Jalur Hukum Mulai Sentuh Konflik Laut Tiongkok Selatan
Kolom

Jalur Hukum Mulai Sentuh Konflik Laut Tiongkok Selatan

Persoalan juridis ini akan berdampak langsung pada kepentingan Indonesia. Jika Tribunal memutuskan bahwa nine dashed line tidak sesuai dengan pengaturan UNCLOS maka Indonesia tidak lagi memiliki persoalan batas maritim dengan Tiongkok.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Konflik Laut Tiongkok Selatan (LTS) memasuki babak baru. Jalur hukum mulai menjamah konflik ini dengan gugatan Filipina terhadap Tiongkok ke Arbitral Tribunal berdasarkan Annex VII UNCLOS 1982. Mekanisme UNCLOS ini memungkinan negara pihak Konvensi menyeret negara pihak lainnya dengan atau tanpa persetujuannya. Namun ruang lingkupnya terbatas dan hanya sepanjang sengketa yang menyangkut aplikasi dan interpretasi UNCLOS karena kedua negara ini pada waktu meratifikasi Konvensi ini melakukan reservasi terhadap sengketa yang menyangkut kedaulatan dan delimitasi batas maritim. Artinya, Filipina tidak bisa menggugat soal akar konflik yaitu soal siapa pemilik pulau/karang di LTS.

Sekalipun hanya terbatas pada soal aplikasi dan tafsir UNCLOS, Filipina tidak kehilangan akal untuk mengeksplorasi mekanisme ini, dan yang penting adalah mampu menyeret Tiongkok tanpa persetujuannya ke pihak ketiga, suatu hal yang langka terjadi dalam penyelesaian sengketa antar negara. Gugatan ini tidak diperkirakan sebelumnya oleh Tiongkok karena selama ini sudah merasa aman dengan reservasi UNCLOS. Akibatnya, Tiongkok sangat berang dan menuduh Filipina melanggar Declaration of Conduct 2002 (DoC) karena jalur hukum ini menurut Tiongkok sudah diharamkan oleh dokumen ini, jalur yang tersedia adalah dialog dan konsultasi langsung antara para pihak yang bertikai.

Suka atau tidak suka, Tiongkok akhirnya harus menelan ‘pil pahit’ dengan gugatan ini dan berupaya sekuat tenaga untuk membatalkannya. Sebagai negara besar yang masih mensakralkan ‘kedaulatan negara”, Tiongkok sangat terpukul dengan gugatan ini. Reaksi pertama adalah menolak mekanisme Tribunal ini dan secara tegas mengatakan tidak akan hadir dalam perkara ini apalagi mentaati putusannya. Reaksi kedua, menggembar-gemborkan ke publik bahwa Filipina melanggar kesepakatan DoC dan menyuarakan posisinya bahwa Tribunal tidak berwenang mengadili perkara ini.

Tapi guliran proses hukum ini terus berjalan dan pasal 9 Annex VII UNCLOS menyatakan bahwa ketidakhadiran salah satu pihak tidak menghalangi proses persidangan. Bak “anjing menggonggong kafilah berlalu” Tribunal tetap meneruskan perkara ini dan bahkan menggelar Hearing  pada tgl. 7-13 Juli 2015 yang tidak dihadiri oleh Tiongkok. Akibatnya, Tiongkok terus menggeliat di luar sidang.

Karena gugatan ini adalah gugatan hukum maka Tiongkok terpaksa harus melayaninya dengan persilatan hukum pula. Suka atau tidak, Tiongkok harus meninggalkan jargon-jargon dan retorik politik yang selama ini disuarakannya dalam mempertahankan LTS. Selama ini Tiongkok hanya berulang-ulang menyuarakan bahwa Tiongkok memiliki hak historis yang tidak terbantahkan atas LTS dan titik. Kali ini Tiongkok harus keluar dari retorik ini dan harus membangun logika hukum menjelaskan apa yang diklaimnya di LTS.

Dan benar, sejak gugatan ini digulirkan, Tiongkok baik resmi maupun melalui para pakar-pakar hukumnya mulai membangun konstruksi hukum atas klaimnya di LTS. Dunia hukum selama ini menyaksikan ‘kebisuan” Tiongkok soal-soal juridis LTS. Soal status nine-dashed lines, misalnya, Tiongkok tidak pernah menjelaskan maknanya dan membiarkan semua pihak menafsirkannya sendiri. Namun kali ini Tiongkok harus ‘membahasakannya’ kedalam bahasa hukum.

Proses persidangan masih pada tahap penentuan apakah Tribunal memiliki jurisdiksi mengadili perkara ini atau tidak. Posisi hukum kedua pihak telah disuarakan ke publik melalui berbagai media dan bahkan dalam beberapa seminar akademis. Pada tahap ini, Filipina sangat berhati-hati merumuskan gugatannya. Pertama, gugatan yang diajukan adalah soal penerapan dan penafsiran UNCLOS terkait dengan entitlement (yaitu lebar zona maritim yang diperkenankan oleh UNCLOS) dan bukan tentang aspek kedaulatan dan delimitasi maritim. Hal ini untuk menepis serangan balik Tiongkok yang disuarakan di luar sidang bahwa dengan gugatan ini Tribunal terpaksa harus menyentuh soal kedaulatan dan delimitasi maritim, sesuatu yang diharamkan oleh UNCLOS.

Materi gugatan Tiongkok berpusar pada soal status nine-dashed lines. Menurut Filipina, ada “legal dispute” antara kedua negara terkait perbedaan penerapan dan penafsiran UNCLOS sehingga menjustifikasi kewenangan Tribunal. “Dispute” ini berkaitan dengan nine dashed line yang diklaim oleh Tiongkok sehingga Filipina meminta Tribunal untuk menafsirkan pasal-pasal terkait dalam UNCLOS yaitu apakah negara pantai dapat menerapkan kedaulatan dan jurisdiksinya diluar batas-batas zona maritim yang ditetapkan oleh UNCLOS, dengan menggunakan dalih nine-dashed lines dan “historical rights” yang tidak dikenal oleh UNCLOS?

Tiongkok sekalipun tidak hadir dalam persidangan, telah mengeluarkan jurus-jurus hukumnya di luar persidangan baik melalui Official Paper 2014 yang diunduh dalam Website-nya, maupun melalui para pakar-pakar hukumnya. Tiongkok membangun argumen bahwa klaim RRT di LTS mendasarkan pada “historical rights” yang diakui oleh hukum internasional di luar UNCLOS. Artinya, Tiongkok yakin bahwa norma di luar UNCLOS memberikan hak historis ini atas LTS. Konstruksi ini jelas ditolak oleh Filipina, yang bersikukuh bahwa tidak ada “historial rights” di luar batas-batas kedaulatan dan hak berdaulat negara berdasarkan UNCLOS.

Tiongkok selanjutnya berargumen bahwa nine dashed line itu ditarik dari maritim fitur di dalamnya, dan untuk membahas garis ini maka Tribunal harus menentukan siapa yang berdaulat atas fitur ini. Urusan ini di luar kewenangan Tribunal.  Filipina menolak dalil ini karena fitur-fitur geografis yang terdapat di LTS (Scarborough Soal, Mischief Reef, Second Thomas Shoal, Subi Reef, Gaven Reef, McKennan Reef, Johnston Reef, Cuarteron Reef, Fiery Cross Reef) adalah karang yang menurut UNCLOS tidak berhak atas ZEE dan Landas Kontinen, dan bahkan sebagian fitur (low tide elevations) tidak berhak atas zona maritim sama sekali. Sekalipun fitur ini berhak atas zona maritim, maka garisnya tidak akan sejauh nine-dashed lines itu.

Saling adu argumen juga menyentuh soal DoC. Menurut Tiongkok, Filipina melanggar DoC karena Pasal 4 mewajibkan para pihak terkait melakukan konsultasi dan negosiasi langsung. Filipina menyanggahnya karena DoC hanya dokumen politik yang tidak memiliki kekuatan mengikat dan tidak menghapus hak Filipina untuk memanfaatkan prosedur dalam UNCLOS.

Pada tahap jurisdiksi ini Tribunal akan memutuskan apakah memiliki kewenangan mengadili perkara ini. Jika Tribunal menerima perkara ini maka persidangan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan materi gugatan. Dengan demikian perseteruan kedua pihak akan terus berlanjut ke tahap materi gugatan dan diperkirakan keduanya akan terus mengeluarkan jurus-jurus hukumnya baik dari dalam maupun dari luar sidang.

Reaksi para pakar hukum tentang perkara ini sangat beragam, mulai dari yang optimis sampai ke sikap yang pesimis. Mereka pesimis karena Tiongkok bakal tidak mematuhi putusan Tribunal ini sehingga persidangan ini akan menjadi sia-sia. Di tengah kepesimisan ini justru banyak pakar yang optimisi dengan berbagai pertimbangan. Pertama, tidak selamanya negara besar mampu bertahan terhadap tekanan internasional yang beralaskan pada putusan peradilan resmi PBB. Pada perkara “Artic Sunrise” antara Belanda v. Rusia, 2013, Rusia digugat oleh Belanda ke Tribunal tanpa persetujuan (dengan penolakan) Rusia. Dalam perkara ini, Belanda menuntut Russia melepaskan kapal Greenpeace “Artic Sunrise” berbendera Belanda yang ditangkap di ZEE Rusia. Tribunal mengabulkan gugatan Belanda namun Rusia menolak menghadiri bahkan bersikeras tidak mematuhi putusan Tribunal. Namun pada akhirnya Russia melepaskan kapal ini setelah bertubi-tubi mendapat kecaman internasional.

Kedua, sekalipun Tribunal tidak memutuskan soal akar konflik, yaitu soal kepemilikan, namun putusannya akan menyelesaikan beberapa persoalan juridis yang selama ini mewarnai konflik LTS. Pertama adalah soal keabsahan nine dashed line,  kedua adalah soal keabsahan klaim historis, dan yang ketiga adalah soal apakah fitur maritim di LTS berhak atas 200 mil zona maritim. Persoalan juridis ini akan berdampak langsung pada kepentingan Indonesia. Jika Tribunal memutuskan bahwa nine dashed line tidak sesuai dengan pengaturan UNCLOS maka Indonesia tidak lagi memiliki persoalan batas maritim dengan Tiongkok.

Ketiga, mengingat perkara ini menyangkut penerapan dan penafsiran pasal-pasal terkait UNCLOS, maka keputusan Tribunal nantinya akan menjadi referensi hukum (tafsir resmi) tidak hanya terhadap kedua pihak yang bersengketa melainkan juga negara-negara pihak UNCLOS lainnya, sepanjang menyangkut pasal-pasal yang ditafsirkan oleh Tribunal.

Namun yang jelas, konflik LTS yang selama ini melulu diteropong dari sisi geopolitik telah mulai mendapat sentuhan hukum internasional. Guliran perkara ini merupakan awal baik bagi dunia hukum internasional yang mulai meyakinkan bahwa norma ini mulai memainkan perannya dalam sengketa internasional, sesensitif apa pun konflik itu.

*Penulis adalah pengamat dan pengajar hukum internasional
Tags:

Berita Terkait