Agar Wet Tak Kalah Melawan Dompet
Mengenang Bismar:

Agar Wet Tak Kalah Melawan Dompet

Inilah poin-poin pandangan Bismar Siregar tentang pemberantasan korupsi. Dirangkum dari beberapa tulisannya. Menyetujui konsep permaafan.

Oleh:
MYS/FNH
Bacaan 2 Menit
Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Sgp
Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Sgp
Bertemu dan berkenalan saat pameran lukisan di Galeri 678 Kemang, Jakarta Selatan, Bismar Siregar, sang pelukis, akhirnya bersahabat dengan KPHA Tjandra Sridjaja Pradjonggo, seorang advokat dari Jawa Timur. Berbeda profesi, berbeda iman, dan berbeda daerah asal tak membuat keduanya sulit menjalin silaturrahim.

Saat dihubungi hukumonline beberapa waktu lalu, Tjandra Sridjaya mengakui setelah pertemuan di galeri itu, ia beberapa kali bertemu Bismar, mulai dari bertandang ke rumah hingga pertemuan di tempat lain. Setiap bertemu, mereka terlibat diskusi banyak hal. Dari sanalah sang advokat lebih mengenal sang mantan hakim agung. “Yang berkesan adalah kesederhanaan dan keteguhan beliau dalam prinsip,” ujar Tjandra kepada hukumonline lewat telepon.

Keteguhan Bismar pada prinsip yang dia yakini benar membuat Tjandra  takjub. Maka tatkala berniat menerbitkan disertasi doktornya menjadi buku, Tjandra meminta kesediaan Bismar memberi kata pengantar. Kini, pengantar dari Bismar itu dapat dibaca dalam buku Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi, yang diterbitkan Indonesia Lawyer Club.

Dari pengantar itu pula dapat ditelusuri sekelumit pandangan Bismar Siregar tentang pemberantasan korupsi, terutama setelah tak menjabat lagi sebagai hakim. Menurut Bismar, mustahil perbuatan korupsi diberantas. Selagi unsur jahat dan baik ada pada diri manusia, maka pertarungan akan selalu ada, dan korupsi tak mungkin benar-benar bisa diberantas. “Mustahil, perbuatan korupsi diberantas,” tulis Bismar.

Korupsi bukanlah perbuatan yang baru ada sekarang, baru ramai setelah ada Komisi Pemberantasan Korupsi. Korupsi sudah ada sejak dulu. Manusia selalu tergoda oleh setan. Setan membuka pintu perbuatan korupsi. Korupsi kata Bismar dilakukan oleh mereka yang sanggup ‘berbohong kepada Tuhan dan berbohong terhadap hati nuraninya’. Ia percaya, korupsi marak karena gersangnya iman dan taqwa yang berbasis pada Pancasila.

Kalau korupsi tak bisa diberantas, lantas apa yang harus dilakukan? “Mengurangi keinginan berbuat korupsi!”. Setiap orang harus berani mengatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah. Dan kalimat itu pula yang ada di ruang sanggar lukis Pak Bismar, sebagai pengingat dalam memutus perkara. Pengingat yang semangatnya juga tertera dalam kutipan ayat suci ini.

Janganlah sebagian kamu memakan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil. Jangan mempergunakan sebagai umpan menyuap para hakim, supaya memakan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahuinya,”  (QS al-Baqarah 2: 188).

Dan lagi janganlah kamu menerima pemberian, karena pemberian itu membutakan mata orang melihatnya dan membolak-balikkan perkataan orang yang benar,” (Kitab Keluaran 23: 8)

Sebagai hakim dan akademisi yang puluhan menjalankan profesinya, Bismar mengenal banyak istilah yang dipakai awam untuk menggambarkan praktek korupsi. Korupsi di Sumatera Utara, misalnya, membuat singkatan SUMUT, disebut Semua Urusan Mesti dengan Uang Tunai; HAKIM: Hubungi Aku Kalau Ingin Menang. Atau, KUHP singkatan dari Kasih Uang Habis Perkara. Adalagi kalimat  seloroh ‘Wet Kalah dengan Dompet’.

Ia percaya, sifat melawan hukum apapun namanya selalu berawal dari hati nurani. Memberantasnya harus dimulai dari penyebabya, yakni memberantas kemiskinan iman. “Perbuatan korupsi juga mencakup korupsi hati nurani,” tulis Bismar seperti dikutip dari bukunya Hukum dalam Sorotan Perspektif Islam (2005). 

Dulu ketika menjadi hakim, Bismar beberapa kali menangani perkara korupsi. Tersebutlah sewaktu menjabat hakim di PN Jakarta Utara-Timur, Bismar –bersama anggta majelis R. Sugondo Kartanegara dan Muhjidin Abidin—menghukum seorang pegawai Telkom 1,5 tahun penjara karena menerima uang sebagai pegawai negeri padahal ia tahu pemberian itu berhubungan dengan jabatannya.

Dalam pertimbangannya, majelis menilai perbuatan terdakwa sebagai pegawai Perum Telkom bukan saja melanggar hukum positif tertulis, tetapi juga menciderai nilai moral yang menjiwai kehidupan bangsa yaitu ajaran agama. Majelis tak menerima argumentasi terdakwa yang menyatakan bahwa sudah lazim pegawai mendapatkan uang dari orang lain. Majelis mengingatkan kepada terdakwa yang beragama Islam bahwa membawa uang ‘haram’ ke rumah untuk nafkah anak isteri tidak baik.

Menimbang bahwa tidak salahnya pula kalau diutamakan apa dan bagaimana perbuatan korupsi pada umumnya dilakukan tidaklah karena kekurangan gaji semata-mata, tetapi tidak kurang pula disebabkan kerusakan moral/mental,” begini antara lain pertimbangan majelis hakim dalam putusan No. 03/Pid/75/Tim/Tolakan tanggal 24 Mei 1975 itu.

Bismar menjalankan profesi hakim pada saat korupsi belum tegas-tegas disebut sebagai extraordinary crime. Tetapi ia percaya kunci pemberantasan korupsi bukan pada bagusnya rumusan undang-undang, melainkan pada pelaksananya. UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih diperkuat dengan UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Perangkat hukum bisa saja disiasati koruptor. Pembentuk undang-undang sejak dahulu sudah berusaha menjerat para pelaku korupsi, tetapi tidak selalu berhasil diberantas. “Peraturan hanya sarana, yang menentukan manusia pelaksananya,” tegas mantan hakim agung itu.

Kekayaan pejabat salah satu yang menjadi perhatian Bismar. Dalam hal ini ia beberapa kali mengutip dan memberi dukungan atas pernyataan Bismar bahwa perlu ada hati nurani dalam pembangunan agar tidak terjadi kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Pendaftaran kekayaan sebelum dan sesudah menjabat dinilai Bismar perlu untuk menciptakan pemerintahan yang bersih. “Mari kita menyambut seruan sekaligus ajakan Siswono tentang perlunya daftar kekayaan pejabat,” kata Bismar seperti dikutip dari bukunya Sajadah Panjang Bismar Siregar, Refleksi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (2001).

Dari lubuk hatinya Bismar sangat risau dengan praktek  suap dalam kehidupan sehari-hari di birokrasi. Saat mengajukan suatu permohonan, misalnya, si pemohon seolah diminta ‘tahu adat perkantoran’, yakni menyiapkan ‘lampiran’. Di briokrasi berlaku ketentuan: mau lancar, bisa diatur. Ada pula pribahasa ‘ada ubi ada talas, ada budi ada balas. Kalaupun kemudian ada undang-undang, yakni UU No. 11 Tahun 1980, yang berusaha memberantas praktak suap itu, faktanya tidak seperti yang diharapkan. “Lebih lima belas tahun sudah undang-udnang itu berlaku, tetapi prilaku suap menyuap itu bukan berkurang, justru semakin marak, jadi budaya,” begitu Bismar mengamati.

Dalam tulisannya yang lain ‘Suap dan Sistem Hukum Indonesia, Bismar menegaskan sikap tegasnya bahwa perbuatan suap menyuap tak dapat dibenarkan baik dari ajaran agama maupun undang-undang. “Singkat kata, tak ada satu pun hukum yang membenarkan perbuatan itu, kecuali aturan setan yang memang selalu mengajak berbuat dosa,” tegasnya seperti dikutip dari buku Catatan Bijak Membela Kebenaran Menegakkan Keadilan (1999: 131).

Bismar menolak kalau disebut sebagai orang yang pesimis dalam pemberantasan korupsi. Pelaku yang bisa dijerat oleh UU No. 3 Tahun 1971 dan UU No. 11 Tahun 1980 memang masih sedikit padahal di mata Bismar kedua undang-undang ini laksana kunci Inggris, mampu memenuhi apa saja yang diinginkan. Karena itu ia tidak melihat efektivitas undang-undang kalau manusia pelaksananya tidak dibentengi dengan iman yang kuat. Hasilnya belum seimbang dengan tekad awal menyusun kedua undang-undang itu.

Memperkuat pandangannya, dalam sebuah diskusi yang diprakarsai ICMI di Jakarta, April 2001, Bismar mengatakan kekurangberhasilan pemberantasan korupsi bukan bersumber dari lemahnya peraturan, melainkan pada pelaksanaan peraturan tersebut. Nah, yang bertugas menyempurnakan kekurangan itu, bagi Bismar, adalah hakim (Kompas, 18 April 2001).  Dalam sebuah wawancara dengan Swadesi, kepada Bismar pernah ditanyakan keinginan membentuk lembaga baru pemberantasan korupsi. Bismar menjawab bahwa sejak dulu selalu ada gagasan pembentukan lembaga baru, tetapi lembaga-lembaga itu nyaris tak pernah berhasil optimal. “Kalau itu yang akan dilakukan (pembentukan badan antikorupsi—red), persoalannya ialah siapa yang memberantas dan siapa yang diberantas? Mestinya yang memberantas harus bersih, sehingga tidak diragukan lagi upaya pemberantasannya itu”. Bagi Bismar korupsi adalah kejahatan moral, yang timbul karena lemahnya iman pelaku.

Selain itu, Bismar adalah seorang hakim yang menyetujui konsep permaafan (rechterlijke pardon). Konsep maaf itu juga bisa dilihat dari pandangannya dalam perkara korupsi. Setidaknya, ada dua kunci membuka pintu maaf buat koruptor. Pertama, pelaku mengakui sebagai koruptor yang merugikan keuangan negara dan karena itu ia meminta maaf kepada publik. Kedua, pelaku bersedia mengembalikan kerugian negara.

Apa salahnya dibuka pintu maaf terhadapnya? Apa cara yang demikian itu bukan ara penyelesaian yang lebih arif dan bijaksana? Hemat saya, itu pola dan cara yang terpuji,” ujarnya dalam sebuah makalah bertarikh April 1996.
Tags:

Berita Terkait