Ini Poin-Poin Penting dari MUI Untuk RKUHP
Berita

Ini Poin-Poin Penting dari MUI Untuk RKUHP

Ada beberapa hal yang disoroti MUI sebagaimana disebutkan dalam fatwa, antara lain terkait dengan jenis pidana, jenis tindak pidana, dan rumusan norma-norma hukum pada Draf RKUHP.

Oleh:
CR19
Bacaan 2 Menit
Majelis Ulama Indonesia. Foto: SGP
Majelis Ulama Indonesia. Foto: SGP

Minimnya kinerja legislasi DPR periode 2014-2019 menjadi sorotan tersendiri bagi Majelis Ulama Indonesia (MUI). Atas dasar itu, MUI memberikan masukan dalam pembentukan undang-undang tahun 2015. Salah satu RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 yang dipandang mendesak adalah RKUHP.

Sebelumnya, pada 7-10 Juni para ulama MUI melakukan  Ijtima ke-5 yang digelar di Cikura, Tegal, Jawa Tengah, tepatnya di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah. Salah satu hasil Ijtima adalah keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa tentang masalah hukum dan perundang-undangan (Masail Qanuniyyah).

Ada beberapa hal yang disoroti MUI sebagaimana disebutkan dalam fatwa. Antara lain terkait dengan jenis pidana, jenis tindak pidana, dan rumusan norma-norma hukum pada draf RKUHP. Dari ketiga isu besar itu, hasil Ijtima MUI diharapkan dapat menjadi masukan dalam pembahasan oleh DPR dan pemerintah.

Pertama, wacana mengubah jenis pidana hukuman mati menjadi pidana istimewa (khusus) sebagaimana diatur dalam RKUHP tidaklah tepat. MUI berpendapat agar jenis pidana hukuman mati tetap diletakkan sebagai pidana pokok (umum). Jadi bukan seperti yang ada dalam draf RKUHP saat ini, yakni sebagai pidana istimewa (khusus).

“Hanya saja jenis tindak pidana yang mendapat ancaman pidana mati sangat selektif, antara lain korupsi, narkoba, terorisme, pemberontakan, dan separatis,” demikian tertulis dalam hasil Ijtima MUI.

Selain mendukung jenis pidana hukuman mati sebagai pidana pokok, wacana jenis pidana baru berupa pidana kerja sosial juga dinilai mampu memberikan efek malu dan jera kepada pelaku pidana tertentu. Misalnya terpidana korupsi. Selain harus dijatuhi hukuman penjara, denda, dan pidana lainnya, terpidana korupsi juga harus ditambah dengan pemberian hukuman pidana kerja sosial.

Lebih lanjut, MUI berharap agar pelaksanaan hukuman pidana kerja sosial ini tidak perlu harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). MUI menilai, hukuman pidana kerja sosial ini bisa dilaksanakan setelah putusan pengadilan tingkat pertama dijatuhkan.

Tags:

Berita Terkait