Ini Rekomendasi Doktor FHUI untuk Berantas Insider Trading
Berita

Ini Rekomendasi Doktor FHUI untuk Berantas Insider Trading

Perlu ada revisi UU Pasar Modal dan UU OJK.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Kampus FHUI, Depok, Jawa Barat. Foto: RES.
Kampus FHUI, Depok, Jawa Barat. Foto: RES.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Arman Nefi meneliti bahwa otoritas pasar modal masih merasa sulit untuk membuktikan insider trading. Ini disebabkan karena terkendala oleh alat bukti, sehingga otoritas kemudian mengambil langkah pragmatis yaitu dengan menjatuhkan sanksi denda, tetapi ini masih juga dinilai belum memenuhi rasa keadilan.

Arman menyampaikan hal tersebut saat mempertahankan disertasi doktoralnya di hadapan sidang akademik promosi terbuka di Kampus FHUI, Depok, Jawa Barat, pada Jumat (10/7). Dalam sidang terbuka ini Arman meraih gelar doktor ilmu hukum dengan nilai sangat memuaskan.

Dalam disertasinya, Arman memaparkan setelah hadirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada kemajuan yang cukup berarti dalam penegakan insider trading. Khususnya, dalam hal sanksi pidana denda untuk korporasi yang maksimal mencapai Rp45 Miliar dan/atau sebesar jumlah kerugian yang ditimbulkan.

“Pengembalian sejumlah keuntungan atau  potensi penghindaran kerugian (dikembalikan pada posisi semula) pasal 52 ayat (2) UU OJK. Bandingkan dengan sanksi UU Pasar Modal paling lama 10 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp15 M, padahal praktik Insider Trading dapat menimbulkan keuntungan atau potensi penghindaran kerugian ratusan miliar rupiah,” jelas Arman.

Arman menjelaskan bahwa Insider Trading merupakan suatu kejahatan dengan alasan dari Unfair transactions. “Untuk publik tidak mengetahui, yang memiliki pemegang saham, sehingga dia tidak punya analisis untuk melakukan transaksi. Sehingga ini tidak adil untuk sebagian orang. Dengan demikian dengan adanya insider trading sehingga menjadi larangan untuk orang dalam memberikan informasi,” ujarnya.

Dengan demikian syarat terjadinya insider trading ada tiga hal, yaitu adanya orang dalam, adanya Informasi Material yang memicu, dan adanya transaksi. Ketiga hal tersebut harus terpenuhi. “Sehingga untuk mendukung mengungkap syarat tersebut, diperlukan metode pembuktian yakni dengan menganalisis secara mendalam data transaksi yang telah terekam dalam database / record data BEI, berupa detail daily transaction data dan daily transaction data,” papar Arman.

“Kedepan, diharapkan agar Penyidik Negeri Sipil (PPNS) yang saat ini mendapatkan penugasan OJK agar data menggunakan indikator baik dalam pemeriksaan, penyilidikan, dan penyidikan,” tambahnya.

Untuk itu, menurut Arman, sudah saatnya Pasal 95-97  UU Pasar Modal harus diamandemen dengan memasukkan teori penyalahgunaan. “Mengubah Pasal 95, 96, dan 97 UU PM sesuai dengan semangat misappropriation theory, bahwa setiap pihak apabila terbukti melakukan transaksi atau informasi Material yang masih tertutup tersebut maka tetap dihukum atau dikenakan sanksi seperti Fiduciary Duty, Fiduciary Obligations, Tippee, Secondary Tippee,” ujarnya.

Selain itu juga diperlukan untuk mengubah ketentuan sanksi Pasal 104 Undang-undang Pasar Modal dan Pasal 52 ayat (1) dan (2) UU OJK, yani pihak yang terbukti melakukan praktik indider Trading dikenakan paling sedikit denda dua kali lipat dan paling banyak lima kali lipat. Juga menambahkan ketentuan bahwa Orang Dalam baru dapat bertransaksi setelah 12 jam sejak diumumkan informasi Material yang dimaksud ke publik.

“Menambahkan pasal tentang penggelapan di bidang Pasar Modal, karena belum diatur dalam UUPM atau UU OJK. Penggelapan dengan ciri khas Pasar Modal sudah pernah terjadi dan akan dapat terjadi di masa yang akan datang, sehingga harus diantisipasi oleh aturan hukum. Dimana kasus penggelapan di Pasar Modal hanya mampu dijerat dengan KUHP yang sanksinya lebih rendah dan dapat menguntungkan pelaku. Hal tersebut dapat menghilangkan kewibawaan di mata publik dan berdampak enggannya masyarakat berinvestasi di Pasar Modal,” papar Arman.

Tags:

Berita Terkait