Irah-Irah, Kepala Putusan yang Bermakna Sumpah
Mengenang Bismar:

Irah-Irah, Kepala Putusan yang Bermakna Sumpah

Jangan anggap remeh makna irah-irah putusan. Di mata Bismar Siregar, irah-irah adalah roh putusan.

Oleh:
MYS/ALI
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Bismar Siregar tercatat sebagai hakim Pengadilan Negeri Pangkal Pinang ketika Presiden Soekarno berpidato di depan peserta Kongres Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), 26 November 1961. Ketua Mahkamah Agung Mr. Wirjono Prodjodikoro yang meminta Presiden membuka kongres perdana di Yogyakarta itu. Tidak diketahui pasti apakah Bismar Siregar hadir dalam acara ini.

Dalam pidatonya, Bung Karno mengajak kalangan hukum untuk ikut serta dalam revolusi. Presiden yakin para jurist Indonesia bukan saja ikut serta di dalamnya tetapi juga menghidupkan revolusi itu supaya lekas mencapai tujuannya. Revolusi memang tak bisa diprediksi, kata Presiden seraya mengutip Vladimir Lenin. Presiden menegaskan Manipol-Usdek sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Pidato Presiden Soekarno pada acara Kongres Persahi itu bisa dibaca dalam majalah klasik Hukum dan Masyarakat edisi Nomor I Tahun 1962. Dan substansi pidato Presiden mengenai revolusi dan Manipol-Usdek itu akhirnya memberi warna pada Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang terbit tiga tahun setelah pidato Presiden, dikenal sebagai UU No. 19 Tahun 1964. Undang-Undang ini tegas menyebut bahwa hakim adalah ‘alat revolusi’, yang bertanggung jawab kepada ‘negara dan revolusi’.

Peradilan, menurut Undang-Undang ini, dilakukan Demi Keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa’, tetapi keadilan yang tercipta bukan keadilan subjektif. Hakim harus memberikan keadilan yang seobjektif-objektifnya dalam rangka Pancasila dan Manipol.

****
Bismar Siregar adalah salah seorang hakim yang tampil mengkritik rumusan UU No. 19 Tahun 1964. Selama puluhan tahun mengabdi di dunia pengadilan dan kampus, dan menghasilkan banyak karya tulis, Bismar berkali-kali ‘mengecam’ hakikat ‘Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa’ jika dihubungkan dengan tanggung jawab kepada negara dan revolusi. Apalagi kalau revolusinya itu berbau gerakan anti-Tuhan. Bagaimana mungkin peradilan dilakukan Demi Tuhan, tetapi tanggung jawabnya justru pada negara dan revolusi. Ia menganggap rumusan seperti itu bentuk kemunafikan.

“Di sini nampak sekali kelicikan para kekuatan anti-Tuhan dalam menyusun strategi perjuangannya. Dalam hal ini sengaja dibiarkan peradilan diberi konsesi atas nama Tuhan yang Maha Esa, tetapi pertanggungjawabannya terhadap negara dan revolusi,” tulis Bismar sebagaimana terekam dalam buku Arah Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional.

“Apakah arti atas nama Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap hakim memutuskan perkara, namun pertanggungjawabannya sang hakim bukan kepada Tuhan Yang Maha Esa,” lanjut Bismar, dalam buku yang disunting Artidjo Alkostar dan M. Sholeh Amin itu.

Catatan bernada kritik terhadap konsep dan implementasi ‘Atas Nama Tuhan Yang Maha Esa’ berkali-kali disinggung Bismar dalam tulisan-tulisannya. Kalau dibaca secara menyeluruh, Bismar sedang mengajak para pembacanya memikirkan hakikat kalimat yang kemudian dikenal sebagai irah-irah putusan itu.

Ya, itulah irah-irah atau kepala putusan yang selalu dimuat pada bagian awal suatu putusan. Jika irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ tak dicantumkan, akibatnya putusan batal demi hukum. Itu kata Pasal 197 ayat (2) KUHAP.

Rumusan irah-irah itu, kata Bismar, adalah suatu rumusan sumpah. Begitulah pandangan yang disampaikan Bismar dalam salah satu ceramahnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. “Kalau demikian, apakah kalimat ‘Demi Keadilan’ itu juga kalimat sumpah? Menurut hemat saya, benar! Sumpah para hakim bahwa keadilan yang diucapkan mengatasnamakan Tuhan kecuali menjadikan ia wakil Tuhan, juga sekaligus ia bertindak dan berbuat dan bersumpah atas nama Tuhan”.

Kalimat irah-irah itu juga disebut Bismar sebagai doa seorang hakim. “Ya Tuhan, atas nama-Mu-lah saya ucapkan putusan ini”. Jika benar demikian, hakim jauh dari berbuat kekeliruan dalam memberi putusan, sengaja atau tidak, apalagi yang sangat meresahkan masyarakat.

Irah-irah itu pula, tulis Bismar, yang membedakan peradilan di Indonesia dengan peradilan negara lain. Di Indonesia wajib hukumnya menyelenggarakan peradilan dengan membawa nama Tuhan. Di negara lain mungkin sebaliknya.

Dalam sejarah peradilan di Indonesia, kalimat irah-irah itu mengalami berkembang. Buku Hukum Acara Pidana, karya Bismar yang diterbitkan Binacipta Bandung (1983), mencatat pengadilan pernah menggunakan kepala putusan ‘Atas Nama Ratu/Raja’, ‘Atas Nama Negara’, ‘Atas Nama Keadilan’, dan terakhir ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.

Dalam disertasinya (Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangan di Indonesia Sejak 1942) di Universitas Gadjahmada Yogyakarta, Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa Negara Republik Indonesia pernah menggunakan irah-irah ‘Atas Nama Keadilan’ yang dalam bahasa Belanda ditulis ‘In naam der Gerechtigheid’. Semula, merujuk pada putusan peradilan Belanda yang dipakai adalah ‘In naam der Koningin’, atas nama Kerajaan.

Kata ‘demi’ dalam irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tulis Sudikno, berarti ‘untuk kepentingan’. Ia berpendapat frasa ‘untuk kepentingan’ lebih tepat daripada ‘atas nama’, karena tujuan peradilan adalah untuk mencapai keadilan. Sehingga peradilan itu sendiri tidak dilaksanakan ‘atas nama keadilan’, seakan-akan keadilan mewakilkan atau menguasakan salah satu badan untuk melaksanakan peradilan.

Bagi Bismar, kalimat yang dipakai dalam irah-irah menunjukkan kepada siapa putusan pertama-tama dipertanggungjawabkan. Jika ‘Atas Nama Keadilan’ mengandung arti kepada keadilanlah putusan dipertanggungjawabkan. Dan jJika ‘Atas Nama Tuhan’, maka kepada Tuhan-lah pertanggungjawaban hakim pertama-tama ditujukan. ‘Atas nama’, begitu Bismar menulis, membawa kewajiban dan tanggung jawab yang besar sekali. Apalagi kalau nama Tuhan yang dibawa, maka tanggung jawab moralnya sangat besar.

Bismar telah hidup dalam fase beberapa Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, sehingga ia juga pernah memutus berdasarkan irah-irah ‘Atas Nama Keadilan’. Tengok saja putusan No. 10/1961 PTPE tertanggal 10 Mei 1961, saat Bismar menjadi hakim di Pengadilan Negeri Pangkalpinang. Putusan ini tentang perkara ekonomi yang menghadirkan tiga orang terdakwa penyelundupan (mengeluarkan barang-barang dari daerah pabean Indonesia dengan melanggar Rechten Ordonantie dan lampirannya).

Bagi Bismar, irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa’ yang dipakai UU No. 14 Tahun 1970 –pengganti UU No. 19 Tahun 1964—adalah rumusan bijaksana. Bukankah sudah menjadi kewajiban hakim untuk memutuskan perkara secara bijaksana?  Tugas penegakan hukum dan keadilan yang dijalankan seorang hakim adalah atas nama Tuhan. Kemalsjah Siregar, putra Bismar Siregar, menyebut bapaknya menggunakan irah-irah dalam putusan berarti membuat putusan itu dengan hati yang bersih. “Dengan perasaan yang tenang,” ujarnya kepada hukumonline.

Maka ketika ada hakim yang memperjualbelikan perkara, berarti si hakim tak memahakmi sungguh-sungguh makna dan hakikat irah-irah putusan ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Kondisi semacam itu pula yang pernah merisaukan Bismar ketika sudah pensiun sebagai hakim.
“Irah-irah putusan yang demikian luhur dan sakral bukan menuju kesempurnaan pelaksanaan, bahkan sebaliknya, semakin membudaya orang memperjualbelikan putusan. Sehingga ungkapan yang sangat ironis menyakitkan hati antara lain: HAKIM disebut Hubungi Aku Kalau Ingin Menang”, tulis Bismar seperti dikutip dalam Surat-Surat kepada Pemimpin.

Dalam tausiahnya di hadapan civitas akademika Fakultas Hukum USU di Medan, Bismar berpesan sekaligus memanjatkan do’a kepada para hakim Indonesia. “Kepada para hakim yang kedudukannya sebagai wakil Tuhan, semoga semakin sadar tentang tanggung jawabnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berat tugasnya, namun luhur dan agung kedudukannya. Insya Allah, kita selalu mendapat berkah dan ridha-Nya”.

Do’a yang layak diaminkan oleh para hakim yang mengatasnamakan Tuhan dalam setiap putusannya.
Tags:

Berita Terkait