Pemerintah Jawab Gugatan tentang Kualifikasi Ahli
Utama

Pemerintah Jawab Gugatan tentang Kualifikasi Ahli

Seorang warga Bandung mempersoalkan kualifikasi ahli dalam proses penegakan hukum pidana. Termasuk ketidakjelasan biaya ahli.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Pemohon Prinsipal Sri Royani saat menyimak keterangan Pemerintah yang dibacakan oleh Dirjen PP Kemenkumham, Wicipto Setiadi. Foto: Humas MK
Pemohon Prinsipal Sri Royani saat menyimak keterangan Pemerintah yang dibacakan oleh Dirjen PP Kemenkumham, Wicipto Setiadi. Foto: Humas MK
Pemerintah menganggap permohonan pengujian sejumlah pasal UU No. 8 Tahun 1981tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) terkait keterangan ahli bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan kasus konkrit yang dialami pemohon.

Karena itu. Pemerintah berpandangan bahwa permohonan pemohon yang mempersoalkan batasan pengertian, singkatan, atau hal-hal yang lain yang berkaitan dengan ahli sangatlah tidak tepat. “Sebab, pasal-pasal aquo sama sekali tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas norma suatu Undang-Undang,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Wicipto Setiadi saat menyampaikan pandangan pemerintah di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis (06/8).

Wicipto memaparkan dalam KUHAP dan UU Polri segala hal yang berkaitan dengan ahli sudah diatur secara jelas. Misalnya, dalam Pasal 16 ayat (1) huruf g UU Polri yang menyebutkan kepolisian bisa mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya pemeriksaan perkara.

Selain itu, Pasal 1 angka 28, Pasal 132 ayat (1), Pasal 184 ayat (1), dan Pasal 186 KUHAP pada intinya mengatur keterangan ahli sebagai alat bukti merupakan keterangan yang bersifat keahlian khusus untuk membuat terang perkara pidana baik dalam proses penyidikan atau tahap persidangan. “Sebelum memberi keterangan seorang ahli atau ahli kedokteran kehakiman wajib mengangkat sumpah atau janji di muka penyidik,” tuturnya.

Soal dalil pemohon yang menganggap Pasal 229 KUHAP yang tidak mengatur lebih lanjut biaya penggantian ahli atau saksi, menurut pemerintah aturan tersebut memang tidak perlu diatur dalam aturan khusus. Namun, berkaitan dengan persoalan ini diatur dalam UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dimana negara menjamin biaya bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang terkena kasus pidana. “Karena itu, kita minta MK menolak permohonan ini atau setidaknya tidak dapat diterima,” harapnya.

Sebelumnya, seorang warga Bandung Sri Royani mempersoalkan Pasal 7 ayat (1) huruf g, Pasal 120 ayat (1), Pasal 229 ayat (1) KUHAP dan Pasal 229 ayat (1) UU Polri terkait keberadaan ahli dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Dia menilai pasal-pasal bersifat ambigu karena tidak menjelaskan secara ekplisit kapan, bagaimana dan keadaan apa keterangan ahli diperlukan serta tidak jelas ukuran/kriteria pendapat ahli dalam penyidikan.

Pemohon sebagai korban merasa diperlakukan tidak adil atas kasus penipuan dan penggelapan sebidang tanah dan bangunan yang dilaporkannya di Polda Jawa Barat selama empat tahun terakhir. Padahal, kasus yang dialaminya sudah jelas bukti materiilnya, tetapi terganjal oleh opini penyidik yang memanggil ahli dari tiga universitas yang berbeda yang menyimpulkan tidak ada unsur pidana dalam kasus ini.

Dalam kasus yang sama di Polwiltabes Bandung dengan pelapor yang berbeda justru terlapor ditetapkan sebagai tersangka. Meski akhirnya berakhir “damai” lantaran pihak terlapor mengembalikan uang muka pembayaran pembelian rumah yang sama kepada pelapor.

Dia mempertanyakan sebetulnya yang harus memanggil ahli dan atas biaya siapa? Sebab, selama ini dia tidak menemukan aturannya. Karena itu, pemohon meminta agar ketentuan yang mengatur mengenai seorang ahli dalam suatu pemeriksaan perkara akan memperoleh ketetapan atau kejelasan posisi hukumnya. Karena itu, pemohon meminta agar pasal-pasal itu ditafsirkan secara bersyarat.
Tags:

Berita Terkait