Wasiat Tak Ternilai Jelang Akhir Hayat
Mengenang Bismar:

Wasiat Tak Ternilai Jelang Akhir Hayat

Sebelum meninggal, Bismar Siregar menuliskan beberapa baris wasiat. Bukan harta melimpah. Ia ‘hanya’ mewasiatkan tiga eksemplar buku kepada isteri, anak, dan cucunya.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Beberapa buku Bismar Siregar. Foto: RED
Beberapa buku Bismar Siregar. Foto: RED
Batas usia sudah berbisik. Umur 81 tahun sudah cukup panjang dan lama untuk beribadah kepada Allah. Sewaktu-waktu Sang Khalik akan memanggil untuk kembali kepada-Nya. Sebab, waktu sudah menunjukkan tanggal 15 September 2009.

Begitulah Bismar Siregar menuliskan ‘bisikan’ batas usia itu dalam surat wasiat kepada isteri, anak, dan cucu-cucunya. Di luar Bismillah, tulisan wasiat, nama dan tanda tangan, ada 24 baris kalimat dalam surat wasiat yang salinannya bisa dibaca dalam buku Islam Rahmat Bagi Semesta Alam. Salinan tulisan tangan Bismar bahkan menjadi cover belakang buku setebal 949 halaman itu.

Jangan isteriku, anak dan cucu berharap warisan harta yang banyak, tetapi syukurilah yang ada dan lebih dari itu, syukurlah ada ilmu/tulisan/buku yang ditinggalkan. Insya Allah penerbitan buku ini merupakan harta warisan tidak ternilai bagi kita semua”. Itulah Bismar. Kepada isteri, anak, dan cucunya, ia mewariskan tiga buah buku: Surat-Surat Kepada Pemimpin, Islam Akhlak Mulia, dan Islam Rahmatan lil Alamin.  

Buku yang pertama kemudian terbit menjadi Surat-Surat Kepada Pemimpin, Bisikan Hati Seorang Mantan Hakim Agung. Buku kedua terbit dengan judul Islam Akhlak Mulia, Renungan-Renungan di Tengah Malam Sunyi. Sedangkan buku ketiga terbit dengan judul akhir Islam Rahmat Bagi Semesta Alam.

Bismar dipanggil menghadap Sang Khalik sekitar 2,5 tahun setelah ia menuliskan surat wasiat itu. Innalillah wa inna ilaihi roji’un. Faktanya, Bismar bukan hanya meninggalkan tiga buku tebal-tebal, bukan hanya meninggalkan buku-buku itu kepada isteri, anak dan cucu-cucunya. Bismar telah mewariskan banyak karya yang ditulis semasa hayatnya. Bahkan ada karya tentang Bismar yang ditulis oleh orang lain. Karya yang disebut terakhir termasuk tulisan Antonius Sudirman Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence) Kasus Hakim Bismar Siregar (2007). Termasuk pula dua jilid buku yang diedit Wahyu Afandi, Aneka Putusan Pidana Hakim Bismar Siregar (1984).

Apa yang mendorong mereka membuat buku semacam ini? Pernyataan dalam sampul belakang buku yang diedit Wahyu Afandi ini layak disimak: “Dalam himpunan putusan-putusannya kita melihat hakim Bismar SH sebagai seorang hakim selalu berusaha untuk memenuhi perasaan keadilan masyarakat. Selain itu ia tidak segan-segan mendasarkan putusan-putusannya dengan menggunakan dalil-dalil yang bernafaskan keagamaan. Juga kalau perlu ia berani mengenyampingkan hukum positif. Oleh karena itu tidak heran daripadanya terkadang lahir putusan-putusan kontroversial, yang tidak jarang diterima dengan mengernyitkan dahi oleh sementara orang. Meskipun demikian menyimak putusan-putusannya akan mengandung arti tersendiri bagi siapa saja yang menaruh minat akan dunia peradilan kita”.

Menelusuri karya Bismar secara lengkap bukan pekerjaan mudah. Sebab, rentang waktu penulisannya puluhan tahun, dan tersebar di banyak media, disampaikan dalam berbagai forum. Apalagi kalau dimaksukkan tulisan-tulisannya berupa kata pengantar di banyak buku. Tulisannya ada di media cetak umum seperti Sinar Harapan, Angkatan Bersenjata, Suara Pembaruan, majalah Forum Keadilan dan Panji Masyarakat, ada pula yang di majalah ilmiah seperti Hukum dan Pembangunan dan majalah internal seperti Varia Peradilan dan Pengayoman.

Menelusuri karya-karya tulis Bismar tak hanya layak dilakukan ke Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tempat dimana ia pernah terlibat dalam pembaruan hukum nasional. Juga tak hanya di Mahkamah Agung tempat Bismar lama mengabdi. Sebaran karya-karyanya bisa ditemukan di kampus-kampus tempat ia mengajar. Berkat bantuan Endra Wijaya, seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, hukumonline mendapatkan banyak makalah Bismar. Selain Universitas Pancasila, karyanya juga bisa ditemukan di perpustakaan Universitas Indonesia, Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan Universitas Al Azhar Indonesia.

Untungnya, sebagian besar karya tulis Bismar sudah dibukukan. Malah acapkali dibukukan dua kali. Misalnya, makalah ‘Bolehkah Hakim Bermohon Ampun atas Diri Terhukum yang Ia Jatuhi Hukumannya’, yang sudah pernah dipublikasikan dalam majalah Hukum dan Keadilan, juga bisa ditemukan di buku Berbagai Segi Hukum dan Perkembangannya dalam Masyarakat (1983), dan dalam buku Hukum dalam Sorotan Perspektif Islam.

Penerbitan karya Bismar acapkali dilakukan untuk momentum tertentu. Tiga buku yang disebut di awal diterbitkan sesuai wasiat. Ada pula karena momentum lain, seperti Bunga Rampai Karangan Tersebar (1989) yang diterbitkan untuk menyongsong lahirnya cucu pertama Bismar, Januar Adil Martua Lubis. Ada buku yang terbit setelah disunting orang lain, seperti Hukum dalam Sorotan Perspektif Islam (2003) yang disunting Agus Surono (kini Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Al Azhar Indonesia), dan Rasa Keadilan yang disunting HM Anshari Thayib.

Keinginan pihak lain atau sejumlah penerbit untuk membukukan karya-karya Bismar tak lepas dari keingintahuan pembaca terhadap pandangan dan buah pikiran pria yang dikenal sebagai hakim kontroversial itu. Kalau ada hakim yang tulisan dan pandangannya dinanti kala itu, Bismar salah satunya.

Bismar memang rajin menulis dan melukis. Ia memegang prinsip seperti yang disebut hadits Nabi Muhammad: “Tinta seorang ilmuan lebih suci daripada darah seorang sahid”. Karena itu, setiap ada waktu luang ia akan menulis, bahkan di sela-sela kesunyian tengah malam, ketika ia terbangun, dan setelah shalat tahajud. 

Salah satu kelemahan mendokumentasikan dan mengkompilasi tulisan-tulisan Bismar yang tersebar ke dalam buku adalah penyebutan sumber. Sumber tulisan, baik dari acara apa atau kapan ditulis, tak terekam secara lengkap dalam buku-buku kompilasi.
Buku Rasa Keadilan, sekadar contoh,  memuat 91 tulisan. Dalam beberapa tulisan tentang tokoh, editor tak membuat catatan tambahan berupa catatan kaki siapa tokoh yang sedang diceritakan Bismar. Alangkah baiknya, editor menjelaskan Hasrul Harahap menjadi Menteri Kehutanan pada periode kapan, atau menyebutkan kapan Pitoyo menjadi hakim agung, dan kapan Teuku Muhammad Radhie menjabat Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional. 

Meskipun demikian, upaya mendokumentasikan karya-karya Bismar patut mendapat apresiasi, baik yang dilakukan Pak Bismar sendiri semasa hidup dan oleh anak-anaknya maupun oleh orang lain. Buku-buku tersebut cukup memperlihatkan kepada masyarakat bahwa Bismar adalah seorang penulis produktif, sekaligus seseorang yang rajin mendokumentasikan apa yang dialami, dirasakan, dilakukan, dan disampaikan.

Bismar bukan saja seorang penulis, tetapi juga orang yang berkeinginan agar pengetahuannya dapat dibagi ke orang lain. “Saya merasa tidak memiliki pretensi apa-apa kecuali dalam rangka saling mengingatkan,” tulis Bismar dalam pengantar Catatan Bijak Membela Kebenaran Menegakkan Keadilan (1999).

Tujuan penerbitan buku-bukunya bukanlah profit-oriented. Irwan H. Siregar, anak Bismar yang juga berperan mendokumentasikan karya-karya Bismar, menyebut prinsip penerbitan buku karya Bismar. ‘Sepengetahuan kami, mencari keuntungan bukanlah prinsip hidup Amang. Kami paham betul, berapa banyak buku yang telah diterbitkan, dibagi-bagikan secara cuma-cuma oleh Amang. Prinsip Amang adalah semakin banyak bukunya dibaca orang, semakin banyak pula pahala yang diperoleh’. Amang adalah panggilan anak-anaknya kepada Bismar Siregar yang berarti ayah.

Kehadiran buku-buku Bismar sangat berguna bagi generasi sesudahnya. Seperti yang dia tulis dalam wasiatnya: buku merupakan harta warisan yang tak ternilai bagi kita semua.

Semoga….
Tags:

Berita Terkait