Unsur Kebaruan, Celah Hukum dalam Desain Industri
Berita

Unsur Kebaruan, Celah Hukum dalam Desain Industri

Dalam banyak kasus yang masuk ke Pengadilan Niaga, fokus perdebatannya ada pada pembuktian unsur kebaruan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Gedung Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat. Foto: SGP.
Gedung Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat. Foto: SGP.
Sebelum Lebaran, sudah dua kali Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat menunda sidang gugatan pembatalan pendaftaran desain industri ‘pipa saluran’. Didaftarkan sejak 8 Juni lalu, tiga orang pelaku usaha di Jakarta Barat – Mimin, Adi Dharma Kurniawan dan Dani, melayangkan gugatan terhadap H. Syamsu Syah Alam dan Ditjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM.

Para penggugat merasa dirugikan atas penerbitan hak desain industri ‘pipa saluran’ oleh Ditjen HKI kepada tergugat. Apalagi belakangan para penggugat merasa usahanya terancam akibat laporan polisi penggugat. Mereka telah lama menjual pipa saluran kran, jauh sebelum tergugat mendaftarkan desain industri ‘pipa saluran’ ke Ditjen HKI. “Sebagaimana disebut Pasal 38 Undang-Undang Desain Industri, klien kami punya kepentingan untuk mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran,” jelas Lice Verdiana Efdora, pengacara ketiga penggugat.

Pasal 38 UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri memang memungkinkan pihak yang merasa berkepentingan untuk menggugat desain industri yang sudah terdaftar. Penyebab gugatan itu umumnya menyangkut syarat kebaruan yang disebut dalam Pasal 2 Undang-Undang yang sama. Berdasarkan pasal ini, hak desain industri diberikan untuk desain industri yang baru. Desain industri dianggap baru  jika pada tanggal penerimaan, desain industri tersebut tidak sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya. Pengungkapan itu bisa dilihat dari media cetak atau elektronik, termasuk ikut serta dalam pameran.

Normatifnya demikian. Dalam praktek, menerjemahkan anasir kebaruan itu tidak selalu mudah. Terbukti dari perkara-perkara desain industri yang selama ini berujung hingga ke Mahkamah Agung. Dari 769 perkara perdata khusus yang diterima Mahkamah Agung pada tahun 2014, hanya 44 perkara HKI (5,72%). Itu pun sebagian besar adalah perkara merek.

Dalam beberapa perkara desain industri yang diputus sebelum 2014 tampak jelas bahwa fokus perdebatan umumnya berkisar pada unsur kebaruan yang disebut-sebut Pasal 2 dan Pasal 4 UU Desain Industri. Kebaruan itu dihubungkan dengan bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna atau gabungannya. Pasal 4 menyebutkan hak desain industri tidak dapat diberikan jika desain industri yang diajukan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, agama, atau kesusilaan.

Dalam putusan kasasi tentang desain industri ‘Tempat Disk’, MA menyatakan desain industri yang dimiliki tergugat tidak baru karena ‘tidak berbeda secara signifikan dengan tempat disk yang diproduksi dan diperdagangkan oleh penggugat lebih dahulu daripada tanggal penerimaan pendaftaran tergugat’.

Dalam putusan desain industri TIP REFIL BALLPOIN, majelis kasasi menyatakan judex facti tidak cukup memberikan pertimbangan tentang adanya fakta ‘sama persis di antara dua produk yang dipersengketakan’. Judex facti dinilai keliru mempertimbangkan unsur kebaruan karena faktanya ‘unsur (kebaruan—red) tersebut sama sekali tidak nampak’. Permohonan peninjauan kembali perkara ini oleh tergugat ditolak Mahkamah Agung (Februari 2008).

Contoh lain adalah perkara desain industri karpet dengan motif pilar dan karpet dengan motif mesjid. MA menolak kasasi yang diajukan penggugat. Dalam pertimbangannya, MA menyatakan tergugat adalah pendaftar pertama atas desain industri sehingga harus mendapat perlindungan hukum, sedangkan penggugat tidak mendaftarkan desain industrinya sehingga secara formal tidak dapat memperoleh perlindungan hukum. Menurut majelis, perlindungan hukum atas desain industri terdaftar milik tergugat bukan pada motif pilar dan mesjidnya, melainkan pada bagian-bagian yang khas pada bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna atau garis dan warna atau gabungannya yang dapat memberikan kesan estetis pada karpet.

Namun, dalam perkara desain industri ‘Kemasan Kotak Gear Set NP New China Diesel Genuine Parts’, majelis kasasi membatalkan putusan judex facti karena masalah kebaruan. MA menyatakan ‘pengertian baru dari suatu desain industri tidak hanya ditentukan oleh pendaftaran yang pertama kali diajukan, namun harus pula tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa pendaftaran tersebut tidak baru atau telah ada pengungkapan/publikasi sebelumnya baik tertulis maupun tidak tertulis’.

Dalam perkara lain, mengenai ‘Kantong Klip Plastik Bergerigi’, majelis kasasi mempertimbangkan bahwa desain kantong klip plastic bergerigi atas nama tergugat telah diproduksi dan dipasarkan penggugat asal sebelum tanggal penerimaan permintaan desain industri atas nama tergugat, sehingga desain industri yang diajukan tergugat bukan desain yang baru. Apalagi terbukti di persidangan bahwa petugas Ditjen HKI tidak melakukan pemeriksaan subtantif.

Ada banyak contoh lain putusan mengenai desain industri yang pada pokoknya memperdebatkan unsur kebaruan. Munculnya kasus-kasus sejenis menunjukkan anasir ‘kebaruan’ dalam desain industri, bisa menjadi celah hukum yang bisa diperdebatkan. Inilah yang coba kini diperjuangkan oleh Lice V. Efdora dan kliennya melalui Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat.
Tags:

Berita Terkait