Jalan Panjang Menuju Kursi Hakim Agung
Mengenang Bismar:

Jalan Panjang Menuju Kursi Hakim Agung

Bismar berkarier di pengadilan negeri ±20 tahun, pengadilan tinggi ±3 tahun, panitera di MA ±2 tahun, dan hakim agung ±11 tahun.

Oleh:
RZK/MYS/ASH/HAG
Bacaan 2 Menit
Perjalanan karier Bismar Siregar. Infografis: BAS
Perjalanan karier Bismar Siregar. Infografis: BAS
Apa jadinya jika pada tahun 1961 seorang Bismar Siregar tak beralih profesi dari jaksa menjadi hakim? Mungkin saat ini, publik akan mengenang Bismar sebagai tokoh jaksa berintegitas yang tanpa lelah menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan. Bismar akan bersanding dengan ikon-ikon Korps Adhyaksa lainnya seperti (alm) Baharuddin Lopa yang seperti Bismar juga dikenal berintegritas kuat.

Tetapi, skenario Allah SWT berkata lain. Bismar yang kala itu masih cukup muda, sekira 33 tahun, mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Dia banting stir, mengganti seragam Korps Adhyaksa-nya dengan toga hakim. Sebelum beralih, Bismar sempat bertugas di tiga kantor kejaksaan yakni Kejaksaan Negeri Palembang (1957-1959), Kejaksaan Tinggi Makassar (1959), dan Kejaksaan Negeri Ambon (1960).

“Almarhum bapak keluar dari Kejaksaan. Karena pada saat itu Kejaksaan menyatu dengan Kehakiman. Jadi, waktu masuk jadi hakim pada tahun 1961, mudah aja langsung masuk,” tutur Kemalsjah Siregar, putra (alm) Bismar Siregar, menjelaskan kisah peralihan profesi sang ayah.

Kota Manise, Ambon menjadi tempat terakhir Bismar menyandang profesi jaksa. Dalam buku “Dari Bismar untuk Bismar” terbitan PT Fikahati Aneska (2002), terungkap kisah kenapa Bismar keluar dari Korps Adhyaksa. Pada bab “Jadi Hakim Setelah Tarung dengan Jaksa Agung”, diceritakan Bismar harus berpisah dengan istri karena dipindahkan ke Kejaksaan Negeri Ambon.

Bismar yang memang dikenal berwatak keras bersikukuh ingin menemui istrinya di Jakarta, walaupun konsekuensinya dia menanggalkan profesinya sebagai jaksa. Bismar berprinsip kepentingan keluarga lebih penting ketimbang kepentingan negara. “Kenyataannya banyak hakim dan jaksa menjadi rusak lantaran berpisah dengan istri”, begitu pandangan Bismar kala itu.

Atas sikapnya ini, Bismar harus berhadapan dengan Jaksa Agung yang kala itu dijabat oleh R. Gunawan. Bismar bahkan sempat diancam Jaksa Agung akan ditangkap. Tetapi, tanpa rasa takut, Bismar justru balik bertanya ke Jaksa Agung “Atas dasar apa Anda akan menangkap saya?”

“Saya tetap mengutamakan kepentingan keluarga dibandingkan kepentingan negara. Daripada pisah dengan istri, lebih baik jabatan saya dicopot,” ucap Bismar kepada Jaksa Agung, sebagaimana dituturkan ulang dalam buku “Dari Bismar untuk Bismar” (hal 397).

Kisah lain terungkap dalam buku “Hati Nurani Hakim dan Putusannya: Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku Kasus Hakim Bismar Siregar” karya akademisi Antonius Sudirman. Selama menjalani profesi jaksa, Bismar ternyata kurang ‘sreg’. Profesi jaksa menurut Bismar tidak sesuai dengan jiwanya yang selalu mengutamakan hati nuraninya. Sementara, seorang jaksa dalam menjalankan tugas memegang teguh prinsip satu komando, harus melaksanakan perintah atasan.

Ketika menjadi jaksa, Bismar mengalami konflik batin antara mengikuti hati nuraninya atau perintah atasan. Lantaran memilih untuk mengikuti hati nuraninya, Bismar pun sering konflik dengan atasannya. Puncaknya adalah ketika di Kejaksaan Negeri Makassar, Bismar menolak melaksanakan perintah Jaksa Agung R. Gunawan untuk menahan orang yang menurut hati nurani Bismar tidak layak ditahan karena tidak cukup bukti. Imbas dari sikapnya ini, Bismar pun ‘dibuang’ ke Kejaksaan Negeri Kelas II Ambon.

Terlepas dari kisah perseteruan dengan Jaksa Agung Gunawan yang melatarbelakanginya, keputusan Bismar keluar dari Kejaksaan menjadi tonggak bagi karier hakimnya yang kelak dia emban hingga pensiun.

Mencoba merangkum rekam jejak Bismar sebagai hakim, Antonius Sudirman mencatat Bismar berkarier di pengadilan negeri ±20 tahun, pengadilan tinggi ±3 tahun, panitera di Mahkamah Agung (MA) ±2 tahun, dan hakim agung ±11 tahun. Bismar pensiun pada tanggal 1 Desember 1995.

Kantor pengadilan yang pertama disinggahi Bismar adalah Pengadilan Negeri Pangkalpinang. Di pengadilan yang terletak di Kepulauan Bangka Belitung itu, Bismar hanya bertugas hingga tahun 1962, dan kemudian dimutasi ke Pengadilan Negeri Pontianak berdasarkan SK Menteri Kehakiman Nomor 3/18/10 tertanggal 18 Januari 1962. Dua tahun di Pontianak, Bismar langsung mendapat kepercayaan menjadi Ketua Pengadilan Land Reform Pontianak untuk periode 1964-1968.

Ketika berdinas di Pontianak, Bismar telah menginspirasi anak ketiganya, Kemalsjah Siregar, untuk menjadi hakim. Kepada hukumonline, Sabtu (27/6), Kemalsjah yang kala itu masih duduk di bangku sekolah dasar, mengaku kagum dengan profesi yang diemban sang ayah. Melihat ayahnya bersidang tampak gagah dengan toga, Kemal sempat terpikir ingin menjadi hakim, walaupun di kemudian hari akhirnya memilih menjalani profesi advokat.

“Ya namanya anak-anak kan. Apa yang menjadi panutan kan tentu kalau pekerjaan itu, Bapak gitu ya. Terus melihat (Bapak) jadi hakim, pas lagi sidang, pakai baju hitam dan kemudian saya tahu itu toga, kemudian saya pikir saya mau jadi hakim,” tuturnya mengenang.

Setelah kurang lebih delapan tahun mengabdi sebagai hakim di Sumatera dan Kalimantan, Bismar kemudian ‘ditarik’ ke Ibukota Republik Indonesia, DKI Jakarta. Tahun 1968, Bismar menjadi panitera Mahkamah Agung (MA). Tiga tahun berselang, Bismar dipercaya memimpin Pengadilan Jakarta Utara-Timur.

Ketika, pengadilan yang mencakup dua wilayah, Jakarta Timur dan Jakarta Utara itu dipisah, Bismar tetap dipercaya menjadi Ketua Pengadilan Jakarta Utara. Di sinilah muncul kisah interaksi yang menarik antara seorang Bismar dengan advokat Yap Thiam Hien terkait kebijakan denda yang diterapkan Bismar kepada siapapun, pihak yang beperkara yang datang terlambat. Termasuk advokat seperti Yap.

Menurut mantan kolega Bismar ketika bertugas di Pengadilan Jakarta Utara-Timur, Marianna Sutadi, penerapan kebijakan denda kepada pihak berperkara merupakan wujud dari sikap disiplin yang dimiliki Bismar. Namun, kebijakan itu pada akhirnya dilarang Mahkamah Agung yang ditandai dengan terbitnya surat peringatan.

“Saya menjadi bawahan beliau (Bismar) sekitar sembilan tahun, sejak tahun 1971. Kami sering satu majelis. Setelah itu dia menjadi hakim tinggi di Medan. Setelah itu, kami bertemu lagi di MA saat saya menjadi hakim agung, tetapi tidak pernah satu majelis. Tak lama kemudian dia pensiun,” kenang Marianna ditemui hukumonline di kediamannya di Jakarta, 8 Juli 2015 lalu.

Secara umum, Marianna mengenang seorang Bismar Siregar sebagai sosok yang rajin, disiplin, dan berani. Terkait penanganan perkara, satu memori yang dikenang Marianna adalah ketika Bismar berani menerapkan gijzeling (penyanderaan/paksa badan) bagi pihak yang wanprestasi dalam perjanjian.

“Seringkali orang hutang tidak mau bayar, tetapi dia bisa membayar biaya perkara hingga perkaranya diajukan upaya hukum yang seolah menghindar? Padahal, faktanya dia mampu membayar. Bismar menganggap keadilan tidak hanya untuk orang berutang, tetapi juga pihak berpiutang. Tetapi, belakangan MA mengeluarkan SEMA yang melarangnya penerapan gijzeling karena dianggap melanggar HAM,” ungkapnya.

Hal lain yang diingat Marianna adalah sifat ‘kebapakan’ Bismar yang ditunjukkan dengan memperhatikan kesejahteraan bawahannya. Contohnya, ketika Bismar melakukan berkoordinasi dengan Wali Kota Jakarta Timur dalam rangka mengupayakan agar semua hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur mendapat fasilitas rumah.

“Semua kita dapat rumah. Rumah Pak Djoko Sarwoko (mantan hakim agung) sampai saat ini tinggal di rumah yang dibeli saat kami bertugas di PN Jakarta Utara-Timur. Kita beli tidak mahal karena tanahnya baru dibebaskan,” kata dia.

Tahun 1980, Bismar naik ‘kasta’. Berdasarkan SK Menteri Kehakiman Nomor M.219 KF.04-10-80 tertanggal 18 November 1980, Bismar diangkat sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Bandung. Di sini ia sempat bertemu dengan Adi Andojo Soetjipto, yang kelak juga menjadi hakim agung. Di Kota Kembang itu, Bismar hanya bertahan dua tahun karena kembali dipindahtugaskan ke Pulau Sumatera, dengan jabatan Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara.

Walaupun hanya bertugas selama dua tahun di provinsi asal kelahirannya itu, Bismar berhasil menorehkan namanya dalam sejarah putusan hukum pidana Indonesia. Melalui putusan Nomor 144/Pid/1983/PT-Mdn, Bismar mengoreksi putusan pengadilan tingkat pertama. Yang fenomenal dari putusan itu adalah ketika Bismar menganalogikan alat kelamin perempuan sebagai barang, atau bonda dalam bahasa Tapanuli.

Walaupun kemudian dibatalkan di tingkat kasasi oleh majelis hakim agung yang diketuai Adi Andojo Soetjipto, putusan Nomor 144/Pid/1983/PT-Mdn diakui oleh kalangan peminat hukum progresif sebagai salah satu contoh putusan progresif. Bismar dipuji karena berani mengedepankan keadilan ketimbang legalistik formal.

Dari Sumatera Utara, Bismar kembali ke DKI Jakarta dengan menjadi hakim agung berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 126/M/1984 tertanggal 28 Mei 1984. Di MA, Bismar mengabdi selama 11 tahun.  Bismar resmi pensiun pada tanggal 1 Desember 1995.

Dalam buku The Indonesian Supreme Court: Fifty Yearsof Judicial Development, Sebastian Pompe mengungkap satu fakta menarik. Menurut pengamat peradilan Indonesia asal Belanda itu, di MA sempat terjadi ‘insiden’, dimana Bismar melewati batas usia pensiunnya.

Pada tahun 1994, di saat berusia 67 tahun, Bismar masih menjadi hakim agung. Padahal, batas usia pensiun hakim agung menurut UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung adalah 65 tahun. Mengutip sebuah artikel dari majalah Forum Keadilan, Pompe menyebut Bismar seharusnya pensiun tahun 1992, tetapi karena kesalahan data kartu identitas, Bismar baru pensiun pada tahun 1995.
Surat Prof. R. Soebekti

“Di sini ada permintaan dari MA yang saya harap dengan sangat Saudara tidak menolak”. “Saya mengharapkan jawaban Saudara dalam waktu yang sesingkat-singkatnya”.

Itu penggalan sebagian surat Ketua Mahkamah Agung Prof. R. Soebekti kepada Ketua Pengadilan Negeri Pontianak, Bismar Siregar bertanggal 17 Maret 1968. Surat itu kembali ditemukan Bismar 24 tahun kemudian ketika ia membongkar-bongkar tumpukan berkas di rumahnya. Dalam suratnya, Soebekti meminta Bismar menjadi Panitera Mahkamah Agung untuk menggantikan Ishak (Mr. Moeh. Ishak Soemosmidjojo—red).

“Untuk mengisi lowongan tersebut, tidaklah begitu mudah untuk menemukan calon yang sungguh-sungguh memenuhi syarat-syarat, yaitu hakim yang sudah banyak pengalaman dalam bidang peradilan, mempunyai kecakapan untuk memimpin suatu kantor dengan suatu administrasi dan jumlah pegawai yang begitu besar dan fleksibel dalam menjalankan hubungan dengan instansi-instansi lain. Dalam pandangan kami, Saudaralah yang memenuhi syarat-syarat itu,” tulis Soebekti. “MA meminta kerelaan Saudara menerimanya demi kepentingan nusa dan bangsa,” sambungnya.

Surat itulah yang kemudian mengakhiri masa sekitar tujuh tahun pengabdian Bismar di Pontianak. Tepat pada 25 Desember 1968, diiringi keharuan perpisahan di Lapangan Udara Sei Duran Pontianak, Bismar berangkat menuju Jakarta. Meskipun ada permintaan Departemen Kehakiman untuk menunggu kedatangan Ketua PN Pontianak pengganti, Bismar tetap jalan ke Ibukota. Tugas sudah menantinya. Ia bertugas melayani kebutuhan administratif 9 orang hakim agung dan para pegawai Mahkamah Agung. Termasuk mengurus anggaran Mahkamah Agung di Bappenas. Jadilah Bismar bertugas sebagai Panitera Mahkamah Agung di Lapangan Banteng Timur No. 1.

Surat Prof. R. Soebekti adalah pengingat perjalanan hidup Bismar seperti yang tertuang dalam buku Rasa Keadilan (1996). Jabatan Panitera MA itu semakin memuluskan jalan Bismar menuju kursi hakim agung. Sebastian Pompe dalam disertasinya menyebutkan pada era itu sebagian besar Panitera MA akhirnya diangkat menjadi hakim agung. Selain Bismar, ada Pitoyo, Muhammad Iman, dan Toton Suprapto. Jabatan Panitera diemban Bismar selama periode 1969-1971. Setelah malang melintang bertugas di Jakarta, Bandung, dan Medan, Bismar akhirnya berhasil meraih kursi hakim agung.
Tags:

Berita Terkait