Pemohon Minta Pemeriksaan HUM Seperti Sidang MK
Berita

Pemohon Minta Pemeriksaan HUM Seperti Sidang MK

Majelis memberi catatan atas kerugian konstitusional dan petitum permohonan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Sidang perdana pengujian Pasal 40 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (MA) terhadap UUD 1945 digelar di Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK). Forum ini  mempersoalkan aturan pembacaan putusan MA ‘terbuka untuk umum’ termasuk hak uji materi (HUM). Seharusnya sifat terbuka itu dimaknai bahwa seluruh proses pemeriksaan perkara dilakukan secara terbuka.

“Kami minta Pasal 40 ayat (2) UU MA konstitusional khususnya sidang HUM seharusnya dimaknai seperti sidang di MK, bisa melakukan perbaikan, menghadirkan ahli karena kapasitas (kemampuan) hakim agung terbatas,” ujar Ketua FKHK, Victor Santoso Tandiasa dalam sidang pendahuluan yang diketuai Anwar Usman di Mahkamah Konstitusi, Selasa (18/8).

Pasal 40 ayat (2) UU MA menyebutkan “Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam penjelasannya disebutkan “Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini batal menurut hukum.”

Dia menilai selama ini proses sidang HUM (judicial review) di MA tidak transparan atau tertutup. Padahal, setiap putusan MA termasuk sidang judicial review harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. “Kita pernah ajukan uji materi Perpres No. 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Kepresidenan tanpa ada perbaikan apa-apa, langsung diputus oleh MA. Kita tidak tahu kapan disidangkan dan diputus,” keluhnya.

Victor mengakui tidak semua persidangan yang tidak memenuhi prinsip terbuka untuk umum batal demi hukum. Soalnya, ada beberapa perkara yang dikecualikan UU untuk digelar secara tertutup, seperti perkara perceraian atau pidana anak. Namun, putusannya wajib diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum agar sah dan memiliki kekuatan hukum.

Peradilan tingkat MA, prinsip sidang terbuka untuk umum dalam persidangan tidak berlaku. Sebab, MA sebagai judex jurist hanya memeriksa penerapan hukumnya saja, tidak menggelar sidang terbuka layaknya pengadilan tingkat pertama. Namun, putusan MA juga wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Jika tidak, putusannya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Dia mengakui sesuai putusan MK No. 78/PUU-X/2012, model peradilan judex jurist tetap dianggap konstitusional karena ada perbedaan karakteristik hukum acara pada pengadilan tingkat pertama dan MA dan hak informasi para pihak berkepentingan tetap terpenuhi karena salinan putusan tetap diberikan para pihak.

“Persoalannya, perkara HUM memiliki karakteristik berbeda dengan perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara yang semestinya hukum acaranya dibedakan menyangkut sifat terbuka dan tertutup sidang HUM. Soalnya, sifat peraturan perundang-undangan (di bawah UU) berlaku umum untuk seluruh warga negara dan putusannya bersifat erga omnes,” dalihnya.

Pemohon lainnya, Syaugi Pratama menambahkan Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman konsekuensi logisnya adalah sidang harus dibuka sejak pertama kali pemeriksaan sampai dengan sidang putusan. “Ketika hukum acaranya tidak diatur undang-undang, seharusnya tidak diatur lewat Perma, tetapi prinsipnya diatur dulu melalui undang-undang atau setingkat undang-undang seperti di (putusan) MK.”

Menanggapi permohonan, anggota majelis panel Patrialis Akbar menilai permohonan menyangkut perkara konkrit yang menyangkut implementasi norma yang dialami pemohon. “Coba diperhalus lagi nanti agar kesannya permohonan ini tidak berkenaan dengan menguji implementasi norma. Jadi bagaimana bisa memunculkan memang ada persoalan norma,” kata Patrialis mengingatkan.

Selain itu, pemohon perlu menguraikan persoalan kerugian konstitusional yang akan menguatkan posisi legal standing (kedudukan hukum). “Kalau kita dirugikan, ini pintu masuk supaya posisinya bisa diterima sebagai pihak yang memiliki legal standing.

Soal petitum yang meminta conditionally constitutional (konstitusional bersyarat) agar Pasal 40 ayat (2) UU MA itu tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai khusus untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang harus digelar dalam sidang terbuka untuk umum. “Jadi, Saudara inginkan seperti ini, kasus lain tidak?” “Iya yang Mulia,” jawab Victor.

“Kalau dinyatakan tidak bertentangan, sudah selesai urusannya. Dia tidak bertentangan, masa kita dimaknai lagi? Sebaiknya kalau diubah bunyi pasal aslinya dinyatakan bertentangan, bukan tidak bertentangan,” sarannya.  

Beberapa orang buruh yakni Muhammad Hafidz, Wahidin, dan Solihin juga pernah mempersoalkan sifat tertutupnya HUM di MA. Bedanya, Muhammad Hafidz dkk mempersoalkan Pasal 31A ayat (4) huruf h UU MA terkait aturan jangka waktu (14 hari) proses pemeriksaan permohonan HUM yang faktanya terkesan bersifat tertutup untuk umum.

Mereka menilai, tertutupnya proses pemeriksaan uji materi peraturan perundangan-undangan di bawah undang-undang ini mengikis atau mengurangi akuntabilitas hakim agung yang memeriksa dan mengadili permohonan ini. Karenanya, mereka meminta  proses pemeriksaan dan pembacaan putusan uji materi dilakuan secara terbuka untuk umum mengingat peraturan perundang-undangan yang dimohonkan pengujian berdampak pada masyarakat luas (erga omnes). Permohonan ini tinggal menunggu putusan MK.
Tags:

Berita Terkait