Partai Advokat
Editorial

Partai Advokat

Perpecahan menjadikan konsep single bar di ujung tanduk.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Dalam arti negatif, organisasi advokat Indonesia semakin menyerupai partai politik. Kondisi terkini, dimana Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) terbelah menjadi tiga kubu, menunjukkan bahwa organisasi advokat juga rentan perpecahan seperti partai politik. Kabar buruknya, ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia.

Sejarah mencatat, sejak era Persatuan Advokat Indonesia (PERADIN), organisasi advokat Indonesia memang akrab dengan perpecahan. Bahkan, beberapa organisasi advokat yang hingga kini masih eksis memiliki kisah perpecahan di balik proses pembentukannya.

Misalnya, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), sebagaimana disebut dalam laman resminya www.aai.or.id, dibentuk pada tanggal 27 Juli 1990 oleh ratusan anggota Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) yang waktu itu memutuskan keluar dari organisasi karena berbeda pendapat soal mekanisme pemilihan ketua umum. Mereka menginginkan mekanisme one man one vote, sedangkan yang lain menginginkan mekanisme perwakilan.

Seperempat abad kemudian desakan mekanisme pemilihan one man one vote kembali muncul. Kali ini, rumahnya bukan lagi IKADIN, tetapi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Sebagian advokat mendesak agar Musyawarah Nasional (Munas) PERADI edisi kedua yang digelar di Makassar, Sulawesi Selatan menerapkan one man one vote. Sebagian advokat lainnya menentang, dan bersikukuh menerapkan sistem perwakilan sebagaimana aturan anggaran dasar.

Ending dari Munas Makassar kita semua sudah mengetahuinya. Alih-alih menyelesaikan perdebatan tentang mekanisme pemilihan ketua umum, Munas Makassar terhenti setelah seremoni pembukaan yang dihadiri Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan. Acara yang terbilang mewah dan tentunya memakan biaya tidak murah itu menjadi sia-sia karena pengurus DPN PERADI petahana dan panitia pelaksana Munas Makassar memutuskan penundaan.

Keputusan penundaan Munas tidak diterima begitu saja oleh sebagian advokat. Kandidat Ketua Umum Juniver Girsang kembali ke Jakarta dengan menyandang status Ketua Umum DPN PERADI 2015-2020 terpilih hasil Munas Makassar. Dua kandidat lainnya, Luhut MP Pangaribuan dan Humphrey Djemat bersatu membentuk caretaker. PERADI pun resmi terbelah menjadi tiga.

Selang beberapa bulan dari Munas Makassar, kondisinya tidak membaik dan justru menjauh dari arah rekonsiliasi. Masing-masing memilih jalannya sendiri-sendiri. Kubu petahana melalui Munas Lanjutan yang digelar di Pekanbaru, Riau memunculkan nama Fauzie Hasibuan sebagai suksesor Otto Hasibuan. Lalu, kubu Juniver Girsang menegaskan eksistensinya dengan mengumumkan susunan pengurus. Sementara, kubu Caretaker terus mematangkan konsep one man one vote yang kabarnya akan ditempuh melalui e-voting.

Dampak perpecahan pada akhirnya merugikan advokat itu sendiri. Yang junior tersendat jalannya untuk menjadi advokat karena pihak Pengadilan Tinggi sempat kebingungan melakukan pengangkatan sumpah. Yang senior juga bingung kemana harus melakukan pendataan ulang, karena masing-masing kubu melansir pengumuman tentang pelaksanaan pendataan ulang.

Bentuk kerugian lainnya, dengan adanya perpecahan ini maka konsep wadah tunggal atau single bar berada di ujung tanduk. Kondisi ini jelas memberi angin segar bagi sebagian kalangan advokat yang selama ini berhasrat menggeser konsep single bar dengan multi bar. Dengan pongah, mereka mungkin berujar, “Tuh kan, single bar terbukti gagal karena PERADI saja pecah.”

Rasanya sulit untuk melawan ‘kepongahan’ para pemuja multi bar karena ironisnya, kalangan advokat yang selama ini berjuang susah payah memperjuangkan single bar itu sendiri yang mempertontonkan bukti nyata betapa rentannya konsep single bar. Dan, ketika konsep single bar terbukti gagal, maka multi bar mau tidak mau menjadi pilihannya.

Namun, terlepas dari single bar atau multi bar yang akan dipilih, seluruh advokat Indonesia seharusnya sadar bahwa perpecahan tidak akan membawa berkah. Kerugian yang muncul tidak hanya akan dirasakan oleh kalangan advokat itu sendiri, tetapi juga masyarakat pencari keadilan.

Ingat! Advokat Indonesia menyandang status Officium Nobile atau profesi mulia, dan bentuk kemuliaan itu hanya dapat diwujudkan dengan membantu secara cuma-cuma masyarakat tidak mampu yang mengidamkan keadilan.

Sekarang, keputusannya ada di tangan seluruh advokat Indonesia. Sudahi perpecahan atau kembali ke putaran sejarah kelam yang terus berulang! Wallahualam. 
Tags:

Berita Terkait