Kepemilikan Properti Asing: Jangan Bilang Mengusik Program Sejuta Rumah
Kolom

Kepemilikan Properti Asing: Jangan Bilang Mengusik Program Sejuta Rumah

Di tengah gebyar program sejuta rumah yang digiatkan pemerintah, mencuat lagi ihwal lama kepemilikan properti asing.

Bacaan 2 Menit
Advokat Muhammad Joni. Foto: Facebook
Advokat Muhammad Joni. Foto: Facebook
Akankah mengusik geliat PSR? Akankah PSR  dengan skim  pembiayaan  bunga kredit FLPP 5% per tahun,  bantuan uang muka Rp.4 juta, dan  uang muka bunga KPR (mulai) 1% (sebut saja Pola 5-4-1) terhambat dengan dibuka keran kepemilikan properti asing? 

Kepemilikan properti asing baru  sebatas wacana media, belum ada beleid baru. Pun demikian,  mesti dijernihkan  kualifikasi  properti. Ke-satu,  properti  sebagai  tanah (land) yang menjadi tapak bagi bangunan gedung (building), apakah rumah tapak (landed house) ataupun rumah susun alias apartemen.  Ke-dua, properti sebagai rumah atau bangunan gedung (housing, building) yang dibangun di atas tanah.  Ketiga, properti sebagai prasarana, sarana dan utilitas atau infrastruktur yang berkaitan dan melekat dengan perumahan atau kawasan permukiman.  

Jika properti dimaksudkan sebagai tanah,  sudah  diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Merujuk UUPA,  Hak Pakai  dapat diberikan  bagi orang asing penduduk Indonesia. Bukan Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), dan hak Guna usaha (HGU) yang tertutup bagi WNA. Menurut UUPA Pasal 42 UUPA, Hak Pakai dapat diberikan kepada 4 (empat) kelompok: warga negara Indonesia (WNI), orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Hak Pakai  dibatasi hanya  untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah. Jangka waktu berapa lama? Jangka waktu Hak Pakai tidak diterakan dalam UUPA. Berbeda dengan HGB dan HGU yang diterakan eksplisit.  Hak Pakai hanya  disebutkan:  'jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu' (vide Pasal 41 ayat 1 UUPA). Jadi,  UUPA tidak melarang  mengatur jangka waktu Hak Pakai dibawah Undang-undang. Setakat ini,  jangka waktu Hak Pakai sudah diatur  PP No.40 Tahun 1996, yakni 25 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun (25+20). Lebih singkat dari HGB (30+20), dan HGU (25 atau maksimum 35+25).   Namun,  PP No.40Tahun 1996 memungkinkan pembaharuan Hak Pakai.

Wacara meminta tambahan  jangka waktu Hak Pakai tergantung pada kebijakan hukum (legal policy) dan justifikasi Pemerintah. Bisa motif kebijakan ekstensif pajak atau kemanfataan lain.Andai  menambah jangka waktu Hak Pakai, tidak  adil (fairness)  jika  lebih panjang dari HGB atau HGU.

Bagaimana dengan  gagasan Hak Pakai diberikan seumur hidup? Tidak konsisten dengan UUPA yang memberikan jangka waktu terbuka untuk Hak Pakai, dan jangka waktu tertutup (fixed)  untuk HGB dan HGU. Selain itu, jangka waktu Hak Pakai seumur hidup berasumsi tidak dapat dialihkan (non transferable), kecuali sebab meninggal. Padahal,  Hak Pakai  dapat dialihkan (Pasal 54 PP No.40Tahun 1996) karena  jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan pewarisan. Namun peralihan Hak Pakai atas tanah Negara dilakukan dengan izin pejabat berwenang (Pasal 54 ayat 7). Bahkan merujuk Pasal 43 ayat 1 UUPA, Hak Pakai dapat dialihkan sepanjang mengenai tanah yang dikuasai negara, dengan izin pejabat berwenang. 

Jadi,  Hak Pakai  bersifat transferable sehingga  menarik minat  orang asing penduduk Indonesia membeli properti di atas tanah Hak Pakai. Merujuk PP No.41 Tahun 1996,  di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah Negara, atau berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak tanah,  orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian. Menindaklanjuti itu,  diterbitkan  Surat Edaran Menteri Agraria/Kepala BPN No. 110-2871, Perihal Pelaksanaan PP No.41 Tahun 1996,  tanggal 8 Oktober 1996. Bukan ihwal yang baru  sama sekali.

Tak hanya transferable, Hak Pakai juga  dapat dijaminkan atau bankable.   Pasal 53 PP No. 40Tahun 1996 menegaskan Hak Pakai dapai dibebankan Hak Tanggungan.  Kelop dengan  UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Hak Pakai atas tanah negara yang wajib didaftarkan dan dapat dipindahtangankan, adalah objek Hak Tanggungan (Pasal 4 ayat 2). Dalam UU Rumah Susun, unit satuan rumah susun (sarusun) dapat dijaminkan dengan hak tanggungan, sehingga orang asing penduduk Indonesia, dengan asas pemisahan horizontal kua normatif tidak ada halangan membeli unit sarusun yakni atas bangunan sarusun.

Dari uraian hukum di atas maka Hak Pakai bagi orang asing penduduk Indonesia, tidak ada halangan dalam UU PA, dan sudah ada aturan yang pasti dalam PP No. 40Tahun 1996 dan PP No. 41Tahun 1996. 

Dari berbagai  syarat dan pembatasan mengenai Hak Pakai atas tanah yang diberikan kepada orang asing penduduk Indonesia, maka kepemilikan propeti asing tidak menggangu PSR. Mengapa? 

Pertama, menurut PP No. 40Tahun 1996, pemilikan properti asing hanya untuk orang asing berkedudukan di Indonesia. Hal ini berarti pemilik properti berdomisili di Indonesia yang memiliki ijin tinggal menetap, ijin tinggal sementara,  atau ijin berkunjung ke Indonesia. Tidak bisa  orang asing yang  tidak berkedudukan atau tidak menetap di Indonesia.  

Kedua,  tidak boleh untuk tipe rumah atau satuan rumah susun tipe sederhana atau  rumah sangat sederhana, karena  hanya  bagi MBR, adanya  subsidi pemerintah, bahkan bebas PPN.

Ketiga, Hak Pakai orang asing penduduk Indonesia untuk rumah atau hunian dibatasi hanya memiliki 1 (satu) unit rumah atau hunian saja  (Pasal 1 ayat 1 PP No. 41Tahun 1996).

Keempat, Hak Pakai atas tanah bagi  orang asing penduduk Indonesia wajib dilakukan pendaftaran tanah termasuk peralihannya sehingga terkendali karena  terdaftar dalam Buku Tanah dan tidak bisa dilakukan peralihan bawah tangan.

Kelima, adanya kewajiban melepaskan atau peralihan Hak Pakai apabila  orang asing penduduk Indonesia  pemegang Hak Pakai tidak lagi bertempat tinggal di Indonesia (Pasal 6 PP No. 41 Tahun 1996).

Keenam, untuk  bangunan rumah susun atau apartemen dengan strata title, hanya berhak atas bangunan saja, sesuai asas  pemisahan horizontal yang memisahkan  hak atas tanah dengan hak atas bangunan gedung yang melekat diatas tanah Hak Pakai atas tanah negara.   Bangunan gedung dari rumah susun atau apartemen itu  dalam UU Rumah Susun  disebut satuan rumah susun (sarusun) wajib didaftarkan dan dapat diterbitkan Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG) sarusun. UU Rumah Susun membedakan antara  SKBG sarusun dengan  Sertifikat Hak Milik (SHM) sarusun, berdasarkan hak atas tanah yang dijadikan tapak bangunan apartemen atau rumah susun. Jadi tidak terkait hak atas tanah namun hak atas bangunan gedung semata.

Ketujuh, UUPA sebagai 'karya agung' bangsa Indonesia secara psiko-politik dianggap 'sakral', dengan barisan pendukung yang loyal dan bahkan hari lahirnya  UUPA dirayakan  rutin secara nasional dan heroik.
Selain itu,  letupan wacana kepemilikan properti asing tidak bebas begitu saja namun terkait dengan alasan praktis kemanfataan sebagaimana muncul dalam berbagai pernyataan  pejabat pemerintah setingkat Menteri. Berkembang wacana  adanya pembatasan  harga properti yang dapat dibeli oleh orang asing penduduk Indonesia untuk properti dengan harga lebih dari Rp  10 Miliar, dengan tarif  PPnBM yang lebih tinggi dari pembeli domestik, dibatasi zonasi tertentu misalnya  kota-kota besar dan tujuan wisata.

Berbagai wacana dan rencana belied itu sama sekali tidak menyentuh norma UUPA, dan tidak dalam konteks hendak mengubah UUPA. Paling maksimal hanya  berkenaan jangka waktu Hak Pakai, namun ketentuan jangka waktu Hak Pakai dibuka dan  tidak  diatur UUPA, akan tetapi dalam  PP No. 40Tahun 1996. Sehingga, andai pun hendak ditambahkan jangka waktu Hak Pakai tentu harus dibangun justifikasi yang  tidak vis a vis  dengan spirit UUPA.

Sebab itu, properti asing justru patut jika dipatok dengan harga lebih mahal, karena harga properti yang dibeli oleh orang asing penduduk Indonesia harus berbeda dengan  pembeli domestik. Lagi pula harga properti kelas mewah sekalipun, di area bisnis atau destinasi wisata, lebih murah di Indonesia dibanding negara tetangga  Malaysia yang sudah lebih awal mengiatkan program “Malaysia My Second Home Program” atau negara kota Singapore yang justru  lebih banyak dihuni warga asing dengan harga properti bisa 5 kali lipat dari harga properti sekelas di Indonesia.

* Penulis adalah advokat dan konsultan hukum properti.
Tags:

Berita Terkait