Putusan Bonda yang ‘Mengayun’ Bismar
Mengenang Bismar:

Putusan Bonda yang ‘Mengayun’ Bismar

Putusan hakim Bismar Siregar tentang perluasan makna barang dalam Pasal 378 KUHP dipuji dan dikecam. Walau putusan itu akhirnya dibatalkan, tak ada penyesalan.

Oleh:
MYS/HAG
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Senin, 8 Agustus 1983. Itulah tarikh yang tertera dalam lembar putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Seperti tertulis dalam salinan dokumen putusan, penuntut umum dan terdakwa tak menghadiri sidang. Palu putusan diketuk hakim tunggal Bismar Siregar, ditemani Panitera Pengganti A.R. Nasution. Inilah sekelumit data putusan No. 144/Pid/1983/PT-Mdn yang akhirnya melambungkan nama Bismar ke pusaran perdebatan hukum nasional.

Bismar mengoreksi putusan pengadilan tingkat pertama. Ia menyatakan terdakwa MR Sidabutar terbukti melakukan tindak pidana penipuan. Amar putusan Bismar juga menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, yang berarti 10 kali lipat dari vonis hakim tingkat pertama. Yang membuat putusan Bismar mencuat adalah analogi alat kelamin perempuan sebagai barang, atau bonda dalam bahasa Tapanuli.

Ceritanya, MR Sidabutar dihadapkan ke persidangan karena tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya terhadap saksi korban K boru Siahaan. Terdakwa dibawa ke kursi pesakitan dengan tuduhan pertama berbuat cabul dengan orang di bawah umur (Pasal 293 KUHP), dakwaan kedua penipuan (Pasal 378 KUHP), dan dakwaan ketiga membuat perasaan tidak senang (Pasal 335 KUHP). Penuntut umum menggunakan surat dakwaan kumulatif. Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara karena terbukti bersalah melakukan perbuatan cabul dengan perempuan yang bukan isterinya.

Jaksa banding, tetapi tak mengajukan memori banding. Bismar mempertimbangkan dakwaan penuntut umum seharusnya harus dibaca alternatif. Bismar juga menilai Pasal 293 KUHP tak terpenuhi karena saksi korban, K. boru Siahaan, sudah berusia 21 tahun. Karena unsur dakwaan kesatu tak terbuka, Bismar menggunakan Pasal 378. Masalahnya, bagaimana membuktikan unsur keempat ‘menyerahkan barang tertentu’.

Di sinilah Bismar melakukan perluasan penafsiran kata ‘barang’; ia termasuk juga jasa. Hubungan senggama antara terdakwa dan saksi korban telah menguntungkan terdakwa, karena itu juga sudah menerima ‘jasa’ dari saksi korban. Hakim Bismar merujuk pada bahasa Tapanuli, daerah asal terdakwa dan saksi korban, yakni bonda yang berarti barang. Dalam bahasa Tapanuli, bonda sering dipakai untuk menyebut kemaluan. Sehingga ketika saksi korban menyerahkan kehormatannya akibat bujuk rayu terdakwa, berarti sama dengan menyerahkan barang.

Akibat perdebatan tentang penafsiran barang, putusan ini sering disebut putusan ‘barang’ Bismar. Bismar malah membuat tulisan khusus berjudul ‘Barangnya si Bismar’.  Tak dinyana, putusan ini menimbulkan pro kontra selama bertahun-tahun. Banyak orang mengenal dan mengaitkan Bismar dengan putusan ‘barang’ tersebut.

Putusan Bismar tersebut dianggap sebagai peringatan bagi –apa yang disebut Bismar sebagai—‘pria perayu gombal’. Bismar memberi warning kepada setiap laki-laki yang merayu perempuan, dan berkat rayuan itu berhasil menidurinya, tetapi lantas tak mau bertanggung jawab atas perbuatan asusila itu.

Namun bukan soal hukuman lebih berat itu yang kemudian memantik polemik. Laporan majalah Fokus edisi 13 Oktober 1981 memuat beragam tanggapan praktisi hukum atas putusan Bismar. Para aktivis bantuan hukum seperti Wayan Sudirta, Todung Mulya Lubis, Abdul Rahman Saleh, dan Teguh Samudera berkomentar positif. “Putusan Bismar ini akan mengerem tindakan para lelaki hidung belang yang biasa memperlakukan wanita sewenang-wenang,” tulis Fokus seperti dikutip dalam buku Bunga Rampai Karangan Tersebar Bismar Siregar (jilid 2).

Pengacara Ibukota yang diwawancarai Fokus, Rusdi Nurima, menyebut putusan Bismar sangat berani dan berbahaya. Bahaya pertama adalah batasan membuat penafsiran terhadap rumusan undang-undang. Jangan sampai hakim membuat penafsiran tanpa batas. Putusan Bismar dianggap telah menggoyahkan kepastian hukum yang telah ada. Efek lainnya, ada potensi lahirnya kejahatan baru, yakni pemerasan oleh seorang perempuan kepada laki-laki dengan dalih telah digauli dan dijanjikan dinikahi.

Namun pukulan paling telak datang dari Gedung Mahkamah Agung (MA). Ketua Muda Pidana MA, Adi Andojo Soetjipto bersuara keras dalam wawancaranya dengan majalah Sinar edisi 30 November 1996. Saat wartawan mengungkapkan bahwa Bismar menyebut putusan itu terobosan  hukum yang baik, Adi Andojo menjawab tegas. “Ditinjau dari segi mana dia mengatakan begitu. Seperti dia mengatakan, bahwa kelamin wanita dikatakan barang, sehingga bisa-bisa menjadi objek penipuan. Itu tidak pakai aturan main. Terlalu jauh dia. Jadi, aksi radiusnya itu ditarik terlalu jauh. Padahal ada aturan main kalau mau menafsirkan”.

Tidak hanya bersuara keras. Adi Andojo juga membatalkan putusan Bismar di tingkat kasasi. Kali ini putusan hakim kasasi bertolak belakang dengan banding. MR Sidabutar dibebaskan. Kalimat amar pertamanya juga sangat tegas. “Menyatakan kesalahan terdakwa MR Sidabutar tersebut tentang perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan primair, subsidair, dan lebih subsidair tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”.

*****
Memoar Adi Andojo Soetjipto, Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir (2007), tak menyinggung sama sekali langkah majelis kasasi membatalkan putusan ‘barang’ Bismar. Adi Andojo salah seorang majelisnya. Tetapi dalam testimoninya untuk peringatan 80 tahun Bismar Siregar, Adi Andojo mengakui telah membatalkan putusan itu. “Meski putusannya sewaktu jadi Ketua Pengadilan Tinggi Medan pernah saya batalkan, yaitu mengenai ‘alat kelamin wanita yang dianggap sebagai barang’, Pak Bismar yang sudah menjadi da’i tetap selalu ramah terhadap saya”.

Rupanya, Bismar juga menyadarkan dirinya untuk tidak berpolemik. “Saya sungguh hormati penilaian beliau, bahwa saya terlalu jauh menarik aksi radius menafsirkan kelamin wanita jadi barang,” tulis Bismar 27 November 1996.

Gara-gara putusan itu, Bismar seperti diayun, kadang di atas kadang di bawah. Menyesalkah hakim kelahiran Sipirok itu atas putusannya? Seperti terbaca dalam tulisan yang dibuat 13 tahun pasca putusan, Bismar merasa tak ada yang ganjil dari putusannya. “Saya sampai saat ini merasa putusan, walaupun kemudian dibatalkan Mahkamah Agung, tidak ganjil, bahkan memenuhi tuntutan rasa keadilan sesuai tuntutan keadaan,” tulis Bismar seperti termaktub dalam bukunya Surat-Surat kepada Pemimpin.  

Hubungan Adi Andojo dengan Bismar tak hanya dalam kasus putusan ‘barang’ itu. Selaku Ketua Muda MA, Adi Andojo-lah yang melantik Bismar sewaktu diangkat jadi Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Bismar bisa menyusul Adi menjadi hakim agung. Bahkan menurut cerita Adi Andojo dalam testimoninya, mereka pernah satu  majelis di Tim Garuda. “Saya sempat dibuat pusing kalau membaca tulisannya yang seperti cakar ayam di atas adviesblad, sehingga sering-sering pendapatnya saya lewati” tulis Adi Andojo, seraya minta maaf.

Bismar berpendirian perbedaan pendapat dirinya dengan orang lain mengenai sesuatu hal, termasuk putusan ‘barang’, harus diterima dengan lapang dada. Mungkin saja butuh waktu lama bagi orang untuk menerima argumentasi tentang putusan ‘barang’ itu. Ia membandingkan dengan putusan Arrest listrik di Belanda yang memperluas makna barang: “Bukankah tentang arrest aliran listrik di negeri Belanda juga diterima sebagai barang memerlukan waktu yang cukup lama?”
Perbandingan Argumen Bismar dengan Majelis Hakim Agung atas
Putusan ‘Barang’
Argumen BismarArgumen Majelis kasasi
Surat dakwaan jaksa seharusnya alternatif, bukan kumulatif. Setuju Pengadilan Tinggi, surat dakwaan seharusnya alternatif karena perbuatan terdakwa masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.
Terdakwa tak bisa dijerat dakwaan primair Pasal 293 KUHP karena saksi korban sudah berusia 21 tahun. Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum, atau setidak-tidaknya tidak saksama mengambil kesimpulan dari alat bukti yang diajukan ke persidangan
Masalah yang perlu dijawab: apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsur ‘memberikan/menyerahkan barang tertentu’ dalam Pasal 378 KUHP’. Masalah yang perlu dijawab: apakah dengan alat-alat bukti tersebut terdakwa telah melakukan tipu muslihat (listige-kunst grepen) atau rangkaian kebohongan (samenweefsel van verdichtzels), sehingga saksi korban bersedia bersenggama dengan terdakwa.
Saksi korban bersedia bersenggama karena janji dinikahi. Perikatan untuk bersenggama yang demikian dalam hukum perdata batal demi hukum. Tetapi dari sisi pidana terdakwa tetap bisa dimintai tanggung jawab. Yang tidak disangkal saksi korban adalah hanya tentang terjadinya senggama yang dilakukan sukarela. Terdakwa memungkiri ada janji mengawini sebelum senggama
Penyerahan kehormatan akibat janji kawin itu sama dengan menyerahkan bonda (bahasa Tapanuli untuk barang). Terdakwa menyerahkan kehormatan yang melekat pada dirinya karena janji akan dinikahi terdakwa. Janji akan mengawini itu hanya berdasarkan keterangan saksi korban semata, tak didukung alat bukti lain. Kalaupun ada surat terdakwa kepada saksi korban, tidak ada isinya yang menjanjikan menikahi. Lagipula hakim menduga surat itu dibuat setelah senggama terjadi.
Surat Pengakuan 18 Maret 1978 tegas menyebut terdakwa akan memperlakukan saksi korban sebagai istrinya dan sejak tanggal itu ia bertanggung jawab atas segala kebutuhan isteri sesuai kemampuannya. Surat pengakuan 18 Maret 1978 yang dibuat terdakwa tak membuktikan adanya tipu muslihat atau rangkaian kebohongan, karena surat pengakuan dibuat setelah senggama dilakukan.
Unsur menguntungkan diri terbukti. Sebab, suatu kenyataan yang sudah umum (notoir feit), senggama menguntungkan kedua belah pihak. Kalau senggama dilakukan di luar ikatan nikah umumnya laki-lakilah yang menawarkan atau memberi janji. Kalaupun setelah mereka hidup bersama pasca surat pengakuan, lalu terdakwa tak memberikan nafkah lahir batin, itu perbuatan melawan hukum dalam lingkup perdata.
Terdakwa mengaku telah beristeri padahal dalam agama Kristen ia terikat hanya boleh beristeri satu, sehingga ia tak mungkin kawin dengan isteri kedua. Karena itu unsur kebohongan terbukti. Karena unsur tipu muslihat dan kebohongan tidak terdapat dalam dakwaan subsidair, pengertian ‘barang’ tidak relevan untuk dipertimbangkan.
Pasal 335 KUHP dikesampingkan karena dakwaan subsidair sudah terbukti. Terdakwa tak bisa dijerat dakwaan lebih subsidair Pasal 335 KUHP karena tidak ada unsur paksaaan, kekerasan, atau ancaman kekerasan dalam melakukan senggama.
Amar: menerima banding penuntut umum, terdakwa terbukti melakukan penipuan, menghukum penjara 3 tahun dikurangi masa tahanan, mengesampingkan dakwaan selebihnya. Amar: menerima kasasi terdakwa dakwaan tidak terbukti, terdakwa dibebaskan, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.

Dalam suatu risalah pembelaannya yang diterbitkan majalah Fokus edisi 18 Oktober 1983, Bismar menyebut putusannya justru melindungi kaum perempuan. Ia bersyukur jaksa menggunakan Pasal 378 KUHP karena dengan pasal itu ia bisa menjaga nilai-nilai kehormatan kaum perempuan.

Bismar sadar banyak orang tak setuju dengan argumentasinya menyamakan kehormatan perempuan sebagai barang. Bismar memberi perbandingan dengan pekerja seks komersial. Bukankah yang diperjualbelikan oleh pekerja seks komersial adalah jasa dengan perantaraan ‘barang’?

“Barang itu memang tidak dinikmati selamanya, tapi hanya sekejap’. Tapi kenyataannya, itulah yang dibeli dan yang telah memberikan kenikmatan. Kenapa kita risih mengatakan itu barang? Dalam kasus Medan, karena ada perjanjian, maka si wanita mau memberikan kehormatannya. Tetapi kemudian si laki-laki ingkar janji. Bukankah ini suatu penipuan?”, tulis Bismar.

Pengajar Universitas Bina Nusantara, Sidharta menilai putusan tentang ‘barang’ dapat dibenarkan melalui analisis filosofis untuk menegakkan keadilan. “Namun kalau dianalisis secara mikro memang sulit menemukan pembenaran dalam putusan itu,” ujar Sidharta kepada hukumonline.

Dalam doktrin hukum, barang itu sesuatu yang bernilai ekonomis. Jika argumen tentang barang dipakai, maka semua anggota tubuh bisa dianggap barang. Resikonya, organ tubuh bisa diperjualbelikan. Ia melihat pertimbangan Pak Bismar lebih berbasis antropologis ketimbang biologis. Sidharta berpendapat agar suatu putusan dikatakan baik harus diterima di empat komunitas, yaitu komunitas peradilan, komunitas ahli hukum, komunitas masyarakat umum, dan komunitas para pihak. Faktanya, tak semua komunitas itu menerima putusan Pak Bismar. MA bahkan kemudian membatalkannya.
Kisah tentang ‘Barang’ di Pengadilan Lain

Keberanian Bismar Siregar membuat analogi kehormatan perempuan sebagai ‘barang’ rupanya menular ke pengadilan lain. Setelah putusan ‘barang’ Bismar Siregar itu, ada kisah-kisah di pengadilan lain yang muara perdebatannya senada. Setidaknya, kasus sejenis pernah terjadi di Ambon dan Jember, dan kasus-kasus di daerah ini berujung ke Mahkamah Agung.

Salah satu peristiwanya terjadi di Mahkamah Militer III-18 Ambon. Pada 1986, Mahkamah Militer ini menangani kasus seorang anggota militer yang karena bujuk rayu dan janji menikahi berhasil melakukan hubungan badan dengan saksi korban Nona S. Terdakwa meminta saksi korban datang ke Namlea dengan iming-iming akan mengajak saksi menghadap atasan terdakwa untuk mendapatkan izin menikah. Terdakwa tak jadi menikahi saksi korban, sehingga saksi korban melaporkan kasus ini.

Di persidangan, dakwaan kesatu Pasal 378 KUHP, yakni unsur tipu muslihat dan rangkaian bohong sehingga menggerakkan orang lain untuk menyerahkan ‘barang’ sesuatu …(dan seterusnya) dinilai terbukti. Dengan tipu muslihat berupa bujuk rayu, janji menghadap komandan kesatuan untuk izin menikahi, telah membuat saksi korban menyerahkan kehormatannya kepada terdakwa. Majelis hakim menganalogikan alat kelamin saksi korban sebagai ‘suatu barang’ karena terdakwa telah menikmati manfaat ‘barang’ tersebut dari saksi korban akibat bujuk rayu. Dalam putusannya, Mahkamah Militer menyatakan terdakwa terbukti melakukan penipuan (dakwaan kesatu) dan memalsukan surat (dakwaan kedua).

Mahkamah Militer Tinggi Surabaya dalam putusan No. 33/MMT-III/X/AD/87 menguatkan putusan sebelumnya. Hakim banding juga sepakat bahwa terdakwa terbukti melakukan penipuan dan pemalsuan surat.

Terdakwa mengajukan kasasi. Salah satu dalil memori kasasi adalah mempersoalkan perluasan makna ‘barang’. Terdakwa menilai tidak tepat langkah hakim memasukkan kegadisan atau alat kelamin perempuan sebagai ‘barang’. Terdakwa mengklaim hubungan badan itu dilakukan atas dasar suka sama suka.

Mahkamah Agung menerima dalil terdakwa. Majelis kasasi menggap judex facti salah menerapkan hukum karena telah memperluas pengertian ‘barang’ termasuk kelamin atau kehormatan perempuan. Menurut majelis, kehormatan perempuan tidak termasuk pengertian ‘barang’ yang dimaksud dalam Pasal 378 KUHP. Jadi, tidak ada ‘barang’ yang diserahkan si saksi korban kepada pelaku. Karena itu, terdakwa dibebaskan dari dakwaan melakukan penipuan.
Tags:

Berita Terkait