Ada Pasal Penghinaan dalam RKUHP, Seolah Jokowi Anti Kritik
Utama

Ada Pasal Penghinaan dalam RKUHP, Seolah Jokowi Anti Kritik

Pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo mesti mengurungkan niatnya untuk kemudian memerintahkan Menkumham mencabut pasal tersebut dari draf RKUHP.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil. Foto: SGP
Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil. Foto: SGP
Menghidupkan kembali pasal yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam KUHP untuk kemudian dimasukan di Rancangan KUHP (RKUHP) sama halnya membangunkan zombie. Seperti pasal penghinaan terhadap kepala negara, dinilai sudah tidak relevan untuk dihidupkan di alam demokrasi yang bebas mengeluarkan pikiran dan pendapat.

“Kalau misalnya, ibarat orang sudah mati lalu hidup lagi, pasal zombie. Kalau dihidupkan lagi ini berpotensi jadi zombie dan bakal menakutkan,” ujar anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil,  di Gedung  DPR, Rabu (5/8).

Nasir berpendapat memasukan pasal yang sudah dibatalkan MK dalam RKUHP merupakan kemunduran hukum. Pemerintah seperti tak paham hukum. Sebab, pasal yang sudah dimatikan itu tak memiliki kekuatan hukum. Menurutnya, pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo mesti mengurungkan niatnya untuk kemudian memerintahkan Menkumham mencabut pasal tersebut dari draf RKUHP.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berpandangan, dengan masuknya pasal penghinaan terhadap kepala negara seolah Jokowi anti kritik. Padahal, kritik masyarakat diperlukan dalam rangka perbaikan kinerja pemerintahan. “Bisa jadi ini ingin menunjukan saya tidak boleh dikritik. Sebagai presiden harus terima risiko apapun itu,” ujarnya.

Anggota Komisi III lainnya, Arsul Sani, menambahkan pasal yang sudah dicabut dari KUHP tak dapat diterima masuk dalam RKUHP. Menurutnya, jika pasal tersebut dengan unsur pidana yang sama sebagaimana dalam KUHP, tentunya inkonstitusional. Sebab, putusan MK tak saja mengikat bagi pihak yang mengajukan pengujian, tetapi juga pemerintah dan semua lembaga negara.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu akan mempertanyakan keberadaan pasal tersebut kepada pemerintah. Soalnya, pasal tersebut sudah jelas menabrak dengan putusan MK dijaman Jimly Asshiddiqie. “MK itu tafsir atas konstitusi, tidak boleh ditabrak. Kita dengar argumentasi pemerintah. Kita akan debat juga argumentasinya,” ujarnya.

Anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Anggara Suwahju, mengatakan rencana pemerintah menghidupkan kembali beberapa ketentuan dalam KUHP untuk masuk dalam RKUHP patut dipertanyakan. Menurutnya, sepanjang catatan aliansi sejak RKUHP versi 2006 hingga Juli 2015, pasal tersebut tak pernah ditarik dari draf RKUHP.Tidak hanya itu, seluruh tindak pidana tersebut juga diperberat ancaman hukumannya.

Ketua Badan Pengurus Harian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu menyayangkan sikap pemerintah yang menetang putusan pengadilan. Menurutnya, semangat dari beberapa pasal terkait dengan penghinaan kepala negara sudah tidak sesuai dengan UUD 1945. Terlebih bakal memiliki potensi menciderai kemerdekaan berpendapat dan berekspresi.

Sebagaimana diketahui, MK telah membatalkan Pasal134, 136 bis, 137, 154, dan 155 KUHP. Menurut Anggara, kelima ketentuan pasal yang sudah dicabut itu tidak menyebutkan secara tegas, pasti dan limitatiftentang perbuatan apa yang diklasifikasikan sebagai penghinaan.  Akibatnya,  tidak adanya kepastian hukum serta mengakibatkan tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa dan aparat hukum. 

Ia khawatir terhadap perbuatan seseorang terhadap presiden dan wakil presiden yang tidak disukai penguasa dapat diklasifikasi sebagai penghinaan. Dengan begitu dapat dinilai melanggar pasal penghinaan tersebut. Atas dasar itulah, pasal-pasal tersebut dapat disebut pasal karet karena lentur penggunaanya. Ia meminta agar pemerintah menarik pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dari RKUHP.

“Sebab siapa saja yang melakukan perbuatan seperti itu dapat saja dijerat oleh hukum. Hal terpenting adalah tafsir atas hal tersebut menjadi tergantung kepada tafsir dan interpretasi penguasa, aparat dan jajarannya, sehingga gampang pula disalahgunakan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait