Perlu Payung Hukum Bagi Transportasi Berbasis Aplikasi
Utama

Perlu Payung Hukum Bagi Transportasi Berbasis Aplikasi

Pemerintah bisa menerbitkan peraturan dengan merujuk UU Lalu Lintas dan UU ITE.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Kantor salah satu penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi di Jakarta. Foto: RES
Kantor salah satu penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi di Jakarta. Foto: RES
Di ujung sebuah jalan, ramai berkerumun pasukan berkendara bermotor menggunakan jaket hijau bertuliskan Gojek dan Grab Bike. Moda transportasi tersebut berbasis aplikasi. Masyarakat belakangan menggemari kedua moda transportasi kendaraan roda dua itu. Begitu pula dengan Grab Car dan Uber Taxi.

Beragam diskon dan biaya murah menjadi pilihan masyarakat atas transportasi yang  tersedia di tengah macetnya lalu lintas Jakarta. Terobosan moda trasportasi roda dua, semisal Gojek dan  Grab Bike menjadi pujaan masyarakat kota. Selain murah, mereka yang memilih transportasi ini bisa sampai ke tujuan dengan cepat. Namun, keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi ini menjadi sorotan lantaran belum memiliki payung hukum.

Ketua Komisi V  DPR, Fery Djemi Francis, berpandangan keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi merupakan terobosan akibat ketidakmampuan pemerintah menyediakan moda transportasi berbiaya murah, cepat dan nyaman. Namun, ia berpandangan tetap dibutuhkan aturan berupa regulasi sebagai payung hukum agar dapat melindungi keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi.

“Tetap dibutuhkan aturan baru agar dapat melindungi,” ujarnya  di Jakarta, Rabu (19/8).

Anggota Komisi V Epyardi Asda menambahkan, moda transportasi Gojek, Grab Bike, Uber Taxi dan Grab Car pada prinsipnya sama dengan moda transportasi lainnya. Namun agar tidak terjadi kontra di tengah masyarakat, sebaiknya mereka mengurus perizinan usaha.

“Kalau sudah urus Izinnya mereka bisa berjalan. Cuma karena dia belum mengurus izinnya saja. Kalau bisa mengurus izinnya ke DKI itu tidak ada masalah lagi,” ujarnya.

Ketiadaan regulasi yang  mengatur jasa transportasi berbasis aplikasi menjadi persoalan baru yang mesti dicarikan jalan keluar. Epyardi menilai perlunya aturan baru yang dapat melindungi mereka yang menggantungkan nafkah dengan jasa transportasi berbasis aplikasi. 

“Iya tetap harus ada aturan yang melindungi mereka agar mereka tidak melanggar UU,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Deddy Herlambang, berpandangan fenomena Gojek, Grab Bike, Uber Taxi dan Grab Car lebih pada aplikasi yang digunakan untuk meraih penumpang.

“Jika Gojek, Grab Bike  dan ojek memang tidak diperuntukan transportasi umum karena berplat hitam, sementara Uber Taxi dan Grab Car berplat hitam,” katanya.

Berbeda dengan taxi resmi yang berplat kuning, Gojek dan Grab Bike dibebankan antara lain membayar pajak kendaraan, uji kir perenam bulan dan membayar asuransi. Sementara Uber Taxi dan Grab Car hanya membayar pajak kendaraan.

“Jadi jelas harus ada regulasi baru, dan regulasi itu harus tegas, apakah aplikasi berbasis transportasi ini dilarang atau tidak. Karena memang belum ada payung hukum yang mengatur penjualan melalui IT atau aplikasi,” ujarnya.

Menurutnya, Grab Car maupun Uber Taxi merupakan perusahaan yang melakukan kerjasama dengan rental mobil. Mobil rental berplat hitam tersebut yang kemudian digunakan untuk meraih penumpang dengan menggunakan aplikasi.

Dengan menggunakan UU No.22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas,  PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan PP No.74 Tahun 2012 tentang Angkutan Jalan. Penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi di luar sejumlah regulasi tersebut.

“Jadi mereka masih unregulated. Tetapi tetap harus ada payung hukumnya penjualan berbasis aplikasi dilarang atau boleh. Kalau boleh seperti apa, kalau dilarang seperti apa jadi harus tegas dan jelas,” ujarnya.

Aturan di bawah UU
Deddy menyarankan agar pemerintah membuat regulasi berupa peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Menurutnya, pemerintah cukup menerbitkan aturan dengan merujuk dari UU Lalu Lintas dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Ia berpandangan dengan memadukan kedua UU tersebut setidaknya dapat menjadi acuan untuk kemudian menerbitkan PP atau Peraturan Presiden (Perpres). “Kalau Perpres itu antara Kemenhub, Kepolisian Kemenkominfo dapat bekerjasama. Saya pikir tidak perlu UU,” ujarnya.

Epyardi Asda mengamini pandangan Deddy. Ia berpandangan DPR dalam membuat UU merujuk pada hajat hidup orang banyak. Sementara persoalan yang bersifat khusus cukup diatur melalui aturan turunan di bawah UU.

“Jadi misalnya cukup Kemenhub mengeluarkan peraturan menteri, atau Keppres. Jadi tidak usah membuat UU baru, terlalu jauh,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait