Hakim Kontroversi di Ruang Kuliah Sang Profesor
Mengenang Bismar:

Hakim Kontroversi di Ruang Kuliah Sang Profesor

Satjipto Rahardjo memasukkan Bismar Siregar ke dalam kategori hakim bernurani kuat. Sifat progresivitas putusan-putusannya diapresiasi.

Oleh:
MYS/RZK/HAG
Bacaan 2 Menit
Prof Satjipto Rahardjo dan Bismar Siregar. Foto: RES
Prof Satjipto Rahardjo dan Bismar Siregar. Foto: RES
Nama Profesor Satjipto Rahardjo adalah titik simpul yang mempertemukan Antonius Sudirman dengan Bismar Siregar. Sewaktu kuliah pascasarjana ilmu hukum di Universitas Diponegoro Semarang, Antonius Sudirman sering mendengar nama Bismar Siregar keluar dari mulut Prof. Satjipto saat kuliah. Dari situlah akhirnya pria kelahiran 1963 itu menulis tesis tentang Bismar dan putusan-putusannya menggunakan pendekatan behavioral jurisprudence.

Cerita itu beberapa kali muncul saat kuliah Hukum dan Perubahan Sosial, Sosiologi Hukum, atau Aspek-Aspek Perubahan Hukum. “Beliau sering menceritakan tentang Pak Bismar,” kenang Antonius saat ditemui hukumonline di Makassar beberapa waktu lalu. 

Semasa hidupnya Satjipto Rahardjo bukan hanya lisan menyebut nama Bismar di ruang kuliah. Tetapi juga menuliskan nama itu dalam beberapa karyanya. Ia memberikan tempat terhormat untuk nama Bismar dalam ceramah atau kuliah-kuliahnya. Bahkan kini masih diikuti murid-muridnya. Putusan Bismar tentang ‘barang’ dianggap sebagai salah satu karakter hakim yang berhukum secara progresif, karakter hukum yang diusung kaum Tjipian – sebutan untuk pengikut pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo.

Dalam hukum progresif yang diusung Satjipto Rahardjo dan dikembangkan murid-muridnya kemudian, hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Spiritnya hukum progresif adalah pembebasan terhadap kultur penegakan hukum yang dirasa tidak memberikan keadilan substantif. Seorang hakim, misalnya, harus berani memutuskan keluar dari kekakuan hukum untuk mencapai keadilan. Dalam konteks inilah Satjipto berkali-kali menyebut hakim Bismar, terutama dalam putusan kasus ‘barang’ di Medan, sebagai contoh.

“Kasus Bismar ini hampir selalu diceritakan oleh Satjipto saban kuliahnya maupun ceramahnya di ruang-ruang diskusi,” tulis Awaluddin Marwan, murid sekaligus penulis biografi intelektual Satjipto Rahardjo.

Beberapa murid Pak Tjip–sebutan untuk Prof. Satjipto- lain di Pascasarjana Undip Semarang juga membawa nama Bismar itu ke forum-forum diskusi terbuka. Aloysius Wisnubroto, misalnya, menyebut Bismar sebagai contoh hakim berciri hukum progresif. “Sikap, tindakan, dan pemikiran orang-orang seperti Bismar dalam menerobos kebuntuan sistem hukum dalam mewujudkan keadilan memperlihatkan potret penegakan hukum progresif,” kata Wisnu saat membuka Sekolah Hukum Progresif Unika Atmajaya Yogyakarta, 18 November 2014.

“Pak Tjip sering sekali mengapresiasi putusan-putusan Pak Bismar,” kata Sidharta, pengajar Universitas Bina Nusantara. Sidharta termasuk akademisi yang rajin mengikuti perkembangan pemikiran hukum progresif yang dikembangkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo.

Meskipun ia seorang guru besar yang sudah punya nama, Pak Tjip sendiri tak malu mengakui kekagumannya pada putusan-putusan Bismar. “Saya sendiri sudah lama tertarik kepada putusan-putusan Pak Bismar, yang di kalangan para hakim disebut sebagai hakim yang kontroversial,” tulis Pak Tjip saat memberikan testimoni dalam rangka peringatan 80 tahun Bismar Siregar.

Lantaran nama Bismar sering disebut di ruang kuliah, Antonius Sudirman, seorang mahasiwa Prof. Tjip tertarik untuk melakukan kajian lebih lanjut. Pak Tjip memberikan kunci penting untuk memotivasi mahasiswanya. “Hakim Bismar adalah contoh dari sedikit hakim kita yang berwatak”. Hasil karya Anton itulah yang kini menjadi buku Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence): Kasus Hakim Bismar Siregar.

Bukan satu-satunya
Bismar memang bukan satu-satunya nama hakim yang sering disebut Pak Tjip. Ia juga menyebut nama lain seperti Benyamin Mangkoedilaga, Asikin Kusuma Atmadja, dan Adi Andojo Soetjipto. Nama-nama ini adalah tipikal hakim yang berani menjalankan profesinya. Di lingkungan kepolisian ada nama Jenderal Hoegeng, dan di korps adhyaksa ada nama Baharuddin Lopa.

Hal yang membedakan Bismar, Lopa, dan Hoegeng dengan yang lain, tulis Pak Tjip dalam artikelnya di Kompas 4 Agustus 2004, adalah predisposisi sikap batin masing-masing. “Lopa, Bismar, dan Hoegeng selalu merujuk kepada hati nurani dan itulah yang menyebabkan timbulnya keberanian”.

Hakim Bismar, demikian Pak Tjip, mendahulukan putusan hati nurani, dan menomorduakan hukum (tertulis). Pak Tjip sering mengutip kata-kata Bismar Siregar: keadilan di atas peraturan. “Mantan Hakim Agung Bismar Siregar mewakili hakim dengan penafsiran yang dilatarbelakangi oleh komitmen itu (membuat penafsiran—red),” puji Pak Tjip dalam artikelnya Rule of Law: Mesin atau Kreativitas di Kompas 3 Mei 1995.

Keberanian Bismar Siregar untuk menafsir peraturan berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan telah membuat Pak Tjip ‘kagum’. Bukan penafsiran biasa lagi, melainkan sudah penafsiran yang dijiwai oleh suatu pilihan komitmen atau ideologi tertentu. Hakim yang berani melakukan penafsiran untuk menemukan hukum sebagaimana layaknya tugas seorang hakim. Putusan tentang ‘barang’, misalnya, sering dianggap orang sebagai suatu penemuan hukum oleh hakim –meskipun akhirnya putusan itu dibatalkan di tingkat Mahkamah Agung.

Dari sana, Prof. Satjipto membuat dua golongan hakim. Golongan pertama adalah hakim yang apabila memutus terlebih dahulu ‘berkonsultasi dengan kepentingan perutnya dan mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap putusan ‘perutnya’ itu. Hakim tipe ini tidak terpuji karena niatnya untuk memperkaya diri.

Golongan kedua adalah hakim yang jika memeriksa perkara terlebih dahulu menanyakan hati nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya, lalu mencari pasal-pasal dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut. Oleh Prof. Tjip, Bismar dimasukkan ke dalam golongan hakim kedua kedua ini.

Tentang penemuan hukum itu, pertautan Bismar dan Prof. Satjipto Rahardjo bisa juga dilacak puluhan tahun silam. Ketika Bismar memberikan kuliah umum di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Diponegoro, 10 Agustus 1977. Bismar secara khusus mengungkapkan pandangan-pandangannya tentang penemuan hukum oleh hakim. Tanpa malu-malu di depan civitas akademika Undip, Bismar mengungkapkan perhatiannya pada tulisan-tulisan Pak Tjip.

Prof. Satjipto, kata Bismar, cukup memberikan uraian ilmiah yang berbobot dan selalu menjadi perhatian. “Karena mengandung penilaian tidak saja dari segi yuridis, juga sosiologis dan pragmatis dan realistis”. Bismar bahkan berusaha merendah. “Kealiman kami rasanya tidak dapat diperbandingkan dengan kedalaman dan keluasan ilmu beliau”.

“Saya juga bersyukur sekali bahwa di Indonesia ada seorang hakim seperti Pak Bismar Siregar, sehingga kuliah-kuliah saya tidak kering dan abstrak. Kalau saya menjelaskan sosiologi pengadilan dan sosiologi hakim, maka saya tinggal mengambil Pak Bismar sebagai contoh yang sangat konkrit,” tulis Pak Tjip dalam buku refleksi 80 tahun perjalanan hidup Bismar Siregar.

Begitulah Pak Bismar dan Pak Tjip saling menunjukkan rasa kagum. Dalam perjalanan keilmuan Pak Tjip lahirlah gagasan hukum progresif, gagasan yang terus dikembangkan murid-muridnya. Adakah nama Bismar berada di tengah perkembangan gagasan hukum progresif itu? Sematan ‘progresif’ justru langsung muncul dari mantan Ketua Mahkamah Agung, Harifin A. Tumpa.

Harifin menyebut Bismar sebagai hakim progresif. “Beliau banyak menyumbang ide-ide untuk pembaruan peradilan,” kata mantan Ketua Mahkamah Agung itu di hari meninggalnya Bismar.

Dan pada 19 April 2012, si hakim progresif, kontroversial, dan berhati nurani itu meninggalkan alam fana. Ia menyusul koleganya, sang profesor, yang telah lebih dahulu wafat Januari 2010. Ilmu dan gagasan yang telah disampaikan Prof. Satjipto Rahardjo dan putusan-putusan Bismar mungkin akan terus bergema di ruang-ruang kuliah.
Tags:

Berita Terkait