Pesan Sang Hakim untuk Pers Kampus
Mengenang Bismar:

Pesan Sang Hakim untuk Pers Kampus

Bismar percaya kesadaran hukum bisa terbentuk sejak dini melalui pers kampus.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Tokoh Pers Nasional, Atmakusumah Astraatmadja. Foto: Sgp
Tokoh Pers Nasional, Atmakusumah Astraatmadja. Foto: Sgp
Tokoh senior pers nasional, Atmakusumah Astraatmadja, menyebut Bismar Siregar sebagai salah satu hakim yang dikenal baik oleh kalangan pers nasional. Bismar tak hanya memanfaatkan media untuk publikasi tulisan-tulisannya, tetapi juga ‘bersahabat’ dengan kalangan pers. Bahkan ia tercatat pernah menjadi salah satu pengisi acara peningkatan pemahaman hukum bagi wartawan.

Meskipun tidak mengenal dekat Bismar, Atmakusumah yakin Bismar tipikal hakim yang dikenal baik oleh media. Bismar salah satu hakim yang rajin menulis di media massa. Tulisan-tulisannya tersebar di beragam media, sebagian bisa dinikmati lewat buku kompilasinya yang diterbitkan belakangan. Tidak mengherankan, ketika LBH Jakarta/YLBHI menggelar pelatihan wartawan hukum bersama PWI pada Maret 1972, Bismar menjadi salah satu tokoh yang diminta berceramah.

Jabatannya sebagai hakim tak membuat Bismar segan untuk datang memenuhi undangan mahasiswa pengelola pers kampus. Itu pula yang bisa kita baca dalam salah satu tulisan di buku Bunga Rampai Karangan Tersebar (jilid 1). Bagi Bismar, kesadaran hukum bisa terbentuk melalui pers kampus atau mahasiswa yang bebas dan bertanggung jawab.

Dalam buku tersebut, Bismar mulai teringat masa-masa dirinya masih mahasiswa. Menurutnya, keadaan mahasiswa di tahun lima puluhan sangat berbeda dengan mahasiswa masa kini. Pada tahun 50-an, mahasiswa tidak ditanamkan tanggung jawab kedudukannya sebagai mahasiswa. Namun, hanya memikirkan dan mempersiapkan diri menjadi penuntut ilmu yang akan menjadi sarjana.

Berbeda dengan mahasiswa zaman sekarang. Mahasiswa masa kini sengaja dipersiapkan, bahkan digalakkan sebagai calon sarjana. Bila terjun di tengah masyarakat nantinya, mahasiswa tersebut mampu menjadi pemimpin yang besar. Untuk itu, pengembangan bakat atau minat dalam menulis kepada mahasiswa menjadi upaya yang tepat di mata Bismar.

Namun, Bismar sering memberikan ‘warning’ kepada mahasiswa yang ingin menggeluti dunia jurnalistik. Menurutnya, kebebasan dalam media tetap harus bisa dipertanggungjawabkan. Kata bebas dan bertanggung jawab dapat memberikan rambu-rambu bagi pers yang bermula dari dunia kampus tersebut.

Bismar berharap, kebebasan berpendapat ala barat, tidak pantas menjadi patokan dalam dunia jurnalistik di Indonesia. Kebebasan berpendapat ala barat yang dianggap hak asasi tersebut akan sulit diterima di Indonesia. Apalagi, nilai pribadi bangsa Indonesia adalah Pancasila, yang sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Terkait hal ini, Tuhan menjadi ujung jawaban Bismar dalam hal pers yang bebas dan bertanggung jawab. Sehingga, puncak dari tanggung jawab tersebut hanyalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia percaya, tulisan yang bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa serta mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada akhirnya melahirkan sebuah kewajiban yang amanah.

Apalagi, jika dibarengi dengan peningkatan pembinaan kesadaran hukum oleh kalangan mahasiswa atau pers kampus. Hasilnya, tak akan melihat agama sebagai akidah semata, tapi juga menyangkut kebahagiaan hidup umat dan bangsa.

Dalam bukunya itu, Bismar mengutip ayat dari kitab Injil tentang hidup manusia termasuk mahasiswa atau civitas akademika. “Kalian adalah garam dunia, jika kalian menjadi tawar, apa jadinya dengan dunia ini? kalian sendiri akan dibuang atau diinjak orang karena tidak berguna. Kalian adalah terang dunia yang tampak pada semua orang seperti sebuah kota di atas bukit bercahaya pada malam hari”.

“Janganlah terang itu kali sembunyikan melainkan biarkanlah terang itu bercahaya bagi semua orang, biarlah semua orang melihat kalian berbuat baik sehingga mereka akan menemui bapak kalian yang di surga”. (Mateus 5:13-16).

Bismar juga mengutip ulang hadis Nabi Muhammad SAW, yaitu “Setiap kamu menjadi pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab tentang pimpinannya. Imam itu pemimpin dan bertanggung jawab terhadap pimpinannya. Suami pemimpin dan ia bertanggung jawab terhadap keluarganya. Istri pemimpin dan ia bertanggung jawab terhadap rumah tangga suaminya”.

Atmakusumah membenarkan, perkembangan media pers secara umum dan media kampus atau mahasiswa memiliki kebebasan yang lebih luas pada masa reformasi sekarang ini daripada selama masa orde lama dan orde baru. Namun, kebebasan tersebut tergantung pada pimpinan masing-masing media.

“Kebebasan itu pun tetap bergantung pada kesediaan rektorat perguruan tinggi atau universitas untuk mendukung kemandirian bagi media (kampus, red) tersebut,” kata Atmakusumah melalui surat elektroniknya kepada hukumonline, akhir Juni 2015 lalu.

Sedangkan intervensi dari kalangan di luar perguruan tinggi atau universitas kerap terjadi pada masa orde baru. Hal ini sesuai dengan buku yang pernah diterbitkan Atmakusumah yang berjudul “Tuntutan Zaman-Kebebasan Pers dan Ekspresi” tahun 2009 lalu. Dalam bukunya tersebut, di zaman orde baru banyak pers kampus atau media pers umum yang dibredel.

Mayoritas pembredelan dilakukan kepada media pers umum. Ada yang dilarang terbit sementara, bahkan ada juga yang dilarang terbit selamanya. Salah satu alasan pembredelan lantaran media tersebut memuat berita yang dinilai pemerintah dapat mengganggu ketertiban masyarakat.

Misalnya, Harian Pelita di Jakarta dilarang terbit pada 7 Mei - 6 September 1982 karena memuat berita kerusuhan serta insiden kampanye pemilihan umum dan menyiarkan hasil pemungutan suara bukan berdasarkan sumber resmi. Koran itu dibolehkan terbit kembali setelah merombak personalia pimpinan. Sebelumnya, Pelita pernah pula dibredel bersama enam surat kabar lainnya selama dua minggu pada Januari - Februari 1978.

Sedangkan untuk pers kampus sendiri, ada satu media cetak bernama Gelora Mahasiswa yang dikelola mahasiswa Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, yang dilarang terbit sementara oleh rektor pada tanggal 27 September 1979.

Atmakusumah hanya membahas pers yang dikenal secara internasional, yaitu yang mengandung standar jurnalisme profesional seperti objektivitas, faktual, dan akurasi. Menurutnya, karya jurnalistik yang objektif adalah yang berimbang, adil, tidak bias, tidak diskriminatif, dan tidak berprasangka.

“Standar profesional ini hanya dapat dikembangkan jika pengelola media pers memiliki independensi atau kebebasan dan kemandirian dalam kebijakan redaksinya,” tutup Atmakusumah.
Tags:

Berita Terkait