Gelisah Sang Hakim Sebab Hukum Tak Bertaring
Mengenang Bismar:

Gelisah Sang Hakim Sebab Hukum Tak Bertaring

Bismar berpendapat pasal-pasal yang mengatur kesusilaan dalam KUHP sudah tidak memenuhi rasa keadilan.

Oleh:
MYS/M-22
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Bismar Siregar pernah diundang sebagai penceramah dalam Dies Natalis ke-37 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada 1986. Bismar menduga para dokter sengaja mengundangnya ke simposium itu karena ingin mendengar pandangan seorang hakim, bagaimana caranya menghakimi pelaku pemerkosaan.

Kepada para audiens, Hakim Agung Bismar Siregar menceritakan pengalamannya menangani kasus-kasus kesusilaan, khususnya perkosaan, dan pendangannya tentang zina. Kasus-kasus kejahatan seksual sudah sedemikian luas, terjadi dimana-mana, tetapi sulit dicegah. Norma hukum KUHP ternyata tak cukup ampuh menjerat pelaku. Apalagi kalau pelaku sudah saling bantah, atau mengklaim perbuatan asusila dilakukan atas dasar suka sama suka.

Karena itu, ia mengajak audiens untuk merenungkan kembali makna kesusilaan dalam KUHP. “Apa yang dimaksud kesusilaan ini, harapan saya, marilah kita tinggalkan penafsiran, penalaran, penjabaran yang lama (KUHP), dan marilah memahami dan menghayatinya berdasar moral Pancasila,” kata Bismar.

Pandangan Bismar tentang kesusilaan tampaknya tak lepas dari pandangan guru yang sangat ia hormati, Prof. Hazairin. Pidato pengukuhan Hazairin sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengangkat tema ‘Kesusilaan dan Hukum’.

Bismar begitu risau dengan kondisi kaum remaja Jakarta saat ia bertugas di Ibukota ini. Ia pernah menulis artikel yang relevan dengan kerisauannya itu, “Remaja di Masa Kini”, dan “Penertiban Film, Wewenang Siapa?”. Saat memberikan ceramah pada penataran guru-guru Pembina OSIS se-Jakarta, November 1979, dan diulangi pada ceramah di depan guru SMA di Bandung dua tahun kemudian, Bismar mengungkapkan keresahan dan kegelisahannya atas kasus-kasus kesusilaan yang menghinggapi remaja.

Perkara kesusilaan sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi Bismar. Ia berkali-kali menangani kasus sejenis sebelumnya, bahkan dikenal hakim lain sebagai hakim yang ‘galak’ menghukum pelaku asusila seperti perbuatan mencabuli anak-anak. Andriani Nurdin, kini Ketua Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat, mengenang Bismar sebagai hakim yang pernah menghukum berkali-kali lipat seorang kepala sekolah yang mencabuli muridnya. Semula hukumannya 7 bulan, digandakan Bismar di tingkat banding menjadi 3 tahun.

“Beliau patut disebut sebagai pendekar hukum yang langka, yang berani melawan arus semata-mata demi tegaknya keadilan,” tulis Andriani Nurdin, seperti dikutip dari buku peringatan 80 tahun Bismar Siregar.

Atas nama keadilan bagi korban, umumnya anak-anak dan perempuan, pula Bismar berani memperluas penafsiran barang dalam kasus penipuan, yakni menganalogikan alat kelamin perempuan sebagai ‘barang’. Ia percaya putusan ‘bonda’ itu sudah memenuhi rasa keadilan sesuai tuntutan keadaan. Dengan memberikan banyak contoh modus ‘penipuan’ yang berujung pada perbuatan asusila, Bismar mengajak audiensnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu untuk merenung.

Dan bila terjadi yang demikian, adakah si wanita yang harus dipersalahkan ataukah si pria berpredikat bapak yang dikorbankan?” Bagi Bismar, pertanyaan inilah yang membawa disparitas pada putusan kasus-kasus asusila. Hakim punya penafsiran berbeda-beda.

Salah satu kunci penting membongkar kasus kesusilaan, terutama pemerkosaan, adalah pembuktian. Karena itu, di depan peserta yang umumnya dokter, Bismar bicara tentang masalah pembuktian perkara perkosaan di pengadilan. Bagaimanapun, pelaku agar berusaha menghilangkan bukti-bukti yang mengarah. “Patut diakui untuk pembuktian ini sangat sulit,” ujarnya berterus terang.

Saat menjadi hakim sekaligus Ketua PN Jakarta Utara-Timur, Bismar pernah membebaskan dua orang terdakwa yang dituduh melakukan perzinahan. Kasus itu diproses karena laporan suami salah seorang terdakwa. Terdakwa lain adalah pria, sopir taksi, yang dituduh melakukan zina dengan isteri pelapor. Dalam putusan PN Jakarta Utara-Timur No. 355/Pid/1977, Bismar memutuskan membebaskan kedua terdakwa Ny. PS dan JRS. Alasannya, perbuatan zina tidak dapat dibuktikan baik karena penyangkalan tertuduh maupun karena tidak ada bukti yang kuat kecuali petunjuk yang satu sama lain tidak memberi keyakinan atas kesalahan tertuduh. Selain itu, Bismar menganggap motivasi pengajuan perkara lebih karena untuk mencari alasan yang menguatkan perkara perdata.

Dalam pertimbangannya, Bismar mengutip kisah seorang perempuan yang dibawa ke hadapan Yesus atas tuduhan berbuat zina, seperti diceritakan dalam Injil Yahya 8: 2-11. Ia meminta siapapun yang merasa tidak berdosa supaya melempar duluan kepada perempuan itu. Tak seorang pun bersedia melempar, hingga akhirnya Yesus meminta perempuan itu pergi. Bismar lalu menyitir syarat 4 orang saksi agar suatu tuduhan zina dibenarkan. Beratnya syarat itu, kata Bismar, ‘tiada lain untuk menghindarkan semudah menuduh seseorang melakukan perbuatan seperti dituduhkan”. Sebab, tuduhan zina akan merusak kehormatan seseorang dan keluarganya.

Jika buktinya kuat, Bismar tak segan-segan menghukum terdakwa. Itu pula yang dilakukannya saat mengadili dua terdakwa yang dituduh memperniagakan seorang perempuan. Kedua terdakwa, juga perempuan, ‘menjual’ saksi korban kepada lelaki hidung belang (Pasal 297 KUHP). Oleh Bismar, kedua terdakwa dihukum berat, masing-masing tiga tahun penjara. Kedua terdakwa mencoba meminta grasi dari Presiden. Namun, seperti tercantum dalam Keputusan Presiden No. 5/G Tahun 1977, Presiden Soeharto menolak grasi kedua terpidana.

Bismar berpendapat KUHP yang ada tak bisa menjangkau perbuatan-perbuatan asusila. “Tidak boleh tidak apa yang terkandung dalam KUHP sudah sangat tidak memenuhi rasa keadilan,” tulisnya seperti dikutip dari Hukum dalam Sorotan Perspektif Islam.

Ia memberi contoh permukahan alias zina. Dalam konsep KUHP, permukahan bisa terjadi jika salah satu atau kedua pelaku pernah menikah. Seharusnya, kata Bismar, pengertiannya disederhanakan saja agar perbuatan yang dilakukan suka sama suka oleh orang yang belum menikah, oleh orang dewasa dengan anak-anak, perbuatannya sudah selesai atau belum, tetap bisa dijerat dengan zina. Dalam konteks inilah Bismar melihat hukum pidana Islam lebih tegas dan bijak dibandingkan KUHP.

Dalam banyak tulisannya bisa ditarik kesimpulan bahwa Bismar adalah tipikal hakim pemaaf. Bahkan dalam proses penyusunan RUU KUHP, ia beberapa kali menyinggung permaafan dari hakim (rechterlijke pardon). Maaf adalah konsep yang seharusnya juga diterapkan dalam perkara pidana. Tetapi dalam kasus perzinahan, sikap Bismar tampaknya tegas. “Kejahatan perzinahan tidak dapat diberikan pemaafan, seperti halnya kejahatan lain,” tulisnya seperti dikutip dari Hukum dalam Sorotan Perspektif Islam

Dalam sebuah seminar di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, 28 Februari 1991, Bismar menekankan pentingnya peran seorang hakim untuk melindungi perempuan dan anak-anak korban perkosaan. Hakim perlu memahami tanggung jawabnya memberikan perlindungan. Putusan Bismar tentang ‘barang’ –dan putusan sejenis di pengadilan lain, sebenarnya bermaksud memberi perlindungan. Hukum haruslah diperlakukan bukan sebagai ilmu hukum semata, tetapi juga sebagai pelindung bagi korban dan ‘menjaring para pemerkosa’. “Perbuatan mereka yang tidak manusiawi, sudah sedemikian bejatnya, sampai pada satu sikap tidak merasakan apa akibat perbuatannya, kecuali bila ia sendiri yang menjadi korban,” papar Bismar.

Bismar pernah mengungkapkan pandangan personalnya mengenai perempuan dalam sebuah diskusi di kantor PP Muslimat, Januari 1992. Ia mengatakan: “Saya menempatkan perempuan, kedudukannya sangat luhur dan suci. Selalu terbayang wajah bunda. Dari rahimnya aku dilahirkan. Isteri sayang, dari rahimnya anak dilahirkan”. Ia memang akademisi yang di ruang kuliah mengajarkan masalah ini seperti dijelaskan seorang bekas muridnya. “Beliau mengampu mata kuliah Hukum Perlindungan Anak dan Perempuan,” terang Bahria Prentha, Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Sebagai hakim, Bismar berusaha menggunakan hukum sebagai instrumen untuk menjerat pelaku. Demikianlah yang ia lakukan di PN Jakarta Utara-Timur ketika menghukum tiga orang pria yang ‘memperkosa’ seorang perempuan. Ia menjerat mereka dengan kualifikasi melakukan persetubuhan dengan orang lain yang belum masanya untuk dikawini; percobaan dengan kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia; dan menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan anak yang masih di bawah umur. Ganjarannya penjara.

Dalam pertimbangannya, Bismar tak hanya menyalahkan para terdakwa, tetapi juga meyakini keadaan sekeliling (lingkungan sosial) ikut mempengaruhi. “Kesalahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor keadaan sekelilingnya, antara lain telah merosotnya nilai-nilai susila di tengah-tengah masyarakat”.

Bila dalam menjalankan profesinya sebagai hakim, Bismar termasuk tipikal hakim yang ‘keras’ kepada para pelaku kejahatan kesusilaan, itu tak lepas dari pandangan personalnya terhadap perlindungan perempuan dan anak-anak. Di berbagai forum diskusi, Bismar menyinggung pentingnya memberi tempat terhormat bagi perempuan. Keluarga adalah benteng terdepan menjaga perempuan tidak masuk perangkap kejahatan kesusilaan. Jika di lapangan ada laki-laki yang melakukan kejahatan perkosaan terhadap perempuan, maka hukuman berat layak dijatuhkan.

Di depan audiens harlah ke-37 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, (1986) itu Bismar menyitir kisah ketegasan Sultan Iskandar Muda menghukum anak laki-lakinya, Meurah Pupok, karena kedapatan berbuat asusila dengan isteri seorang prajurit kesultanan. Sang sultan mengatakan dalam bahasa Aceh, ‘Gadoh aneuk meupat jrat, Gadoh hukom ngon adat pat tamita’. Terjemahan bebasnya “Hilang anak dapat dilihat kuburnya, tetapi kalau hilang hukum dimana kita harus berpijak”.
Tags:

Berita Terkait