta empirik pengalaman kawan dan saudara-saudaranya, Maruarar berubah sikap. Ia kini berpendapat sebisa mungkin pasangan beda agama menyatukan dulu agama mereka sebelum menikah. Terserah agama apa yang mau dipilih. Jika tidak, rumah tangga yang mereka bangun menyimpan bahan eksplosif yang sewaktu-waktu meledak. “Kini, saya mengakui pandangan Bismar benar,” tuturnya.

Kalaupun suatu saat seorang hakim –seperti Bismar dan Maruarar—menangani kasus perkawinan beda agama, dan calon perempuan belum dewasa tak mendapat restu orang tua, si hakim haruslah bijaksana memutus.

“Bagi sang hakim, sekiranya ia seiman dengan si wanita, cukuplah sekadar mengingatkan apa akibat tindak lakunya. Dan kalau sudah diperingatkan, beri ia izin melaksanakan perkawinan sesuai agama suaminya”.
Tags:

Berita Terkait