Kedua Kalinya ‘Ketertutupan’ Sidang HUM di MA Digugat
Berita

Kedua Kalinya ‘Ketertutupan’ Sidang HUM di MA Digugat

Perkara HUM memiliki karakteristik berbeda dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang semestinya hukum acaranya dibedakan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Sidang-sidang permohonan Hak Uji Materi (HUM) di Mahkamah Agung normatifnya disebut terbuka. Tetapi dalam praktek tidak seterbuka sidang di Mahkamah Konstitusi, dimana para pihak beradu argumentasi, bisa mengajukan ahli, dan hakim bisa mengajukan pertanyaan. Karena itu sidang HUM dianggap ‘tertutup’ prosesnya.

Nah, proses persidangan HUM yang bersifat ‘tertutup’ itu sudah pernah digugat, dan kini kembali dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) lewat pengujian Undang-Undang (PUU). Kalau pemohon sebelumnya menguji melalui Pasal 31A ayat (4) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA). Kini, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) mensasar Pasal 40 ayat (2) UU MA.

“Kami minta MK memutus Pasal 40 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA secara konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dengan membuat penafsiran pasal tersebut dimaknai khusus untuk persidangan judicial review (memeriksa, mengadili dan memutus) harus digelar secara terbuka untuk umum,” ujar Ketua FKHK, Victor Santoso Tandiasa usai mendaftarkan pengujian UU MA ini di Gedung MK, Senin (13/7) kemarin.

Selengkapnya, Pasal 40 ayat (2) UU MA menyebutkan “Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam penjelasannya disebutkan “Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini batal menurut hukum.”

Victor mengakui tidak semua persidangan yang tidak memenuhi prinsip terbuka untuk umum batal demi hukum. Memang, ada beberapa perkara yang dikecualikan oleh UU untuk digelar secara tertutup, seperti perkara perceraian atau pidana anak. Namun, putusannya wajib untuk diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum agar sah dan memiliki kekuatan hukum.

Dalam perspektif MA prinsip sidang terbuka untuk umum dalam persidangan tidak berlaku. Sebab, MA sebagai judex jurist hanya memeriksa penerapan hukumnya saja, tidak menggelar sidang terbuka layaknya pengadilan tingkat pertama. Namun, putusan MA juga wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Apabila tidak terpenuhi, putusannya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

“Persoalannya, tidak ada kewajiban MA mengumumkan jadwal sidang putusan yang berakibat masyarakat tidak tahu jadwal pengucapan putusan dan putusan tidak dihadiri para pihak berkepentingan. Seperti saat mengajukan HUM Perpres No. 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presidenan. Kita tidak tahu jadwal pengucapan putusan. Kita tahu putusannya tidak diterima dari media,” ungkapnya.

“Sesuai putusan MK No. 78/PUU-X/2012, hal ini tetap dianggap konstitusional karena ada perbedaan karakteristik hukum acara pada pengadilan tingkat pertama dan MA dan hak informasi para pihak berkepentingan tetap terpenuhi karena salinan putusan tetap diberikan.”

Meski begitu, dia menilai perkara HUM memiliki karakteristik berbeda dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang semestinya hukum acaranya dibedakan khususnya menyangkut sifat terbuka dan tertutup sidang HUM. “Dasar pertimbangan kami perkara judicial review memiliki karakter yang berbeda dengan perkara-perkara lain yang juga menjadi kewenangan MA”.

Menurutnya, peran MA seharusnya dikecualikan dalam prosesjudicial review karena sifat peraturan perundang-undangan (di bawah UU) berlaku umum untuk seluruh warga negara dan putusannya bersifat erga omnes. “Sudah seharusnya proses pemeriksaan sidang HUM terbuka untuk umum demi menjamin hak konstitusional warga negara yang dirugikan oleh peraturan perundang-undangan dibawah UU,” harapnya. 

Sebelumnya, sejumlahburuh yakni Muhammad Hafidz, Wahidin, dan Solihin juga mempersoalkan sifat tertutupnya HUM di MA. Bedanya, Muhammad Hafidz dkk mempersoalkan Pasal 31A ayat (4) huruf h UU MA terkait aturan jangka waktu (14 hari) proses pemeriksaan permohonan HUM yang faktanya terkesan bersifat tertutup untuk umum.

Mereka menilai, tertutupnya proses pemeriksaan uji materi peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang ini mengikis atau mengurangi akuntabilitas hakim agung yang memeriksa dan mengadili permohonan ini. Karenanya, mereka meminta  proses pemeriksaan dan pembacaan putusan uji materi dilakuan secara terbuka untuk umum mengingat peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian berdampak pada masyarakat luas (erga omnes). Permohonan ini tinggal menunggu keputusan MK.

Dukungan atas keterbukaan sidang HUM juga datang dari pemerintah. Jadi, adakah peluang sidang-sidang HUM ke depan seperti layaknya sidang di Mahkamah Konstitusi?
Tags:

Berita Terkait