Stabilitas
Tajuk

Stabilitas

Pemerintah tidak bisa berjalan, program Jokowi tidak bisa berjalan, bisnis akan tersendat, dan masalah kenegaraan yang fundamental akan diobrak-abrik kalau para penegak hukum dan badan peradilan masih dalam kondisi seperti sekarang.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Salah satu tujuan hukum adalah menjaga stabilitas di yurisdiksi dimana hukum tersebut berlaku. Masyarakat yang stabil dalam pengertian aman, tentram, damai dan tidak banyak gejolak karena menjaga tatanan masyarakat. Ini banyak diidamkan oleh pembuat perundang-undangan, dan tentu utamanya oleh golongan masyarakat yang mapan (established).

Sejarah mengatakan bahwa ternyata cara yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum tersebut secara efektif tidak selalu sama, karena tentu saja setiap masyarakat berbeda. Kalangan utopis menjadikan hukum sebagai alat untuk menjaga keseimbangan kepastian hukum dan keadilan. Ada kepastian di sana, tetapi juga kepastian yang berkeadilan, baik bagi penguasanya maupun para kawulanya. Jalan pintas banyak juga dilakukan, yaitu dengan menafsirkan kestabilan sebagai keadaan terkendali, dan penguasa tidak bisa diganggu gugat. Dalam hal ini hukum digunakan sebagai alat penekan oleh penguasa draconian. Masyarakat dipaksa tertib dan harus tahu dimana batas perilaku yang sesuai dengan selera penguasa dan mana yang tidak.

Dalam konsep negara kesejahteraan, hukum dijadikan alat untuk menjaga tingkah laku masyarakat sedemikian rupa agar negara mempunyai kemampuan untuk menyejahterakan kawulanya. Artinya ekonomi harus tumbuh, persaingan harus sehat, semua orang diberi kesempatan untuk maju dan berkreasi, pajak tinggi, sehingga penguasa cukup punya dana untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial yang merata. Perdebatan tentang semua konsep kestabilan bisa jadi hanya tumbuh dan berhenti di perdebatan atau jurnal-jurnal akademis. Kenyataan yang kita lihat di lapangan sungguh sangat dinamis dan bisa mencengangkan.

Kita sudah tahu kalau Soekarno menjaga stabilitas dengan memainkan politik, menjaga keseimbangan kekuasaan nasionalis, agamis dan komunis (nasakom), dan juga militer. Hukum menjadi tidak penting dan seakan berjalan sendirian, yang untungnya cukup berjalan baik karena korupsi belum meraja lela, dan para hakim, polisi, jaksa dan advokat masih punya integritas dan nurani. Hukum diabaikan kalau kestabilan terganggu, artinya kalau kepentingan Soekarno terusik.

Soeharto menjaga kestabilan dengan tangan besi, dengan membungkam suara parpol dan masyarakat madani atas nama stabilitas. Hukum hanya berlaku kalau seiring dengan kepentingan penguasa. Hukum digunakan sebagai alat represi. Sistem dan institusi hukum mulai rusak parah karena korupsi yang mulai merata. Oposisi dipenjarakan dan dihabisi secara pidana maupun perdata.

Setelah reformasi, hukum dibuat sesuai dengan semangat masyarakat yang seperti baru merdeka dari penindasan. Banyak hukum yang baik, tetapi karena dilaksanakan di atas struktur yang sudah bobrok dan institusi dan orang yang melaksanakannya korup, hukum tetap tidak tegak dan keadilan hanya sesekali muncul. Kestabilan berjalan tertatih, karena hukum tidak berfungsi untuk yang lemah, dan kestabilan hanya tercapai dengan keharusan bagi-bagi kekuasaan antara parpol, yang masing-masing tidak menguasai pemerintahan dan parlemen. Gejolak politik akhirnya menjadi semakin keras, pemerintah tidak punya wibawa. Hukum pada intinya gagal menjaga kestabilan.

Memasuki tahun kedua pemerintahannya, Jokowi masih dianggap tidak mampu menggunakan hukum sebagai alat menjaga kestabilan. Kalau saya tangkap, kestabilan yang ada dalam rencana Jokowi adalah tumbuhnya kekuatan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi dunia dengan membangun infrastruktur, sekaligus mensejahterakan rakyat banyak yang menjadi tumpuan dukungan politiknya. Tetapi ternyata, Indonesia terlalu sophisticated unrtuk disederhanakan seperti itu. Nyatanya ia masih membutuhkan parpol pendukung untuk menjalankan programnya, sementara partai pendukungnya meminta lebih dari Jokowi. Tidak cukup itu, iapun sangat membutuhkan dukungan partai oposisi karena parpol pendukungnya tidak cukup kuat dan kurang bisa ia percaya.

Seperti SBY, Jokowi sebenarnya punya modal kuat untuk melakukan perubahan besar dengan mempioritaskan reformasi hukum dan institusi hukum, serta memilih orang-orang yang tepat untuk posisi-posisi puncak di lembaga penegak hukum. Reformasi hukum dan institusi hukum tidak terjadi, kalaupun ada hanya program-program yang menyentuh kulit bagian luar yang tidak mampu mengangkat perubahan yang kita inginkan. Jokowi, pasti paham bahwa KPK adalah satu dari sedikit harapan untuk menjadikan program kerjanya berhasil. Mungkin tanpa diniatkan, tapi demi kestabilan Jokowi membiarkan KPK dilemahkan pada waktu terjadi konflik tajam KPK dengan Kepolisian. Jokowi terpaksa menjaga kestabilan dengan membiarkan diangkatnya orang-orang yang kontroversial untuk jabatan-jabatan puncak lembaga penegak hukum. Orang-orang yang mampu menjaga posisinya dalam menghadapi persaingan kepentingan antar parpol. Orang-orang yang disodorkan oleh para pendukung dan pelindungnya.

Para pejabat penegak hukum yang diangkat kalau diperhatikan masih punya garis sambung, jelas atau putus-putus, dengan kepentingan politik parpol. Kita jadi sadar bahwa Jokowi tersandera, dan kita mulai sadar bahwa Jokowi tahu dan mungkin terpaksa ikut bermain dalam percaturan persaingan politik itu, demi kestabilan sesaat. Yang kita tidak tahu, apa rencana Jokowi ke depan. Apakah tetap melakukan pembiaran untuk menjaga kestabilan semu sampai akhir kekuasaannya? Atau ada batas waktu atau ukuran peristiwa yang akan digunakan oleh Jokowi untuk mulai memanfaatkan dukungan masyarakat untuk membuat perubahan-perubahan yang kita inginkan?

Jokowi pasti punya rencana sendiri, dan dia tahu popularitasnya sudah mulai agak goyah karena pilihan-pilihan kebijakannya di bidang penegakan hukum yang kontroversial, dan ia juga mulai sadar bahwa program pembangunan infra struktur, pemerataan fasilitas pendidikan dan kesehatannya tidak mampu menjadikan ia pemimpin yang kuat dan dicintai rakyatnya. Ia juga pasti sadar bahwa ekonomi dunia sedang melorot, dan Indonesia tidak luput dari pelemahan kemampuan ekonomi untuk melaksanakan program-programnya. Kestabilan semu yang sekarang menjadi pilihannya dibangun diatas struktur koalisi dan dinamika politik yang sangat rapuh.

Kalau Jokowi belum sadar betul, orang-orang di sekitarnya dan para pendukungnya bisa mengingatkan bahwa pada saat ini ia tidak perlu membalas budi para pimpinan partai koalisi, atau menerima tuntutan pemimpin parpol oposisi. Sekarang urusannya adalah antara Jokowi dengan negara dan bangsa Indonesia. Jokowi juga perlu diingatkan, reformasi birokrasi, hukum dan institusi penegak hukum adalah prioritas utama, dan itu hanya bisa berjalan kalau pucuk pimpinan lembaga penegak hukum diganti dengan orang-orang yang amanah dan hanya bekerja untuk kepentingan negara dan masyarakat luas.

Semua perkara, baik perkara politik, bisnis, pemerintahan, dan bahkan konsitusional, pasti nantinya akan berujung di meja peradilan. Pemerintah tidak bisa berjalan, program Jokowi tidak bisa berjalan, bisnis akan tersendat, dan masalah kenegaraan yang fundamental akan diobrak-abrik kalau para penegak hukum dan badan peradilan masih dalam kondisi seperti sekarang. Kestabilan jangka pendek mungkin mengamankan Jokowi sekarang ini, tetapi cepat atau lambat para pendukungnya akan mulai meninggalkannya kalau yang dipikirkannya hanya keselamatan kekuasannya.

Jokowi sudah waktunya memikirkan kestabilan jangka panjang, bukan cuma yang sesaat. Kestabilan yang terjadi karena hukum tegak, ekonomi terbangun sehat dan pencari keadilan mendapatkan hak-hak universalnya, seperti yang bisa diperoleh dimana saja oleh rakyat di negara yang demokratis. Jokowi bukan siapa-siapa sebelum menjadi presiden, seharusnya ia tidak takut untuk menjadi bukan siapa-siapa lagi kalau melakukan perbaikan menyeluruh yang berisiko ia kehilangan jabatannya.
ats
Kyoto, Juli 2015.
Tags: