Yang Angkat Bicara tentang Rechterlijke Pardon
Mengenang Bismar:

Yang Angkat Bicara tentang Rechterlijke Pardon

Semasa menjabat sebagai hakim, Bismar Siregar sering dilibatkan dalam kegiatan pembaruan hukum pidana dan perdata di BPHN. Pandangan hukumnya sangat agamis.

Oleh:
MYS/KAR
Bacaan 2 Menit
KUHP dan KUHAP. Foto: RES
KUHP dan KUHAP. Foto: RES
Profesor Mardjono Reksodiputro, Ketua Tim Penyusun RUU KUHP 1987-1992, masih ingat peristiwa puluhan tahun lalu itu. Di kantor Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sedang berlangsung pembahasan RUU KUHP. Sejumlah pakar dan tokoh hukum hadir, antara lain Kepala BPHN, Dirjen Perundang-Undangan Kementerian Kehakiman Bagir Manan, pakar hukum hukum pidana/kriminologi Profesor J.E Sahetapy, dan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang Satjipto Rahardjo. Satjipto duduk di sebelah kanan Mardjono.

Ada juga perwakilan lembaga penegak hukum, termasuk Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, Bismar Siregar. Setelah Kepala BPHN dan tim penyusun RUU KUHP angkat bicara, para peserta dipersilakan memberikan pandangan. “Saya ingat Pak Bismar buka suara,” kenang Profesor Mardjono saat menceritakan peristiwa itu kepada hukumonline, 14 Juli lalu.

Rupanya, tak semua tokoh hukum yang hadir di rapat itu mengenal secara dekat Bismar. Satjipto Rahardjo bertanya kepada Mardjono tentang siapa pria yang ‘nyerocos’ tentang hukum pidana itu. Pria yang bersuara lantang itu adalah Bismar Siregar, nama yang sudah sering diperbincangkan di kampus UI Salemba, kampus tempat Mardjono mengajar.

Itu hanya sepenggal kisah keterlibatan Bismar Siregar dalam pembaruan hukum di Indonesia. Namanya pernah tercatat sebagai anggota Tim Pengkajian Hukum Acara Pidana dan Perdata yang dibentuk BPHN. Dalam forum-forum yang digelar Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN), Bismar juga mengangkat isu-isu hukum, khususnya hukum acara pidana dan pemberian bantuan hukum.

Buku Hukum Acara Pidana karya Bismar adalah wujud lain keterlibatan sang hakim dalam pengembangan hukum nasional lewat BPHN. Pada 1983, BPHN mengembangkan program penulisan karya ilmiah. Bismar salah satu yang diminta menulis. Tentang program ini, Bismar menyebutnya sebagai kepercayaan.
Kepercayaan  tersebut tentu mengandung tanggung jawab, sejauh manakah kemampuan saya memenuhi permintaan tersebut, mengingat telah banyak buku yang ditulis oleh para ahli”. Buku Bismar ini diterbitkan Binacipta dan BPHN.

Kembali ke pertemuan RUU KUHP di BPHN, Profesor Mardjono tidak ingat persis poin-poin apa saja yang disampaikan Bismar. Yang pasti saat itu lagi dibahas tentang konsep rechterlijke pardon, konsep permaafan dari hakim. Konsep ini juga dikenal dalam KUHP Belanda.
“Hakim diberi wewenang memberikan maaf apabila hakim merasa terdakwa sudah tobat dan mengakui kesalahan,” jelas mantan Sekretaris Komisi Hukum Nasional itu.

Menteri Kehakiman saat itu, Ismail Saleh, memang meminta penjelasan tim penyusun RUU KUHP, salah satunya tentang konsep rechterlijke pardon. Seingat Mardjono, keinginan memasukkan konsep ini ke dalam RUU KUHP datang dari Profesor Roeslan Saleh. Selain konsep permaafan, Roeslan Saleh juga mengajukan klausula keadilan. Intinya, apabila hakim merasa bahwa ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka hakim harus cenderung pada keadilan.

Mardjono menduga Bismar angkat bicara karena konsep yang diusung Roeslan Saleh itu sejalan dengan pandangan Bismar. Dalam RUU KUHP saat itu memang dimuat rumusan rechterlijke pardon. “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. RUU KUHP versi 2012 memuatnya dalam Pasal 55 ayat (2).

Penjelasan pasal itu menerangkan bahwa ketentuan rechterlijke pardon memberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf kepada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang ringan atau tidak serius. Pemberian maaf dicantumkan dalam putusan hakim, dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Bismar, hakim kelahiran Sipirok 15 September 1928, sudah lama berpandangan bahwa dalam penjatuhan pidana, hukuman yang bersifat penderitaan harus diposisikan sebagai alternatif. Dipakai jika tidak ada hukuman yang lebih baik dan bijaksana. “Dalam pemberian pidana upaya pertama ialah memberi dan membawa kesadaran disebut taubat kepada si terhukum,” ujarnya dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional di Semarang, Agustus 1980.

Bukti bahwa Bismar menunjung tinggi permaafan dalam penyelesaian perkara pidana tercermin pula dari analisisnya atas putusan Mahkamah Agung No. 1824 K/Pid/1986. Dalam putusan ini, majelis hakim agung ‘hanya’ menghukum terdakwa (anak-anak) pencuri sepeda hukuman percobaan. Tetapi majelis juga mewajibkan terdakwa meminta maaf kepada pemilik sepeda paling lambat satu bulan sejak putusan dijatuhkan. “Putusan kasasi tersebut telah membawa semangat pembaharuan, yang patut dipikir renungkan oleh para hakim,” kata Bismar seperti dikutip dari bukunya Bunga Rampai Hukum dan Islam.

Bismar mengatakan hukuman disertai maaf yang demikian sesuai Pancasila yang berbasis pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan agama-agama di Indonesia pun mengajarkan pentingnya maaf dibandingkan pembalasan dalam menyelesaikan suatu kasus. Ia mengutip al-Qur’an 16: 126, dan Injil Perjanjian Baru Matius 5: 44.

Dalam sejumlah ceramah dan karya tulisnya mengenai hukum pidana, Bismar selalu mengaitkan dengan ajaran agama. Tulisannya, Kaidah-Kaidah Hukum Islam yang Ditransformasikan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, yang dimuat majalah Hukum dan Pembangunan edisi April 1988, makin membuktikan karakteristik religiositas pemikiran hukum Bismar.
Tulisan tersebut sebenarnya berasal dari makalah Bismar saat jadi pembicara di IAIN Sunan Gunung Jati, sebulan sebelumnya. Di sini Bismar kembali mengungkit pandangannya tentang konsep permaafan disertasi kutipan-kutipan Al-Qur’an, Hadits, dan Injil.

Ia memandang jika adagium setiap orang bersalah harus dipidana dilaksanakan dengan semangat pembalasan, maka yang terjadi adalah dendam tak berkesudahan. Hukum pidana seharusnya mengenal dan mengedepankan kasih sayang. Kasih sayang seharusnya menjiwai setiap hukum pidana. “Asas hukum tiada maaf bagimu adalah warisan hukum dari hukum pidana Hindia Belanda,” ujarnya.

Bismar pernah menjadi pembicara pada Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional di Semarang pada 1980. Dalam kertas kerjanya, ‘Tentang Pemberian Pidana’, Bismar menyatakan antara lain yang pertama-tama diperhatikan dalam pemberian pidana adalah bagaimana caranya agar hukuman badaniah mencapai sasaran, mengembalikan keseimbangan yang telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh. “Tujuan penghukuman tiada lain mewujudkan kedamaian dalam kehidupan manusia,” tulis Bismar.

Mantan Dekan Fakultas Syariah UIN Syarief Hidayatullah, HM Amin Suma, mengenang Bismar sebagai orang yang tak melupakan agama dalam setiap pandangannya. “Saya terkesan dengan sosok almarhum yang apa saja harus melibatkan keagamaan, walaupun beliau itu sebenarnya ahli hukum,” ujarnya kepada hukumonline.

Hukum acara pidana
Majalah Hukum dan Pembangunan edisi nomor 2 Tahun X Maret 1980, juga merekam pandangan Bismar tentang RUU Hukum Acara Pidana. Tulisan itu dibuat pada 10 November 1979. Selain tanggal, tidak ada petunjuk lain dalam rangka apa tulisan itu dibuat dan di forum apa disampaikan. Saat itu, rancangan Hukum Acara Pidana –cikal bakal UU No. 8 Tahun 1981—memang lagi intens dibahas.

Dalam tulisan Bismar ini disebut draf versi Pemerintah saat itu memuat 280 pasal. Jumlah ini memperlihatkan ‘keinginan Pemerintah mempersiapkan hukum acara yang sedemikian rupa dapat menampung setiap persoalan yang harus atau akan dihadapi’ di masa mendatang.  Dari tulisan itu pula dapat dirangkum beberapa poin penting pandangan Bismar.
TentangPandangan
Jumlah Pasal Bukan jumlah pasal yang penting, melainkan daya tahan Undang-Undang itu 30-50 tahun bahkan mungkin ratusan tahun setelahnya.

Hukum acara yang akan datang disusun tidak perlu terlampau mendeteil seperti RUU HP (maksudnya RUU KUHP—red) yang ada agar penegak hukum adakah polisi, jaksa, terutama hakim, tidak terkecuali pembela atau pengacara dapat secara leluasa mengembangkan hukum acara itu melalui penafsiran dan ijtihad menerapkannya sesuai tuntutan zaman”.
Bahasa hukum Hendaknya RUU KUHAP dirumuskan secara sederhana dan terang agar dapat dimengerti dan dipahami rakyat. Misalnya, ada kerancuan kata ‘tindakan’ dan ‘perbuatan’. “Mereka yang mempersiapkan RUU ini masih terpengaruh bahasa hukum acara yang berlaku di HIR dan SV, yaitu bahasa Belanda
Sistematika Mohon diselaraskan agar mudah menemukannya. Penyidikan dibuat bab tersendiri, lalu disusul penuntutan agar mudah mencarinya. Pasal terkait disebut pada bagian akhir rumusan norma.
Penangkapan dan Penahanan Seharusnya ada sanksi tegas bagi penyidik dan penuntut yang melambat-lambatkan proses hukum karena tidak sesuai asas peradilan cepat. “RUU HAP mengatur tentang ganti rugi baik sekali, tetapi memerlukan penegasan agar tidak terjadi salah penafsiran yang merugikan si terdakwa (korban)”.
Hubungan kerja sesama penegak hukum Penuntut umum berwenang memperingatkan penyidik dalam hal penyidik lambat atau terlambat memproses perkara; pengadilan berwenang memperingatkan penuntut umum yang telat menyerahkan perkara ke persidangan. “Penyelesaian perkara sangat bergantung adanya hubungan kerjasama antar manusia pelaksananya”.
Hubungan Pembela dan tersangka Ada dua pendapat: pembela bebas bicara dengan tersangka; atau tidak bisa bebas. Menurut Bismar, persoalannya ialah mampukah penyidik mengandalkan keterampilan mengungkap kasus walaupun pembela dank lien berusaha menutup-nutupinya. Keberatan atas hak pembela berbicara dengan tersangka tak perlu ada jika penyidik benar-benar ingin membuktikan kesalahan tersangka, dan bukan mencari-cari kesalahan. Pembela juga harus didasari prasangka baik kepada penyidik.

Masih ada beberapa pandangan Bismar yang disampaikan saat itu. Namun yang banyak menarik perhatiannya adalah mekanisme kontrol terhadap penahanan. Selain memberikan masukan atas RUU Hukum Acara Pidana, Bismar telah membawa masalah penahanan ini dalam Raker PERADIN se-Indonesia di Jakarta, 19-20 Mei 1979.
Raker PERADIN menyimpulkan penahanan sementara laksana pisau bermata dua. Di satu sisi menuju kepada setiap anggota masyarakat yang berfungsi membatasi hak-hak asasi; di sisi lain mengarah kepada penguasa, agar tidak melakukan penahanan secara sewenang-wenang.

Setiap penegak hukum punya tugas dan wewenang yang jelas disertai mekanisme kontrolnya. Kalau terjadi penahanan atau penyelesaian berlarut proses hukum seseorang, siapakah yang bertanggung jawab? Bagi Bismar, hakimlah yang harus dimintai tanggung jawab.

Menurut hemat kami, hakimlah yang setepatnya. Kepadanya sudah diberikan wewenang yang demikian kuat dan tegasnya. Kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun apalagi ia hakim adalah wakil Tuhan,” Bismar memberi alasan.
Tags:

Berita Terkait