Bismar, Sosok Hakim Pelukis
Mengenang Bismar:

Bismar, Sosok Hakim Pelukis

Seni itu yang membentuk seorang hakim dalam membuat putusan.

Oleh:
ALI/HAG/RIA/RFQ/ASH
Bacaan 2 Menit
Sejumlah koleksi lukisan Bismar Siregar di rumahnya. Foto: RES
Sejumlah koleksi lukisan Bismar Siregar di rumahnya. Foto: RES
Sanggar lukisan itu masih kokoh berdiri. Letaknya, tepat di belakang rumah. Dikelilingi oleh hamparan tanaman dan reremputan. Di sebelahnya ada kandang ayam yang tertata rapi. Dahulu, sanggar ini “berteman” akrab dengan sesosok pria. Dia menghabiskan waktu senja-nya sambil melukis di sanggar.

Pria itu bukan orang sembarangan. Dia adalah sosok begawan hukum Indonesia, Bismar Siregar. Seorang mantan hakim agung yang hobi melukis. Di pondok lukisan itu, ia menghabiskan banyak waktu senggang selepas pensiun dari hakim agung. Di tempat itu pula ia bersiap menepati janjinya dengan Sang Khalik.

“Amang (ayah,-red) jatuh pingsan ketika melukis di pondok ini,” kenang salah seorang putra Bismar, Kemalsjah Siregar ketika ditemui hukumonline di sanggar lukisan Bismar, di bilangan Jakarta Selatan, akhir Juni lalu.

Kemal mengaku sudah tidak tahu persis kapan ayahnya mulai melukis. “Seingat saya aja nih, itu dari saya kelas 1 SD, tahun 1966. Itu yang saya tahu ya. Tapi, kalau yang saya dengar dari om-om Saya yang lain, ya mungkin dari masih di Bangka ketika jadi hakim tahun 1961,” ceritanya.

Hobi melukis Bismar tak mengenal tempat. Sebelum memiliki sanggar lukisan sendiri, Bismar kerap memanfaatkan ruang kosong di rumahnya untuk menyalurkan jiwa seninya. “Di garasi almarhum ngelukis aja gitu. Orang nggak tahu yang lagi ngelukis itu Ketua Pengadilan Negeri,” ujar Kemal.

Dari kegiatannya melukis di kala senggang, Bismar telah menghasilkan banyak lukisan. “Sampai sekarang ada lebih dari 600 lukisan,” ujar Irwansyah Siregar, putra Bismar yang kerap menjadi event organizer pameran-pameran lukisan ayahnya.

Walau berprofesi utama sebagai hakim, Bismar tak bisa disebut sebagai ‘pelukis karbitan’. Karya Bismar seringkali ditawar dengan harga tinggi, bahkan konon mencapai puluhan miliar. Namun, tawaran menggiurkan itu ditolak. Bismar membuat “batas harga”, agar lukisannya dihargai secara wajar atau tidak terlalu mahal.

Tak hanya dipamerkan dan dijual, lukisan-lukisan Bismar pun kerap menjadi buah tangan untuk para tetangga dan kolega. Biasanya, Bismar memanfaatkan momen pengajian dan tarawih bersama dengan warga sekitar rumahnya pada bulan Ramadhan untuk ‘berbagi’ lukisan.

Di Ramadhan terakhirnya, pada 2011, Bismar bahkan sempat ‘mengabsen’ tetangga yang belum mempunyai lukisannya. “Mantan Ketua RT di sini bilang bahwa pada tarawih 2011, almarhum Pak Bismar itu bawa buku dan lukisan. Dia bilang, siapa yang belum dapat saya mau bagi-bagi mana tahu tahun depan sudah tidak ketemu,” tutur Kemalsjah.

Selain para tetangga, Bismar kerap memberikan lukisan-lukisannya ke para tokoh bangsa. Dari para petinggi di Mahkamah Agung (MA) hingga mantan Presiden Soeharto disebut menyimpan lukisan-lukisan hakim yang dikenal kontroversial dengan putusan yang menafsirkan makna ‘barang’ ini.

Hakim agung HM Zaharuddin Utama termasuk yang mendapatkan karya lukisan Bismar. Saking bangganya, ia masih memajang karya lukisan itu di ruang kerjanya. Zaharuddin yang pernah menjadi asisten Bismar bukan hanya sekali dihadiahi lukisan oleh Bismar. Ketika Zaharuddin mengawinkan anaknya, Bismar kembali memberi hadiah lukisan ikatan kembang dengan tulisan “Sapuan Kuas Bismar Siregar”. Menurut penuturan Zaharuddin dalam buku “Kata Hatiku, Tentangmu Bismar Siregar”, lukisan itu masih dipajang di ruangannya, 204.

Lukisan Bismar tak hanya ada di kalangan hukum. Tokoh sekaliber Siswono Yudohusodo juga masih menyimpan lukisan karya Bismar. Ia menyebut hadiah lukisan itu sebagai kejutan, diberikan setelah mereka beberapa kali bertemu di Universitas Pancasila. Di kampus ini, Siswono menjadi pimpinan yayasan, sedangkan Bismar sebagai pengajar.

Dalam buku “Kata Hatiku, Tentangmu Bismar Siregar”, jajaran dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila bahkan mencoba ‘membaca’ sosok Bismar dari lukisan-lukisannya. Pertama, dari sisi teknis, yakni goresan warnanya yang terlihat keras atau kasar yang menggambarkan keteguhan Bismar dalam bersikap, berpikir dan bertindak.

Kedua, dari sisi tema, yakni objek-objek pemandangan yang menjadi mayoritas tema lukisan Bismar. Dari sisi ini, Bismar dicerminkan juga memiliki perasaaan halus, lembut, suka akan ketenangan, kedamaian sekaligus mencerminkan sikap penundukan dirinya dihadapan kebesaran Allah SWT, Sang Pencipta Alam.

Banyak lawan bicaranya menyebut Bismar sosok yang berbicara sangat halus, baik kepada wartawan maupun dalam forum-forum diskusi. Lebih dari penilaian sosok Bismar sebagai hakim pelukis, hakim dan dunia seni memang seharusnya tak bisa dipisahkan. Saat membuat putusan, dibutuhkan jiwa seni sang pengadil agar putusan itu benar-benar keluar dari hati nurani. Liliek Mulyadi, seorang hakim yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara, percaya seni seperti dilakoni Bismar bisa berkaitan erat dengan putusan.

Liliek menilai putusan yang dikeluarkan dengan seni tak hanya menyejukkan bagi yang membacanya, tetapi juga disusun dari hati nurani. “Seni itulah yang membentuk seorang hakim,” kata Liliek dalam wawancara dengan hukumonline, Maret lalu. 

Bismar telah mewariskan ratusan lukisan ekspresionis kepada generasi penerusnya. ‘Bismar melukis karena merindukan alam,” begitulah tersebut dalam Dari Bismar untuk Bismar, sebuah buku karya Bismar yang diterbitkan 2002 silam.
Tags:

Berita Terkait